Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Betrayal

15 Oktober 2024   02:54 Diperbarui: 15 Oktober 2024   02:59 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maksudnya? Genta, ini aku, pacar kamu, aku mau minta maaf." Aku mengangkat wajahku yang sudah basah karena keringat dan air mata.

"Setelah aku suruh! Sakit Pandu, ini sakit. Pergi sana!"

"Renjana, kamu gapapa?" Pemilik suara itu Ranendra, dia sudah berdiri bersama Fadil, suara pertengkaran kami menarik perhatian mereka.

Kemudian Pandu menjelaskan secara diplomatis bahwa ini semua hanya kesalahpahaman. Aku masih belum sanggup angkat suara karena tersangkut di ujung kerongkongan dan merasa jijik dengan tubuh sendiri. Selangkanganku sakit ketika berjongkok dan menangis, rasanya seperti disilet-silet saat kencing. Ranendra masih belum puas dengan penjelasan Pandu, lelaki itu mendekati kami tetapi Pandu mencoba semaksimal mungkin agar ia tidak memangkas jarak yang awalnya memisahkan. Aku menengok ke arah Ranendra berharap ia mengerti bahwa diriku butuh bantuan hanya lewat tatapan.

"Enggak bisa, Ndu, gue ke situ, ya." Pandu semakin panik dan menahan Ranendra agar tidak mendekatiku.

Ketiganya tengah berdebat entah harus menolongku atau membiarkan Pandu yang mengurus semuanya. Hingga akhirnya Fadil dan Ranendra memutuskan untuk melangkah mundur, Pandu kembali mendekatiku lalu berjongkok seraya berbisik. "Ini kan cuman seks, Genta. Kenapa sih, sampai segitunya?"

Amarahku sudah tak sanggup diredam lagi. Kulihat sebuah batu bata di samping Pandu, aku meraihnya dengan mantap kemudian memukul ke arah kepalanya hingga lelaki itu tersungkur tak sadarkan diri hingga darah segar mengalir membasahi dahinya. Aku terduduk dengan tangan bergetar, suara pekikan Fadil dan Ranendra menyertai lalu menghampiri Pandu yang tak sadarkan diri. Aku menatap Ranendra dengan mata terbelalak lebar, rasa takut mulai mendera benakku.

Apakah ia mati? Apa yang baru saja aku lakukan? Apakah aku membunuh seseorang?

***

AKU dimintai keterangan oleh polisi atas laporan orang tua Pandu yang menuntutku sebab kejadian pada siang hari itu. Pertanyaannya berbelit dan berputar-putar, semua mengarah pada misteri mengapa aku melakukan tindakan itu. Kini aku masih berstatus saksi, tetapi suara raungan tangis dari Ibu di ruang tunggu dan permohonan agar diberi keringanan yang bisa kutebak di hadapan orang tua Pandu---membuat hatiku hancur lebur. Tangisnya membuatku merasa bersalah, sudah menjadi tersangka padahal belum ditetapkan demikian. Petugas polisi yang sedang mengetik pada mesin tik terdiam dan membiarkanku pecah dalam tangis.

"Gimana kabar Pandu, Pak?" Aku memberanikan diri bertanya dengan suara parau, bahkan dalam kondisi seperti ini aku masih mengkhawatirkan nasib anak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun