"Kalau suatu hari nanti aku mati, biarkan jiwa ini abadi di antara lorong-lorong rimba buku lalu hanyut di dalam lautan ilmu. Jika ragaku telah hilang atau sengaja dihilangkan, carilah nyawaku yang masih hidup pada pembatas buku yang kamu baca. Aku abadi di sana."
Kata-kata itu memelesat tajam menusuk dada saat aku mengingatnya sambil mengantukkan buku Laut Bercerita kesukaannya ke arah wajah hingga memar, lalu cairan merah meluncur dari lubang hidung sebelah kanan. Pedih. Asin.
Kalimat yang tajam itu membekas selamanya di dalam benakku.
Namun dirimu, Sheika Harum Kelana, keberadaanmu masih belum ditemukan. Batang hidungmu entah ke mana, apakah kamu sedang asyik berkelana sampai lupa jalan pulang?
Jangan lupa, impianmu masih mengambang pada lelangit atap yang dingin dari perpustakaan setengah jadi ini. Dinding-dinding itu masih harus kita gosok dan cat ulang dengan warna biru langit atau dihias mural-mural kontemporer---kami masih memperdebatkan.
Aku mengantukkan lagi buku itu sebanyak tiga kali. Tidakkah kamu mendengarnya, Shei? Bunyi kruk dari tulang hidungku yang akhirnya menyerah, atau noda merah membekas pada sampul yang selalu kamu lap hingga mengilap?
Mungkin tokoh Biru Laut sedang menertawakan perbuatanku dari tiap halaman buku ini. Alih-alih mendandani perpustakaan, aku malah menangisi keberadaanmu yang belum kunjung ditemukan.
Akhirnya tungkaiku menyerah kemudian terduduk pada emperan bagian belakang perpustakaan. Pandanganku mulai kabur, tetesan darah dari hidung membentuk pola yang acak pada turtle neck abu-abu pemberianmu.
Katamu, perpustakaan kecil di tengah perdesaan ini adalah impianmu untuk mewujudkan generasi emas dari uang warisan bapak dan patungan para mahasiswa di kampus. Harus dari akar, grasroots, pokoknya perubahan secara radikal biar tidak mudah dibodohi lagi dengan sembako atau uang sepeser yang habis dalam waktu sehari.
Impianmu yang membuatku jatuh hati. Pola pikir liar namun tidak egois dan jarang dijumpai oleh anak muda pada zaman kiwari. Sejak masih menjadi mahasiswi baru Ilmu Politik hingga memasuki semester akhir, tetap bertekad mengabdi sebagai guru relawan di pelosok-pelosok daerah yang minim akses internet dan makanan bergizi.
Namun, mengapa kamu tiba-tiba menghilang, Shei?