Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Betrayal

15 Oktober 2024   02:54 Diperbarui: 15 Oktober 2024   02:59 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh, gapapa, kayaknya sakit mau mens aja." Lelaki itu hanya mengangguk paham kemudian beranjak dari bangku panjang.

"Mau aku belikan bubur ayam?" Aku menggelengkan kepala, jangankan untuk makan, tubuh ini bahkan seperti menolak disentuh dengan tangan sendiri.

"Nah, beliin buat gue aja, Ran."

"Bangsat, lo!" seru Ranendra, "Mpok, bubur ayamnya tiga ya, makan sini." Padahal aku sudah bilang tidak, ya tapi begitulah Ranendra tidak suka melihat kawannya kelaparan.

***

"GENTA, sayang, kamu ke mana aja? Aku rindu." Itu suara Pandu dari seberang sana. Suaranya yang manja dan memohon, tetapi aku tahu ia rindu bukan karena kehilangan melainkan rindu karena ingin menggodaku untuk meminta jatahnya lagi.

Mendengar suaranya saja semakin membuatku muak. Aku terpaksa mengangkat teleponnya sebab kalau tidak, ia akan terus meneror atau buruknya lagi meminta Fadil sebagai pembawa pesan yang menegurku untuk mengangkat telepon Pandu dan berlarut dalam sandiwara kacangan yang sungguh membuatku muak.

"Kamu kok diem aja, sih, sayang. Nanti kalau diem terus, aku kesepian."

Ingin sekali aku robek mulut manisnya itu, mendengar suaranya saja membuat tanganku bergetar hebat. Tangisku ingin pecah saat merasakan bagian selangkangan hingga vagina yang kembali sakit, kugigit bagian bawah bibirku agar Fadil dan Ranendra yang sedang bercengkerama di belakang sana---masih di Warung Mpok Dul, tidak mendengar rekannya sedang menahan tangis karena kesakitan.

Pandu itu anak baik, pakaiannya juga rapi. Biasanya ia menyisir rambut basahnya ke arah belakang, mengenakan rompi sebagai luaran seragam sekolah, kumisnya memang tumbuh lebat dengan cepat tetapi ia rajin mencukurnya, dan tubuhnya menguarkan harum cendana.

Setidaknya konsep ini yang masih terekam jelas di dalam otakku. Kami telah berpacaran sejak duduk di bangku SMP kelas 8. Kali ini di kelas XII, kami masih bersama sudah banyak pula kenangan indah yang dibangun selama itu. Namun entah mengapa, Pandu dan aku malah melakukan itu. Aku menatap sebuah pohon glodokan tiang di depanku yang baris berjejer hingga menghiasi gerbang sekolah. Dahan dan dedaunannya masih agak basah bekas diguyur oleh hujan semalaman. Pohon ini menjadi salah satu objek bagi tokoh utama dalam film pendek garapanku saat dirinya berlari kemudian bersandar di batangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun