Aku berpikir sejenak. Sekarang memang akulah sahabat yang sedang hangat dibincangkan orang-orang. Aku muncul di mana-mana, seperti halnya banjir.Â
Bahkan berita teratas di laman-laman situs koran online juga selalu terpampang namaku pada setiap headline yang mereka tulis. Para wartawan dan jurnalis, berlomba-lomba meliput dan menulis artikel tentang persahabatanku dengan Jakarta yang kian booming akhir-akhir ini.Â
Entahlah, mungkin sahabat Jakarta yang lain merasa iri, tidak peduli, atau justru senang karena mereka akhirnya bisa bersembunyi untuk sementara ini, sedangkan aku yang akan tampil menunjukkan Jakarta pada dunia.Â
Kudengar, namaku sudah sampai di luar negeri, banyak yang mengenal dan mengakui persahabatanku dengan Jakarta.Â
Tetapi, mereka membicarakan keburukan antara kami, menunjukku sebagai penyebab keburukan itu. Lama-lama aku muak disalah-salahkan. Padahal aku tidak datang di kehidupan Jakarta dengan sengaja, tetapi Jakarta yang mengundangku.
"Biarkan aku pergi, Jakarta. Persahabatan kita toxic. Hanya menyakiti satu sama lain. Bahkan menyakiti pihak-pihak di luar kita."
"Aku tahu."
"Lantas?"
Jakarta terdiam.
"Persahabatan kita tak ada gunanya. Hanya menghadirkan kesedihan, kebencian, kesengsaraan, dan banyak hal buruk lain," kataku dengan raut muka tertekuk.
"Tidak. Kau ada gunanya, Polusi," ujar Jakarta sambil menyebut namaku.