Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Betrayal

15 Oktober 2024   02:54 Diperbarui: 15 Oktober 2024   02:59 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fadil kembali membawa dua cup plastik kopi hitam dan kembalian seribu koin yang ditaruh di depan Ranendra. Selagi lelaki itu masih memeriksa dan mencoret-coret naskah, aku membatin Pandu sedang melakukan apa hari ini. Apakah ia merasa bersalah telah menodaiku atau menjalani hidup seperti tidak terjadi apa-apa?

Suara Ranendra yang tinggi kembali terdengar saat menegur Fadil yang cengengesan mengambil rokoknya tanpa izin. Tak ambil pusing, Ranendra kembali membaca naskahku walau mulutnya tak berhenti menggremeng. Sesekali ia menyisir rambut lurus klimisnya dengan tangan, kemudian berdehem saat ingin melontarkan pertanyaan.

"Ren, jujur aku suka banget sama naskah kamu. Secara substansi aku udah sepakat karena menurutku sejalan dengan konsep dan tema yang kita sepakati di awal, tapi..."

Satu-satunya teman laki-laki yang sangat sopan memperlakukanku sebagai wanita adalah Ranendra. Tutur katanya halus, memang dia sedikit ketus kalau sedang menuntut apalagi saat aku tidak menepati deadline, selebihnya ia sopan sekali. Bahkan satu-satunya orang yang memanggilku Renjana di sekolah hanya dia. Renjana adalah panggilanku di rumah.

Ranendra kemudian mendikte apa saja yang perlu dikoreksi. Kebanyakan teknis seperti dialog yang harus dibuat lebih efisien, penjabaran lokasi dan deskripsi yang tidak perlu bertele-tele karena baginya itu akan seperti cerita pendek, dan paling penting adalah menjaga agar tokoh utama di film pendek kami tetap pada idealismenya untuk memperjuangkan bahwa perempuan itu bukan hanya digunakan sebagai bahan objetifikasi semata.

"Film ini punya pesan mendalam, Ren. Aku percaya banget sekolah pasti dukung, mungkin kalau beruntung disokong juga sama Komnas Perempuan atau aktivis perempuan dan media-media yang memang sangar memperjuangkan suara-suara perempuan. Aku yakin, apalagi kamu yang nulis." Begitu kata Ranendra yang berjanji akan merealisasikan film ini kepadaku yang menurutnya juga aku sudah susah payah menuliskan naskahnya.

"Perjuangan kita, Ran. Bukan cuman aku aja."

"Tuh dengerin, Ran. Kita, bukan Genta doang!"

Ranendra menaruh puntung rokoknya lalu mendelik ke arah Fadil, "Emang banyak bacot lo jadi orang!" Ranendra kembali pada setelan pabrik saat berhadapan dengan Fadil. Aku tertawa renyah melihat kelakuan mereka.

Setidaknya pujian Ranendra dan kegiatan kami ini dapat mengikis rasa benciku terhadap tubuh sendiri. Sungguh, selangkangku kembali terasa sakit. Aku kembali merasa jijik. Ingin sekali aku mengoyak kulit ini menggunakan garpu, menyiramnya dengan air panas agar aku bisa lega.

"Renjana, kamu kenapa?" tanya Ranedra yang keheranan melihatku seperti orang menggigil kesakitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun