Aku hanya tertawa melihat adik perempuanku kesal. Wajahnya memerah menahan emosi. Tetapi aku sengaja merahasiakan ini sampai nanti kami bertemu ibu. Akan kuceritakan sekaligus saja bersama ibu.
Beberapa jam tak terasa karena aku hanyut dalam perasaan legaku setelah pertemuanku dengan ayah semalam. Ibu menjemput kami di stasiun dan keheranan melihat wajahku begitu bahagia dan Raisa yang masih murung, sebab ia gagal bertemu ayah.
"Kenapa cerah sekali wajahmu, Janu?"
"Janu bertemu ayah, Bu, semalam."
"Di mana?"
Aku diam sejenak, menoleh ke Raisa yang masih menekuk wajahnya dalam-dalam.
"Kamu pasti bohong ya."
"Nggak, Bu."
"Terus kamu bertemu ayah di mana dan kapan?" desak ibu padaku sambil tetap fokus menyetir.
"Hehe, Janu bertemu ayah di mimpi, Bu," jawabku santai. Raisa menoleh padaku dan melotot. Bola matanya bisa terlepas jika ia menambah sedikit saja kadar emosinya saat itu.
Ya, resolusiku di bulan Januari ini menjadi kenyataan meskipun di dunia yang tidak nyata, bahkan di alam bawah sadar. Meski begitu, itu tetaplah sebuah definisi resolusi yang terwujud dengan cara paling sederhana dan terealisasi dengan penerimaan paling ikhlas dariku.Â