Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai alasan terjadinya sinisme terhadap era simulasi. Pertama, keberadaan simulasi di segala lini kehidupan adalah penyebab pengikisan perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner; yang asli dengan yang palsu. Puncaknya adalah lahirnya konsep Hoax.
Kedua, sangat sulit membedakan yang nyata dari yang palsu, sebab setiap kondisi yang ada saat ini adalah hasil perpaduan dari yang nyata dengan yang palsu. Ketika tidak ada lagi kebenaran substansial atas realitas, maka tanda (sign) tidak lagi melambangkan sesuatu.Â
Seorang artis atau selebgram dengan jumlah pengikut yang banyak di media sosial selalu berusaha menampilkan foto diri yang mengespresikan kebahagiaan, keceriaan, dan keindahan hidup, juga caption berisi kata-kata bijak.
Namun, bisa jadi beberapa waktu sebelumnya ia mungkin mengalami kemalangan hidup: perpisahan, berita duka, kebangkrutan, konflik, dan lain sebagainya.Â
Apa yang ditampilkan oleh artis tersebut adalah kenyataan yang telah disimulasikan; realitas yang telah dipilih. Maka memang benar, di dunia digita atau maya kita sulit membedakan mana yang asli, dan mana yang palsu.Â
Senyum artis di media sosialnya itu apakah pertanda kebahagian. Jawabnya: belum tentu. Ulasan Baudrillard tentang dunia simulasi di dalam buku Simulacra and Simulation menemukan banyak relevansi dengan keseharian kita saat ini.
Pilihan Hari Ini: Struktur vs Agensi
Pada akhirnya, semua kembali pada kita, membiarkan dunia simulasi mengurung kita dalam kepalsuan hidup, atau menunjukkan sikap resisten. Jika mengikuti alur teori strukturasi, tindakan sosial, dan agensi milik Anthony Giddens, ilmuwan sosial Inggris, dunia kita hari ini merupakan sebuah struktur yang mengarahkan kita pada sikap atau tindakan tunduk terhadap digitalisasi kehidupan, serta fetisisme kepada media sosial. Maka, diperlukan sebuah agensi untuk setidaknya mencoba mengubah struktur yang menindas tersebut.
Atau, biarlah kita cukup puas, eksistensi kemanusiaan kita diwakili oleh avatar-avatar di dunia maya yang serba digital. Asli, tapi palsu. Itulah dunia simulakra.
Sumber Bacaan:
F. Budi Hardiman, Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, 2004.