Sungguh? Nona Muda mengajukan pertanyaan itu? Apa dia cenayang yang dapat membaca isi pikiran saya? Sekali lagi saya menelan ludah. Berusaha keras merangkai kata yang berserakan di dalam kepala agar menjadi kalimat utuh dan sederhana. Walaupun yang keluar hanyalah, "apa itu, Nona Muda?"
"Kani, panggil saja, Kani," koreksinya.
Saya mengangguk sambil menatap langit malam yang dihiasi serdadu bintang dan sebuah bulan perak beraksen pucat. Nampaknya Nona Muda tak akan menggubris percakapan kami sebelum dirinya dipanggil Kani. Saya pun menurut walaupun jantung ini berdegup kencang.
"Apa itu, Kani?"
Nona Muda, maksud saya, Kani menyimpulkan senyum manis pada wajah berserinya. Rambut hitam legam keriting terurai berjatuhan di atas bahu, suara merdu biola dari lapangan berterbangan memanjakan telinga. Semuanya sepakat terlihat indah. Apalagi Kani berdiri di samping saya.
"Jendela ini bagaikan penghubung antara kau dengan dunia. Dunia luas tak punya muara, menyimpan sejuta misteri yang patut dicari tahu dan dipelajari. Saya suka duduk di jendela ini karena tak hanya menikmati suguhan cakrawala bersama pertunjukan teater alamnya. Dunia menyimpan lebih banyak keindahan daripada itu."
Jeda itu. Saya menautkan sorot mata kami. Dari jarak sedekat ini, kulit sawo matangnya nampak berkilau bagaikan candu bagi mata yang tak mau berkedip.
Saya hanyalah petugas arsip yang kebetulan menggantikan bapak karena sedang sakit sejak dua bulan lalu. Selama 22 tahun hidup di bumi dan tinggal dalam lindungan rumah dengan dinding anyaman bambu terkadang tak berdaya melindungi saya, bapak, dan ibu dari rinai hujan. Baru detik ini merasakan kenikmatan yang menyapa sukma laksana embun pagi membasahi tanah kemarau.
"Saya tak bisa berhenti memikirkan kau. Pulang pergi mengendarai sepeda ontel milik bapak, mengabdi untuk negara, dan cara kau menatap saya waktu fajar menyingsing juga saat petang mengikis langit biru. Semua terjadi berkat media ini, jendela ini. Tolong, jangan lupakan. Ke mana pun kau pergi, di mana pun kau berada. Ingatlah malam ini."
Rahang saya mengeras setelah mendengar kata-kata itu. Entah harus merasa sendu atau bahagia, semua berkecamuk menjadi satu. Kani pun berterus terang bahwa lusa ia tak lagi tinggal di Batavia.
Saya tidak paham. Kani pun demikian. Namun ada telaga yang harus diisi olehnya.