Addicted sekadar tergantung, namun fetish merupakan pemujaan. Sehari tanpa membuka media sosial, apa pun itu platformnya, seperti sehari di gurun gersang tanpa air.Â
Facebook, IInstagram, Twitter, WhatsApp, TikTok, dan Telegram adalah ukuran eksistensi kita hari ini. Mengintip instastory teman dan selebgram ternama hingga sekadar men-scroll status whattsapp orang lain adalah hal rutin kita hari ini. "Aku bermedsos, maka Aku ada", memodifikasi ungkapan terkenal Filsuf Perancis, Rene Descartes.
Space dan Era Simulasi
Ketika media, khususnya New Media, lebih khusus lagi cyber culture telah 'menjangkiti' masyarakat, maka pola kehidupan berubah. Dari yang tadinya berinteraksi secara langsung (face to face), misalnya, diganti dengan interaksi interpersonal melalui jejaring sosial berbasis digital.Â
Memang, kehadiran media-media tersebut memudahkan manusia dalam berinteraksi satu dengan yang lainnya, sebab pada saat itu manusia melakukan interaksi dalam intensitas yang sangat tinggi, sehingga membutuhkan sebuah media yang dapat membuat cara berkomunikasi mereka lebih praktis dan cepat.Â
Perlu menjadi catatan, di era Pandemi Covid 19 paltform penyedia ruang pertemuan virtual seperti zoom dan G-meet menjadi primadona. Platform-platform tersebut hadir di lingkungan pendidikan, ekonomi, pemerintahan, dan perkantoran, ketika manusia saling mengisolasi diri.
Namun, di balik optimisme setiap kemajuan dan perubahan selalu terdapat sisi kelam. Tidak terbantahkan, kehadiran media-media tersebut telah mereduksi hakikat interaksi yang telah tertanam pada nilai-nilai lama. Nilai-nilai lama tersebut merupakan sesuatu yang adiluhung, yang telah menjadi semacam pedoman hidup pada masyarakat, khususnya di Indonesia.Â
Hubungan interaksi pada nilai-nilai lama merupakan sebuah hubungan yang memiliki makna mendalam. Seseorang saling bertemu secara face to face untuk melakukan interaksi, serta terjadi hubungan emosional yang jarang terjadi pada interaksi di dunia maya.
Budaya digital telah mentransformasi place menjadi space. Place mengacu pada sebuah ruang tiga dimensi, di mana seseorang dapat hadir 'utuh', dan dapat dirasakan kehadirannya secara empiris. Sedangkan space merupakan sebuah ruang maya, di mana setiap user internet melakukan segala aktivitasnya di situ.Â
Berbeda dengan place, keberadaan seseorang di dalam space tidak dapat dirasakan secara empiris. Pada beberapa platform digital keberadaan seseorang dalam space dapat diketahui melalui kamera, tapi wujud konkritnya tetap tidak dapat dirasakan.
Keberadaan kita dalam space internet hanya berupa simulasi. Jean Baudrillard, pemikir kontemporer Perancis berpendapat bahwa, kita hidup di 'zaman simulasi'. Baudrillard memandang fenomena simulasi ini dengan nada yang sinis sekaligus pesimis.Â