Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

7 Days After

27 September 2024   03:02 Diperbarui: 27 September 2024   04:50 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Peter Chun Mao Wu - Pinterest

"Aku sih enggak melarang, tapi ini soal substansi, Nal. Substansi berpikir secara mendasar yang harus kita ajarkan biar mereka enggak manja, biar tahu mana yang benar dan salah. Tantangan kita makin gede, kalau cuman ikutin perkembangan zaman tanpa diimbangi bekal ini," Agung, lelaki jangkung berkulit cokelat gelap itu menunjuk kepalanya sendiri menggunakan jari, "Bakalan jadi generasi cemas bukan emas."

Aku melihat Naleeka memandangi Agung sinis sambil berkacak pinggang. Bahaya, Naleeka mode debat adalah bencana, "Gini loh, Gung. Kalau berbicara soal topik yang akan kita ajarkan idealnya kan: hari pertama, minggu pertama, bekali mereka dengan rasa simpati biar sadar dulu sama diri sendiri, lingkungan sendiri. Baru deh kalau sudah, kita ajarin ilmu logika yang sederhana minggu depannya, Freud, Gung, Freud!"

Kalau Naleeka sudah membawa tokoh Sigmund Freud, artinya ia sungguh-sungguh dari tiap kata di kalimatnya. Aku memandangi perdebatan mereka seraya terkekeh dari sela-sela lemari memanjang yang sedang ku bersihkan debu-debunya.

Kusen berdebu, lantai menguarkan aroma apak, lelangit atap dengan dekorasi sarang laba-laba, suara debat Agung versus Naleeka menyeruduk ke mana-mana. Tugas kami sungguh masih panjang. Namun aku menikmatinya. Semua demi mewujudkan alinea keempat UUD 1945, yakni mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Agung Cahyadi, Naleeka Indreswari aku punya ide lain, gimana kalau kita konsentrasi dengan tugas-tugas mendesak? Misalnya kamu carikan lap pel, Gung, bantuin Nandika di lorong. Nah, aku sama Naleeka urus jadwal diskusi untuk anak-anak setempat. Tapi nanti, setelah kami hitung jumlah buku hasil donasi dan bangku dan meja dan emperan perpustakaan di bagian belakang yang belum ditata sama sekali," jelas Sheika dengan suara lembut tanpa intimidasi sedikit pun kemudian mengantongi secarik kertas di saku belakang celana jin.

Itu dia, Sheika yang aku maksud.

Perangainya lemah lembut, tetapi kalimatnya tegas mencerminkan sosok seorang pemimpin. Rambut panjang hitam dikucir buntut kuda, keringat mengucur dari leher jenjangnya, dan membasahi kaus oblong luaran kemeja gelap.

Perintahnya langsung di-iyakan oleh Agung dan Naleeka. Tanpa keluh kesah. Sementara kami lanjut membersihkan perpustakaan, giliran suara alunan lagu nan merdu milik Payung Teduh berjudul Angin Pujaan Hujan menggema.

Lantas, Sheika berlenggang---menggerakkan kaki dan tangan dengan luwes, ujung rambutnya bergerak lincah. Aku terpukau. Perutku mulas. Dia bagaikan malaikat yang jatuh ke bumi, membuat dadaku ribut. Naleeka turut menari, tertawa lepas dan membiarkan serpihan cahaya senja menjadi lampu sorot kala keduanya bertukar kisah: tentang dua mahasiswi bersama impiannya.

Namun kebahagiaan kami berubah menjadi ketegangan saat kaca jendela bagian depan, dipecahkan oleh dua orang yang berboncengan lalu segera menarik gas motor butut dengan knalpot ribut. Aku dan Sheika segera menghampiri, disusul Agung dan Naleeka di belakang kami.

Lagi-lagi, kepala babi untuk kedua kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun