Batavia (Jakarta), hari ini
Tepat di depan jendela ini ratusan tahun lalu. Saya berdiri menatap Batavia yang ramai karena Festival Anggur Belgia. Tanah itu belum tersusun dari bata, masih tanah cokelat bersama karpet merah digelar di atasnya, hiasan Kerajaan Belanda meramaikan acara megah dengan alunan musik yang manis memanjakan telinga.
Saya berandai tentang perubahan dialami Batavia; puluhan, ratusan, hingga ribuan tahun ke depan. Tidakkah aroma anggur yang tumpah di tanah itu masih sama? Pakaian bersinar dari anak bangsawan tetap menawan? Potongan nada manis itu mengalun manja?
Tidak, mereka semua berubah.
Sekali lagi saya kembali berdiri di sini, setelah ratusan tahun lamanya memendam rindu akan rumah megah milik bangsawan hebat pada masanya yang telah beralih fungsi menjadi museum nasional. Ya, saya mengenang malam itu---sebuah kenangan yang bercokol secara tiba-tiba dari dalam kepala---di mana saya tengah berdiri memegang segelas air mineral setengah habis sementara di samping saya, dia, masih setia menemani.
Tanpa suara ia mendekat, menggerus jarak yang awalnya memisahkan. Korset memeluk bagian perut sehingga membuatnya terlihat mungil, dress putih panjang menutupi kaki pendeknya. Saya bisa melihat wajah puan itu berseri di bawah lampu gantung berpendar kuning, tersenyum ke arah saya dengan tulus. Ia masih diam, tetapi matanya menyiratkan banyak makna. Â
Kami berdua benci keramaian. Cinta kesunyian. Andai saya dapat berjumpa lagi dengannya dan melihat apa yang terjadi pada Jakarta masa kini seraya mengenang perbincangan singkat kami.
*** Â Â
Batavia, tempo doeloe
Saya mengayuh sepeda ontel menyusuri jalanan berlumpur bekas hujan semalam. Terpaksa celana bahan putih tenun, bawahan seragam resmi tempat saya bekerja di kantor gubernur pada bagian arsip, harus dilipat selutut demi menghindari cipratan air kotor itu.
Setelah mengayuh ontel selama lima belas menit. Saya sampai tempat tujuan, sebuah gedung megah terpampang di depan mata. Pilar-pilar besar dan dekorasi interior bergaya eropa menyapa disusul harum surat dan kertas ketika mendekati ambang pintu. Saya mengambil sapu tangan untuk menyeka peluh yang berjatuhan dari dahi.
Sampai satu titik saya mendapati seorang puan tengah memerhatikan dari lantai tiga. Ia bergegas membuang muka, pura-pura mencari mentari yang mengintip dari gumpalan awan kelabu.
Saya tersenyum tipis akan tingkahnya. Nona Muda suka duduk di bibir jendela, belum berani menengok lagi pada pukul 7 pagi. Saya pun pura-pura berpaling agar rasa malu tidak terlalu lama mengungkungnya yang ditengarai dari pipi tirus memerah itu. Manisnya.
Nona Muda merupakan anak angkat dari gubernur kota ini. Nama Nona Muda adalah Kani Swastika, bulan Juli tanggal tiga nanti usianya 19 tahun, kegemarannya duduk di bibir jendela saat pagi dan menjelang sore. Sesekali ia mampir ke bagian arsip waktu jarum panjang dan pendek bertemu di angka 12, kemudian mengambil langkah seribu tiap mendengar derap langkah kaki saya bersama rekan kerja.
Namun siang ini saya berniat menangkapnya tak peduli jika harus melewati jam makan siang. Saya berkata kepada rekan bahwa arsip ini harus segera diselesaikan, selanjutnya bersembunyi dibalik pintu masuk lalu menyapa Nona Muda.
Senang rasanya sewaktu melihat Nona Muda celingak-celinguk dari ambang pintu, terlihat ketakutan sebab tahu kalau ia tak ubahnya seperti gerilyawati yang muncul dari bawah tanah, dan membawa sepucuk surat laksana belati hendak ditaruh di atas meja kayu saya.
Sejujurnya tidak tega melihat Nona Muda kecewa jika saya tiba-tiba muncul dari balik pintu kayu besar karena menggagalkan misi perdananya. Namun otak saya berkata lain. Ia ingin sekali bertemu Nona Muda, mendengar suara lembutnya, dan bertanya:Â mengapa Nona Muda suka duduk di jendela lantai tiga?
"Kau.... "
Sontoloyo. Saya malah larut dalam lamunan tanpa sadar Nona Muda telah menangkap saya terkesiap dari balik pintu.
"N-Nona Muda?" panggil saya terbata sambil meraba dada yang berdentum kuat.
Wajahnya memerah terbakar malu. Nona Muda menodong menggunakan jari telunjuk, menyuruh dengan tegas agar tidak mendekat lagi ke arahnya karena jika tidak mendengarkan ...
"Saya laporkan kau kepada Tuan Besar," ancamnya walaupun itu sekadar gertakan, tetapi saya harus tetap waspada.
Jarak kami terpisah 4 meter. Hanya sedekat itu saya mampu berinteraksi, tak boleh neko-neko lagi. Suara tawa menggema dari luar perlahan membunuh hening di dalam ruangan. Nona Muda mendelik dan memutar langkah lewat bangku di sebelah kanannya, berharap agar cepat keluar dari ruangan cukup luas ini.
"Jangan mendekat!" pintanya, saya bergeming. Nona Muda pergi tanpa menoleh karena sibuk menyembunyikan rasa malunya.
Saya tahu, Nona Muda tak sungguh-sungguh melakukan itu. Namun realita menampar pipi saya sangat kuat.
Semuanya berantakan. Tak ada pertanyaan tentang Nona Muda dan jendela atau sekadar bertanya kabar. Saya memejamkan mata membiarkan penyesalan membelenggu hati dan pikiran. Sampai tersadar sepucuk surat itu tergeletak tak bertuan, disinari serpihan matahari yang menyorotnya agar dibaca.
***
Batavia, Festival Anggur Belgia
"Tjara menjemboenjikan kebohongan njatanja tak moedah. Saja kerap memikirkan Anda. Malam ini pergilah bersama saja. Ikoet ramai-ramai ke Festival Anggoer Beljia."
- Kani
Begitulah isi surat yang saya terima darinya. Nona Muda atau Kani tidak semengerikan siang tadi. Justru ia menyambut saya lalu memperkenalkan kepada tamu-tamu lain menggunakan bahasa kompeni yang secara harfiah tak bisa saya pahami.
Akhirnya kami berdiri di depan jendela lantai tiga. Tempat kesukaannya menatap dunia melalui mata rumah megah ini. Saya menelan ludah sewaktu rasa gugup mulai merambati tulang punggung, merasakan Kani menyandarkan kepala dan melingkarkan lengannya, sehingga menggerus jarak yang tadinya memisahkan kami.
"Kau tahu mengapa saya suka duduk di jendela ini?"
Sungguh? Nona Muda mengajukan pertanyaan itu? Apa dia cenayang yang dapat membaca isi pikiran saya? Sekali lagi saya menelan ludah. Berusaha keras merangkai kata yang berserakan di dalam kepala agar menjadi kalimat utuh dan sederhana. Walaupun yang keluar hanyalah, "apa itu, Nona Muda?"
"Kani, panggil saja, Kani," koreksinya.
Saya mengangguk sambil menatap langit malam yang dihiasi serdadu bintang dan sebuah bulan perak beraksen pucat. Nampaknya Nona Muda tak akan menggubris percakapan kami sebelum dirinya dipanggil Kani. Saya pun menurut walaupun jantung ini berdegup kencang.
"Apa itu, Kani?"
Nona Muda, maksud saya, Kani menyimpulkan senyum manis pada wajah berserinya. Rambut hitam legam keriting terurai berjatuhan di atas bahu, suara merdu biola dari lapangan berterbangan memanjakan telinga. Semuanya sepakat terlihat indah. Apalagi Kani berdiri di samping saya.
"Jendela ini bagaikan penghubung antara kau dengan dunia. Dunia luas tak punya muara, menyimpan sejuta misteri yang patut dicari tahu dan dipelajari. Saya suka duduk di jendela ini karena tak hanya menikmati suguhan cakrawala bersama pertunjukan teater alamnya. Dunia menyimpan lebih banyak keindahan daripada itu."
Jeda itu. Saya menautkan sorot mata kami. Dari jarak sedekat ini, kulit sawo matangnya nampak berkilau bagaikan candu bagi mata yang tak mau berkedip.
Saya hanyalah petugas arsip yang kebetulan menggantikan bapak karena sedang sakit sejak dua bulan lalu. Selama 22 tahun hidup di bumi dan tinggal dalam lindungan rumah dengan dinding anyaman bambu terkadang tak berdaya melindungi saya, bapak, dan ibu dari rinai hujan. Baru detik ini merasakan kenikmatan yang menyapa sukma laksana embun pagi membasahi tanah kemarau.
"Saya tak bisa berhenti memikirkan kau. Pulang pergi mengendarai sepeda ontel milik bapak, mengabdi untuk negara, dan cara kau menatap saya waktu fajar menyingsing juga saat petang mengikis langit biru. Semua terjadi berkat media ini, jendela ini. Tolong, jangan lupakan. Ke mana pun kau pergi, di mana pun kau berada. Ingatlah malam ini."
Rahang saya mengeras setelah mendengar kata-kata itu. Entah harus merasa sendu atau bahagia, semua berkecamuk menjadi satu. Kani pun berterus terang bahwa lusa ia tak lagi tinggal di Batavia.
Saya tidak paham. Kani pun demikian. Namun ada telaga yang harus diisi olehnya.
Awalnya, saya mengira malam ini akan menjadi langkah manis bagi kami berdua. Nampaknya takdir tengah berkonspirasi dengan langit malam, alih-alih menunjukkan keindahan melalui jendela megah ini hanya sebagai pengalih perhatian ihwal kenyataan pahit yang akan saya ungkap.
Nona Muda suka duduk di jendela, pamit. Ratusan tahun kemudian saya masih berdiri merenungkan kejadian itu. Walaupun raga saya sudah tidak ada, rasa kehilangan itu ternyata masih menetap hingga detik ini.
Sekarang Batavia berubah menjadi Jakarta. Gedung ini beralih fungsi sebagai museum nasional. Tak ada lagi warna biru di bawah merah putih.
Jendela ini akan selamanya menjadi saksi bisu dari kisah antara kau dan saya.Â
Kani Swastika. Saya rindu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H