Dua orang dengan motor butut yang mengenakan topeng ski, berlalu ditelan perkebunan di ujung jalan. Sheika menatapi kepala babi itu, terror mengerikan mulai mengungkung benak kami. Rasanya aku ingin mundur, aku takut sekali bersua dengan Izrail karena merasa amalanku belum cukup.
"Jangan takut, ini gertakkan primitif dari orang-orang yang iri karena aku menggunakan warisan Bapak untuk membangun perpustakaan."
Aku menelan ludah, memegangi pundak Sheika yang tegang walaupun ia mencoba untuk tetap tegar. "Mereka hanya menginginkanku, tak terima si yatim piatu ini menggunakan warisan orang tuanya sendiri demi membela kebenaran. Biarkan, mereka bisa apa? Menculikku? Mencongkel mataku? Menumbuk otakku? Menghunjam jantungku? Silakan saja, aku akan tetap abadi bersama perpustakaan ini," sambungnya langsung membuatku merinding seraya menggosok tengkuk yang tetiba dingin.
Naleeka memeluk sahabatnya itu dari belakang. Aku dan Agung saling menatap yakin. Yakin bahwa akan saling melindungi hingga kami merasa kecolongan pada malam yang sama. Saat Naleeka sedang menyantap nasi goreng petai bersamaku dan Agung, kami tak sadar Sheika pergi mengambil lampu bohlam di rumah kepala desa.
Hingga pukul 10 malam. 3 jam setelah kepergiannya. Ia tak kembali. Pencarian besar-besaran kami lakukan bersama para warga dan tokoh setempat. Renovasi perpustakaan terpaksa kami tunda.
7 hari setelahnya. Kabar menghilangnya Sheika menjadi sorotan dunia, beberapa jam kemudian ia ditemukan oleh pihak kepolisian pada sebuah gubuk di tengah hutan. Untungnya, dalam keadaan hidup, tetapi tubuhnya kurus, dehidrasi, dan mengalami trauma berat.
Ada bekas darah mengering di bagian lutut, jempol kaki bonyok, jari kuku yang hilang, wajah lebam, dan perut terluka. Kami bertiga menghampiri di kantor polisi di pusat kota. Sementara para tersangka---tukang jagal, para penyiksa itu masih dicari. Aku tidak peduli, aku hanya ingin melihat kondisi Sheika.
Tatapannya kosong.
Aku meminta agar Agung dan Naleeka tidak langsung menyentuh apalagi memeluknya. Takut ia masih trauma. Biarkan pahlawan muda ini diberi ruang dan waktu. Namun memastikan bahwa dirinya tidak sendirian.
"Perpustakaan kita," kata Sheika setengah berbisik masih duduk membelakangi kami, "Aku akan kembali ke perpustakaan itu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H