Aku mengaduk-aduk bubur ayam yang sudah dingin. Bubur dengan suwiran ayam, kacang kedelai goreng, daun bawang, potongan cakwe, dan siraman kuah dengan sedikit kecap manis itu terasa hambar di mulutku. Kelezatan yang biasa kurasakan seolah menguap bersama udara dingin pagi ini.
"Nggak enak buburnya? Ini kan langganan kita sama ayah dulu," tanya Raisa padaku setelah menyendok suapan terakhirnya. Warung bubur itu masih ramai hingga penjualnya yang sering dipanggil Bang Dodo itu tidak terlihat punggungnya. Kursi pelanggan yang hanya ada beberapa saja sudah penuh diduduki orang. Aku dan Raisa pun duduk di emperan toko yang masih tutup untuk menikmati semangkuk bubur hangat di pagi yang dingin. Melihat hiruk pikuk pagi di hari Minggu menjadi suatu rutinitas kami berdua. Namun pagi ini berbeda karena aku merasa kenangan-kenangan bersama ayah perlahan menjejali pikiranku.Â
Hari ini kami sedang berkunjung ke Bandung, sekadar jalan-jalan dan bertandang ke rumah nenek, rumah ibu dari ayah. Kota ini menjadi penuh potongan kisah yang berserakan sejak langkah pertamaku turun di Stasiun Bandung dini hari tadi. Seolah aku bisa menemui ayah di setiap sudut jalan. Rasanya seperti sedang menjejaki rekaman masa kecilku yang dihabiskan di kota ini.
Warung bubur Bang Dodo ini juga jadi saksi betapa kenangan indahku selalu terpaut di setiap jengkal kota, di gerobak bubur, di kursi sesak pelanggan, bahkan di denting mangkuk dan sendok yang berisik. Setelah belasan tahun aku meninggalkan kota ini, akhirnya aku menghirup udaranya kembali, menghirup harapan-harapan baru di tahun baru ini. Harapan pertama di bulan pertama ini adalah dapat mengunjungi kota kelahiran ayah, kota masa kecilku, kota kebahagiaanku, dan tentunya dapat bertemu ayah.
"Mas Janu?"
"Eh iya,"
"Malah melamun gitu. Habisin atuh buburnya."
Aku tersenyum dan segera menghabiskan buburku.
Setelah sarapan yang penuh kenangan itu, kami pun segera beranjak dari warung bubur itu. Dua pasang kaki kami melangkah menuju rumah nenek yang tidak jauh dari warung bubur tadi. Dengan perasaan campur aduk, detak jantung kami semakin cepat. Aku menggenggam tangan Raisa dengan erat. Adik perempuanku itu terlihat lebih tenang dibanding aku. Namun kami sama-sama hanyut dalam perasaan masing-masing.
Suasana rumah nenek lengang. Kami menatap sekeliling. Halamannya masih sama. Bunga-bunga anggrek masih terawat cantik di teras rumah. Kutangkap sesosok perempuan berambut putih dengan senyumnya seolah sedang menatap anak sendiri. Padahal tangannya sedang menyemprotkan cairan ke bunga-bunga anggrek itu. Untuk beberapa saat aku dan Raisa hanya diam, menatap nenek dengan kerinduan yang membuncah. Sebab aku selalu menangkap mata ayah di mata nenek. Aku mendengar suara ayah dengan mendengar suara nenek. Sampai kapanpun, aku selalu berterima kasih pada nenek karena telah melahirkan ayah, sebagai ayah yang paling berhasil menjadi ayah untukku.
"Januari! Raisa!" panggil nenek saat matanya menangkap sosok kami. Teriakannya begitu keras. Sepertinya penglihatan nenek masih baik, namun pendengarannya mulai berkurang.
Kami pun berbincang di teras rumah yang sejuk dengan cangkir teh yang asapnya masih mengepul. Aku selalu suka teh buatan nenek, sebab rasanya sama seperti yang ayah buatkan padaku dulu setiap aku sakit. Hanya dengan minum teh manis hangat, sakitku perlahan sembuh dan energiku kembali pulih. Kakek pun bergabung bersama kami setelah beliau menyelesaikan perkara ayam-ayam peliharaannya yang sedang kelaparan belum sarapan.
Meski kekosongan hati kami mulai kembali terisi setelah bertemu nenek dan kakek, namun kehampaan tetap tak bisa kami tutupi. Sebab kami gagal menemukan sosok ayah kami di rumah itu. Kami bercerita hal-hal menyenangkan hingga teh kami tandas, setelah itu aku berani memulai percakapan tentang ayah.
"Ayah nggak pernah pulang, Nek?"
Nenek menggeleng, sedangkan kakek menatap jauh ke halaman depan. Kekosongan dan kesedihan menyergap kami.
"Memangnya dia tidak menghubungi ibu kalian?" tanya nenek.
"Tentu saja tidak, Nek. Hubungan ayah dan ibu kan sedang tidak baik-baik saja."
"Itu kesalahpahaman. Nenek bahkan tahu kalau ibumu tidak mungkin berselingkuh. Tetapi ayah kalian ini yang sudah naik pitam duluan dan main kabur gitu aja. Yang jadi korban ya kita semua, kan."
"Tapi Janu yakin kalau ayah pasti kembali, Nek."
Hening. Kesedihan bercampur kerinduan meletup-letup di dada kami.
"Pokoknya tahun ini, Janu punya resolusi yang akan Janu bawa terus ke mana-mana. Resolusi yang selalu gagal terwujud di tahun-tahun kemarin harus tercapai di tahun ini," kataku lagi, memecah keheningan.
"Apa itu?"' tanya Raisa yang diikuti pandangan penuh tanya dari nenek dan kakek.
"Bertemu ayah," jawabku sambil memandang jauh ke halaman.
**
Aku dan Raisa pun memutuskan menghabiskan waktu di Bandung selama tiga hari dua malam. Tiga hari sudah kami lewati dan malam terakhir sebelum kami pulang lagi ke Yogyakarta, aku berhasil mewujudkan resolusiku, di awal tahun ini, di awal bulan, di bulan lahirku, dengan segala awal yang baik, resolusi sederhanaku akhirnya menjadi kenyataan.
"Mas Janu bertemu ayah?"
"Ya," jawabku senang.
"Di mana? Kapan?" tanya Raisa keheranan setelah kami berdua duduk di bangku kereta, perjalanan pulang ke Yogyakarta.
"Rahasia."
"Ih, Mas Janu jahat! Kita kan ke Bandung untuk ketemu ayah bersama-sama! Kalau yang ketemu ayah cuma Mas Janu, curang namanya!"
"Situasi dan kondisinya nggak memungkinkan buat mengajak kamu, Raisa."
"Mana bisa begitu!"
Aku hanya tertawa melihat adik perempuanku kesal. Wajahnya memerah menahan emosi. Tetapi aku sengaja merahasiakan ini sampai nanti kami bertemu ibu. Akan kuceritakan sekaligus saja bersama ibu.
Beberapa jam tak terasa karena aku hanyut dalam perasaan legaku setelah pertemuanku dengan ayah semalam. Ibu menjemput kami di stasiun dan keheranan melihat wajahku begitu bahagia dan Raisa yang masih murung, sebab ia gagal bertemu ayah.
"Kenapa cerah sekali wajahmu, Janu?"
"Janu bertemu ayah, Bu, semalam."
"Di mana?"
Aku diam sejenak, menoleh ke Raisa yang masih menekuk wajahnya dalam-dalam.
"Kamu pasti bohong ya."
"Nggak, Bu."
"Terus kamu bertemu ayah di mana dan kapan?" desak ibu padaku sambil tetap fokus menyetir.
"Hehe, Janu bertemu ayah di mimpi, Bu," jawabku santai. Raisa menoleh padaku dan melotot. Bola matanya bisa terlepas jika ia menambah sedikit saja kadar emosinya saat itu.
Ya, resolusiku di bulan Januari ini menjadi kenyataan meskipun di dunia yang tidak nyata, bahkan di alam bawah sadar. Meski begitu, itu tetaplah sebuah definisi resolusi yang terwujud dengan cara paling sederhana dan terealisasi dengan penerimaan paling ikhlas dariku.Â
"Ayah, terima kasih telah hadir dalam bunga tidurku yang bahkan kupikir sudah tidak mungkin lagi untuk kembali mekar, tidak mungkin lagi untuk kaukunjungi. Ternyata, malam itu, malam terakhir di kota kelahiranmu, kau sempatkan hadir meski sebentar. Terlepas dari kau di mana dan bersama siapa, aku berharap kau setidaknya masih hidup. Sebab tahun ini masih panjang, siapa tahu kita bisa diberi kesempatan untuk bertemu lagi. Jika tidak terwujud lagi, masih ada tahun-tahun berikutnya. Jika napas masih berpihak pada kita, aku takkan pernah lelah untuk selalu menuliskan resolusi untuk bertemu denganmu setiap pergantian tahun," ucapku dalam hati sambil melempar pandanganku jauh ke jalanan yang terlihat begitu cepat berlalu.
"Ayah ada di rumah sekarang," ujar ibu tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.
"HAH?" Aku dan Raisa berteriak kaget.
"Sekarang pasti Ibu yang bohong," ujar Raisa kesal meski matanya mulai berair sebab ia tahu ibu tidak berbohong dari nada bicara, penekanan, intonasi, dan yang lebih penting adalah dari percikan kebahagiaan yang terlihat begitu nyata di kedua bola mata ibu. Mobil mendadak hening. Kami larut dalam perasaan kami dan aku tidak bertanya lebih jauh. Sebaiknya aku siap-siap untuk membuktikan apakah ibu berbohong atau tidak.
Sorot mata ibu memang tidak pernah bohong. Ayah benar-benar ada di rumah. Berdiri tegap di depan pintu menanti kami.
Aku mencubit pipi raisa agak keras. Raisa mengerang kesakitan.
"Cubit aku juga!" perintahku padanya.
Dia mencubit lenganku keras. Sakit. Benar-benar sakit sampai aku tidak bisa berteriak kesakitan. Kali ini, aku tidak hanya kehabisan kata-kata seperti saat aku bertemu dengan ayah di mimpi malam itu. Tetapi, aku juga kehabisan daya untuk bergerak. Sosok ayah berhasil membekukanku dengan segala kebahagiaan yang meluap-luap, berdesakan keluar berebut untuk segera menjemput kerinduan yang menunggu di sorot mata ayah yang pertama kali kulihat lagi setelah belasan tahun kami berpisah. Kini, resolusi seorang Januari di bulan Januari ini menjadi kenyataan.
Itu adalah resolusi dengan perwujudan terindah yang pernah kualami.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H