Jakarta, begitulah aku memanggil sahabatku. Kami sudah kenal lama, tetapi semakin akrab sejak tiga bulan yang lalu. Aku berterima kasih pada para pengendara sepeda motor, karena berkat merekalah aku bisa tercipta dan hidup bersama Jakarta.
Selama tiga bulan terakhir ini, aku menikmati hubunganku bersama Jakarta. Ia merupakan sahabat yang baik. Ia mengenalkanku pada seluruh miliknya.Â
Langit yang biru, awan yang teduh, gedung-gedung pencakar langit, lampu jalanan kota yang gemerlap, juga orang-orang berkemeja khas karyawan kantoran dengan id card menggantung di leher mereka. Meskipun Jakarta berisik, aku menyukainya dengan apa adanya.
Jakarta juga mengenalkanku pada sahabat-sahabatnya yang lain. Ia hidup bersama 13 sungai, dengan salah satu muaranya adalah perairan Muara Angke yang kini tercemar dan menghitam.Â
Kudengar, para nelayan sudah lama tidak akur dengan ketigabelas sungai itu. Selain sungai dan muara yang tercemar, Jakarta bersahabat dengan bukit-bukit sampah.Â
Ia punya Bantargebang, sebagai tempat tinggal akhir dari sampah-sampah itu. Kudengar, TPST itu mengeluh terus, ia tak bisa lagi menampung sampah-sampah. Sedangkan Jakarta tak henti menyeret sampah-sampah itu untuk menuju ke Bantargebang.
Tak lupa, ada juga pemukiman padat dan kumuh dengan rumah-rumah yang hanya sekadar didirikan untuk memayungi pemiliknya saat terik dan hujan. Bahkan tak sedikit yang masih beralaskan kardus-kardus bekas, berselimut kain lusuh yang tak pernah dicuci.Â
Kemudian, ada sahabat karib Jakarta yang paling sering muncul di televisi, radio, media sosial, juga koran-koran, bahkan terdengar dari perbincangan ibu-ibu yang sedang arisan di teras rumah.Â
Ia adalah banjir. Ia setia datang tiap tahun. Kudengar Jakarta membencinya karena dialah ancaman yang akan menenggelamkan Jakarta dan seluruh yang dia miliki di daratan. Tetapi, banjir tak jua pergi, ia tak peduli seberapa bencinya Jakarta padanya.
"Apakah sekarang kau yang akan menggantikan posisi banjir?" tanya Jakarta padaku.
Aku berpikir sejenak. Sekarang memang akulah sahabat yang sedang hangat dibincangkan orang-orang. Aku muncul di mana-mana, seperti halnya banjir.Â
Bahkan berita teratas di laman-laman situs koran online juga selalu terpampang namaku pada setiap headline yang mereka tulis. Para wartawan dan jurnalis, berlomba-lomba meliput dan menulis artikel tentang persahabatanku dengan Jakarta yang kian booming akhir-akhir ini.Â
Entahlah, mungkin sahabat Jakarta yang lain merasa iri, tidak peduli, atau justru senang karena mereka akhirnya bisa bersembunyi untuk sementara ini, sedangkan aku yang akan tampil menunjukkan Jakarta pada dunia.Â
Kudengar, namaku sudah sampai di luar negeri, banyak yang mengenal dan mengakui persahabatanku dengan Jakarta.Â
Tetapi, mereka membicarakan keburukan antara kami, menunjukku sebagai penyebab keburukan itu. Lama-lama aku muak disalah-salahkan. Padahal aku tidak datang di kehidupan Jakarta dengan sengaja, tetapi Jakarta yang mengundangku.
"Biarkan aku pergi, Jakarta. Persahabatan kita toxic. Hanya menyakiti satu sama lain. Bahkan menyakiti pihak-pihak di luar kita."
"Aku tahu."
"Lantas?"
Jakarta terdiam.
"Persahabatan kita tak ada gunanya. Hanya menghadirkan kesedihan, kebencian, kesengsaraan, dan banyak hal buruk lain," kataku dengan raut muka tertekuk.
"Tidak. Kau ada gunanya, Polusi," ujar Jakarta sambil menyebut namaku.
"Apa?" tanyaku heran.
"Kau membantuku menyadarkan masyarakat, bahwa mereka harus memperbaiki tindakan mereka, bersama-sama pemerintah menemukan solusi dan mengatasi kesengsaraan ini dengan perlahan tapi pasti. Masyarakat tak seharusnya terpaksa berpura-pura nyaman dengan semua ini. Begitu juga pemerintah tak seharusnya melipat masalah-masalah lingkungan dan sektor lainnya yang melandaku ini, lalu menyimpannya dalam saku mereka."
"Apakah mereka sudah benar-benar sadar dan mengambil langkah?"
"Entahlah. Sahabatku yang lain juga sebenarnya sudah ingin pergi berpamitan denganku, karena mereka lelah menyadarkan masyarakat yang entah sampai kapan sadarnya. Entah kapan juga segala usaha pemerintah akan membuahkan hasil. Ini cukup pelik," jawab Jakarta setengah putus asa.
"Sahabatmu itu sungai dan muara yang tercemar, gunung sampah di Bantargebang, juga si banjir itu?"
"Ya."
Aku bergumam pelan. Setidaknya, aku sudah membantu Jakarta meski sedikit. Sisanya, biarkan saja pihak lain yang mengurusnya. Itu di luar kendaliku.
"Aku sudah tidak bisa membantu lagi, kini kuncinya pada masyarakat dan pemerintah. Mereka harus bekerja sama menemukan satu tuju, tak peduli harus mencoba ribuan solusi. Asalkan mereka punya satu tujuan yang sama, aku yakin, aku akan berhasil melepas kau, begitu juga sahabat-sahabatmu yang lain," kataku sedikit berapi-api.
"dan carilah sahabat baru, untuk melengkapi keindahanmu," lanjutku lagi sambil melengkungkan senyum.
Jakarta balas tersenyum, tetapi ada sedikit kepahitan dan kegetiran dalam lengkungannya.
"Sampaikan pada banjir, untuk segera pergi juga. Aku memang tidak bisa bersahabat denganmu lebih lama, tetapi aku tak pernah berharap kau tenggelam dan menghilang. Biar aku saja yang hilang," ujarku lagi sambil menepuk-nepuk bahu Jakarta yang mulai ringkih itu. Terasa sekali bagaimana dia begitu memikul banyak beban.
Jakarta memelukku. Mungkin peluk perpisahan. Aku berharap, aku bisa benar-benar pergi sekarang, bersama sahabat-sahabat Jakarta yang lain.Â
Agar tidak ada sakit dan pedih di antara kami semua. Lebih baik melepaskan untuk sama-sama menjalani takdir masing-masing. Semoga takdirku memang menghilang, dan takdir Jakarta adalah tetap hidup damai bersama semua keindahan dan keramaiannya.Â
Aku tidak perlu lagi menyelimuti Jakarta dengan kelabu yang menyesakkan. Aku tak perlu lagi bermusuhan dengan matahari, menghalangi sinarnya menerpa hiruk pikuk Jakarta. Biarkan ia bersinar tanpa halang, melegakan orang-orang.
 "Selamat tinggal, Polusi," bisik Jakarta yang kubalas dengan lambaian tangan.
#cerpenlingkungan
#pulpen
#sayembarapulpen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H