Mohon tunggu...
Rangga Agnibaya
Rangga Agnibaya Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Bagi Ilmu

Membaca, menulis, menonton film, dan sepak bola: Laki-laki.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Peradaban Digital: Optimisme Teknologi, Nilai yang Hilang, dan Jeratan Simulakra

13 Agustus 2023   23:47 Diperbarui: 15 Agustus 2023   10:49 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: E. Siagian via KOMPAS.id

Setiap era mempunyai obsesi masing-masing sebagai penanda semangat zamannya. Sebelum abad pertengahan, atau biasa disebut sebagai abad kegelapan, seluruh kegiatan manusia, khususnya di Eropa, menunjukkan keterobsesian manusia akan akalnya. 

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana akal atau rasio manusia mengantarkan manusia sampai pada penemuan-penemuan brilian, seperti yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Yunani kuno.

Namun semua berubah, ketika gereja Roma menjadi 'kediktatoran' yang terlegetimasi, maka era pemujaan manusia terhadap akalnya berakhir. Abad pertengahan menjadi 'kuburan' bagi rasio manusia. 

Segala tindakan manusia diarahkan dan disesuaikan pada nilai-nilai moralitas gereja, dan segala pemikiran dan tindakan yang berseberangan dianggap sebagai kesesatan (bid'ah). Ilmuwan-ilmuwan dicap sebagai penyihir dan dihukum, sebab teori-teori mereka tentang fenomena alam dan realitas bertolak belakang dengan doktrin gereja. Beberapa dari mereka yang kurang beruntung bahkan dibakar hidup-hidup (F. Budi Hardiman, 2004).

Abad kegelapan di Eropa berlangsung hingga hampir satu milenium, lalu muncul abad pencerahan: Enlaightenment. Rasio manusia dikembalikan pada posisinya yang istimewa, seperti sebelum Abad Pertengahan. 

Enlaightenment melalui rasio dan prinsip keilmiahan melahirkan teknologi. Rasio membuat manusia 'bangun' dari tidurnya untuk mewujudkan mimpinya tentang sebuah peradaban yang canggih. 

Teknologi menjadi sebuah obsesi yang melatari segala kegiatan manusia, serta salah satu prasyarat yang wajib dipenuhi untuk dapat mengukur tingkat kemajuan.

Transformasi Pola Komunikasi Manusia

Penemuan-penemuan berbasiskan teknologi ditemukan pada era tersebut. Teknologi menjadi jaminan bahwa segala bentuk permasalahan yang dihadapi manusia dapat teratasi. Teknologi menjadi alat perpanjangan tangan manusia itu sendiri. 

Dalam bukunya yang berjudul The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man, Marshal McLuhan berteori: "During the mechanical ages we had extended our bodies in space". McLuhan juga meramalkan bahwa, perubahan cara manusia berkomunikasi juga mempengaruhi cara mereka menjalani kehidupan. 

Setidaknya hari ini kita banyak melihat bukti ramalan tersebut: orang lebih senang berkomunikasi dengan yang jauh melalui gawai, daripada memulai perbincangan dengan orang di dekatnya ketika menunggu sesuatu di satu kesempatan.

Majunya peradaban manusia, dengan didukung kemajuan teknologi, membuat aktivitas manusia menjadi tidak sederhana lagi. Mobilitas manusia menjadi sangat kompleks. 

Kompleksnya mobilitas manusia ini dipengaruhi oleh kebutuhan manusia dalam mencapai harapan-harapannya. Pada akhirnya, hal ini mengharuskan mereka untuk melakukan interaksi satu dengan yang lain secara intensif. Komunikasi menjadi salah satu medium yang paling berperan dalam interaksi tersebut. Interaksi sosial tidak akan berlangsung tanpa adanya komunikasi.

Seiring berjalannya waktu, perkembagan zaman membuat cara berkomunikasi manusia mengalami transformasi. Dari yang paling kuno (masih menggantungkan pada alam) sampai yang paling modern. 

Komunikasi modern mempunyai kecenderungan lebih praktis dan cepat dari yang kuno, sebab telah ditunjang oleh kemajuan teknologi. Transformasi perubahan cara berkomunikasi manusia yang dipengaruhi oleh teknologi juga diurai oleh McLuhan dalam bukunya bahwa, perkembangan cara berkomunikasi manusia terjadi dalam beberapa tahap.

Pertama, Trebel Age, di mana telinga manusia sangat dominan. Pada era ini media manusia berkomunikasi masih tergantung pada alam. Misalnya, manusia purba hanya saling berteriak ketika berkomunikasi pada jarak yang jauh. 

Kedua, Literer Age: mata manusia mulai digunakan, selain telinga. Pada masa ini teknologi juga mulai digunakan. Selain itu, rekayasa untuk mempermudah komunikasi mulai dilakukan. Penggunaan kode-kode, simbol-simbol, huruf Heroglip, mulai digunakan saat berkomunikasi. 

Ketiga, Print Age. Telinga, mata, dan rasa mulai berperan pada masa ini. Keempat, Electronic Age. Pada Era ini konsep Global Village McLuhan menemukan relevansinya.

Global Village merupakan konsep yang menjelaskan fenomena di mana masyarakat dari semua kalangan dari berbagai tempat disatukan dalam satu 'ruang' oleh alat komunikasi dan informasi, misalnya oleh televisi. 

Pada awal kemunculannya, paparan yang disampaikan oleh McLuhan tersebut mendapat cibiran dari masyarakat. Tapi pada saat ini, apa yang dipaparkan oleh McLuhan menjadi sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. 

Setidaknya lebih dari satu milyar manusia dari berbagai kategori usia, jenis kelamin, status sosial, serta tersebar di seluruh pelosok dunia, seolah berada di dalam satu ruang yang sama ketika menikmati Lionel Messi dan Kylian Mbappe beradu skill di final Piala Dunia 2022 yang lalu.

Masyarakat Anomi dan Usaha Menemukan Nilai yang Hilang

Tidak dapat dimungkiri, kemajuan teknologi memanjakan manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, segala kegiatan manusia untuk mencapai tujuannya difasilitasi dan dipermudah. Manusia memang perlu dibantu, sebab aktivitasnya semakin kompleks, seiring berkembangnya cara berpikir mereka. 

Untuk membantu manusia menciptakan aktivitas interaksi yang efisien dan efektif, maka teknologi memperkenalkan media sosial.

Namun sayangnya, media sosial yang pada awalnya sekadar instrumen untuk mempermudah manusia dalam hal berinteraksi, kini justru membelenggu, bahkan menindas manusia. 

Beberapa analisis terhadap kondisi sosial kontemporer bahkan menemukan data bahwa, media sosial telah mengambil posisi sebagai penentu nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Konsep tentang viral, follower, subscriber, dan trending menjadi tolak ukur baru dalam penyemaian nilai dan budaya. Sesuatu yang positif namun tidak viral, atau trending, maka kecil kemungkinannya menjadi nilai yang tersemai dengan luas. 

Sebaliknya, sesuatu yang negatif, tapi disebarluaskan oleh media sosial bersubscriber banyak lalu menjadi viral dan trending, maka besar kemungkinan menjadi nilai baru yang diamini tanpa nalar kritis. Fenomena ini jamak terjadi di dalam masyarakat yang mengidap sindrom Anomi.

Raksasa Sosiologi, Emil Durkheim, dalam tulisannya The Division of Labour in Society menjelaskan: anomi adalah kondisi di mana masyarakat tanpa pegangan, norma, atau nilai. Maka, yang terjadi adalah munculnya gap antara realitas yang diidamkan dengan kenyataan sosial yang ada. Disharmoni di dalam masyarakat adalah puncak dari semuanya. 

Dalam bukunya yang terbit pertama kali pada tahun 1893 itu, Durkheim menganalisis: kondisi anomi dapat terjadi dalam masyarakat yang memiliki kekhususan dalam hal etnisitas, ras, agama, kedaerahan, dan status sosial. 

Perbedaan-perbedaan mencolok dalam hal tersebut menyebabkan sulitnya membangun kesepakatan nilai (value). Beberapa pandangan menambahkan jika kondisi ini terjadi pada masyarakat yang telah kehilangan norma-norma lama, namun belum menemukan norma yang baru.

Maka, kehadiran media sosial hari ini seolah dianggap sebagai sumber norma baru yang dinanti-nanti. Manusia tidak hanya addicted, ia bahkan mem-fetish-kan media sosial. 

Addicted sekadar tergantung, namun fetish merupakan pemujaan. Sehari tanpa membuka media sosial, apa pun itu platformnya, seperti sehari di gurun gersang tanpa air. 

Facebook, IInstagram, Twitter, WhatsApp, TikTok, dan Telegram adalah ukuran eksistensi kita hari ini. Mengintip instastory teman dan selebgram ternama hingga sekadar men-scroll status whattsapp orang lain adalah hal rutin kita hari ini. "Aku bermedsos, maka Aku ada", memodifikasi ungkapan terkenal Filsuf Perancis, Rene Descartes.

Space dan Era Simulasi

Ketika media, khususnya New Media, lebih khusus lagi cyber culture telah 'menjangkiti' masyarakat, maka pola kehidupan berubah. Dari yang tadinya berinteraksi secara langsung (face to face), misalnya, diganti dengan interaksi interpersonal melalui jejaring sosial berbasis digital. 

Memang, kehadiran media-media tersebut memudahkan manusia dalam berinteraksi satu dengan yang lainnya, sebab pada saat itu manusia melakukan interaksi dalam intensitas yang sangat tinggi, sehingga membutuhkan sebuah media yang dapat membuat cara berkomunikasi mereka lebih praktis dan cepat. 

Perlu menjadi catatan, di era Pandemi Covid 19 paltform penyedia ruang pertemuan virtual seperti zoom dan G-meet menjadi primadona. Platform-platform tersebut hadir di lingkungan pendidikan, ekonomi, pemerintahan, dan perkantoran, ketika manusia saling mengisolasi diri.

Namun, di balik optimisme setiap kemajuan dan perubahan selalu terdapat sisi kelam. Tidak terbantahkan, kehadiran media-media tersebut telah mereduksi hakikat interaksi yang telah tertanam pada nilai-nilai lama. Nilai-nilai lama tersebut merupakan sesuatu yang adiluhung, yang telah menjadi semacam pedoman hidup pada masyarakat, khususnya di Indonesia. 

Hubungan interaksi pada nilai-nilai lama merupakan sebuah hubungan yang memiliki makna mendalam. Seseorang saling bertemu secara face to face untuk melakukan interaksi, serta terjadi hubungan emosional yang jarang terjadi pada interaksi di dunia maya.

Budaya digital telah mentransformasi place menjadi space. Place mengacu pada sebuah ruang tiga dimensi, di mana seseorang dapat hadir 'utuh', dan dapat dirasakan kehadirannya secara empiris. Sedangkan space merupakan sebuah ruang maya, di mana setiap user internet melakukan segala aktivitasnya di situ. 

Berbeda dengan place, keberadaan seseorang di dalam space tidak dapat dirasakan secara empiris. Pada beberapa platform digital keberadaan seseorang dalam space dapat diketahui melalui kamera, tapi wujud konkritnya tetap tidak dapat dirasakan.

Keberadaan kita dalam space internet hanya berupa simulasi. Jean Baudrillard, pemikir kontemporer Perancis berpendapat bahwa, kita hidup di 'zaman simulasi'. Baudrillard memandang fenomena simulasi ini dengan nada yang sinis sekaligus pesimis. 

Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai alasan terjadinya sinisme terhadap era simulasi. Pertama, keberadaan simulasi di segala lini kehidupan adalah penyebab pengikisan perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner; yang asli dengan yang palsu. Puncaknya adalah lahirnya konsep Hoax.

Kedua, sangat sulit membedakan yang nyata dari yang palsu, sebab setiap kondisi yang ada saat ini adalah hasil perpaduan dari yang nyata dengan yang palsu. Ketika tidak ada lagi kebenaran substansial atas realitas, maka tanda (sign) tidak lagi melambangkan sesuatu. 

Seorang artis atau selebgram dengan jumlah pengikut yang banyak di media sosial selalu berusaha menampilkan foto diri yang mengespresikan kebahagiaan, keceriaan, dan keindahan hidup, juga caption berisi kata-kata bijak.

Namun, bisa jadi beberapa waktu sebelumnya ia mungkin mengalami kemalangan hidup: perpisahan, berita duka, kebangkrutan, konflik, dan lain sebagainya. 

Apa yang ditampilkan oleh artis tersebut adalah kenyataan yang telah disimulasikan; realitas yang telah dipilih. Maka memang benar, di dunia digita atau maya kita sulit membedakan mana yang asli, dan mana yang palsu. 

Senyum artis di media sosialnya itu apakah pertanda kebahagian. Jawabnya: belum tentu. Ulasan Baudrillard tentang dunia simulasi di dalam buku Simulacra and Simulation menemukan banyak relevansi dengan keseharian kita saat ini.

Pilihan Hari Ini: Struktur vs Agensi

Pada akhirnya, semua kembali pada kita, membiarkan dunia simulasi mengurung kita dalam kepalsuan hidup, atau menunjukkan sikap resisten. Jika mengikuti alur teori strukturasi, tindakan sosial, dan agensi milik Anthony Giddens, ilmuwan sosial Inggris, dunia kita hari ini merupakan sebuah struktur yang mengarahkan kita pada sikap atau tindakan tunduk terhadap digitalisasi kehidupan, serta fetisisme kepada media sosial. Maka, diperlukan sebuah agensi untuk setidaknya mencoba mengubah struktur yang menindas tersebut.

Atau, biarlah kita cukup puas, eksistensi kemanusiaan kita diwakili oleh avatar-avatar di dunia maya yang serba digital. Asli, tapi palsu. Itulah dunia simulakra.

Sumber Bacaan:

F. Budi Hardiman, Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, 2004.

Marshal McLuhan, The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man, 1962.

Emil Durkheim, The Division of Labour in Society, 1964.

Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, 1981.

Anthony Giddens, Teori Strukturasi, 2010.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun