Masyarakat Anomi dan Usaha Menemukan Nilai yang Hilang
Tidak dapat dimungkiri, kemajuan teknologi memanjakan manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, segala kegiatan manusia untuk mencapai tujuannya difasilitasi dan dipermudah. Manusia memang perlu dibantu, sebab aktivitasnya semakin kompleks, seiring berkembangnya cara berpikir mereka.Â
Untuk membantu manusia menciptakan aktivitas interaksi yang efisien dan efektif, maka teknologi memperkenalkan media sosial.
Namun sayangnya, media sosial yang pada awalnya sekadar instrumen untuk mempermudah manusia dalam hal berinteraksi, kini justru membelenggu, bahkan menindas manusia.Â
Beberapa analisis terhadap kondisi sosial kontemporer bahkan menemukan data bahwa, media sosial telah mengambil posisi sebagai penentu nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Konsep tentang viral, follower, subscriber, dan trending menjadi tolak ukur baru dalam penyemaian nilai dan budaya. Sesuatu yang positif namun tidak viral, atau trending, maka kecil kemungkinannya menjadi nilai yang tersemai dengan luas.Â
Sebaliknya, sesuatu yang negatif, tapi disebarluaskan oleh media sosial bersubscriber banyak lalu menjadi viral dan trending, maka besar kemungkinan menjadi nilai baru yang diamini tanpa nalar kritis. Fenomena ini jamak terjadi di dalam masyarakat yang mengidap sindrom Anomi.
Raksasa Sosiologi, Emil Durkheim, dalam tulisannya The Division of Labour in Society menjelaskan: anomi adalah kondisi di mana masyarakat tanpa pegangan, norma, atau nilai. Maka, yang terjadi adalah munculnya gap antara realitas yang diidamkan dengan kenyataan sosial yang ada. Disharmoni di dalam masyarakat adalah puncak dari semuanya.Â
Dalam bukunya yang terbit pertama kali pada tahun 1893 itu, Durkheim menganalisis: kondisi anomi dapat terjadi dalam masyarakat yang memiliki kekhususan dalam hal etnisitas, ras, agama, kedaerahan, dan status sosial.Â
Perbedaan-perbedaan mencolok dalam hal tersebut menyebabkan sulitnya membangun kesepakatan nilai (value). Beberapa pandangan menambahkan jika kondisi ini terjadi pada masyarakat yang telah kehilangan norma-norma lama, namun belum menemukan norma yang baru.
Maka, kehadiran media sosial hari ini seolah dianggap sebagai sumber norma baru yang dinanti-nanti. Manusia tidak hanya addicted, ia bahkan mem-fetish-kan media sosial.Â