Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Keberanian untuk Aling

17 Maret 2022   09:49 Diperbarui: 7 April 2022   14:41 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah musim puasa, buka puasa sudah bukan lagi masalah bagi saya, saya tidak akan menyantap takjil buatan simbok se-meja penuh sekalian, dan membuat saya menjadi kucing pemalas.

Saya mulai tahu cakupan perut saya dan saya mulai belajar untuk tidak memberi makan hasrat lapar saya yang seperti monster ganas itu, toh saya punya hasrat lain yang mesti saya tunaikan.

Memang ini yang saya tunggu - tunggu, saya tidak sabar melihat aling mengenakan mukena dan berjalan ke langgar, sembahyang taraweh. Saya akan menguntitnya dari belakang jauh - jauh.

Supaya aling tidak sadar akan kehadiran saya, tentu saja saya akan mendahului keberangkatan, dan bersembunyi di semak-semak memperhatikan aling dan baba-nya berlalu.

Entah sejak kapan saya mulai senang melakukan kegiatan ini, perasaan saya terhadap aling menjadi geregetan begini jika sebentar tak jumpa pandang.

Saya rasa sejak saat itu; Saya ingat betul saat pertama-tama dulu, aling dan baba ho pindah kemari, ke kampung kami, perasaan saya biasa-biasa saja, di sekolah biasa saja, dirumah ya biasa saja.

Aling seperti teman perempuan yang lain, kami bermain bersama tanpa ada getaran-getaran atau hasrat-hasrat, hanya gelak tawa dan tingkah konyol kusno yang selalu meramaikan. 

Memang saya akui aling gadis yang cantik lagi manis, kulitnya putih bersih tanpa imbuhan koreng atau dakik yang menempel, tidak seperti saya yang eksotik kulitnya.

Tapi perasaan saya tetap biasa-biasa saja sejak sebelum baba-nya pergi ke rumah saya, dan minta tolong pada bapak untuk ajar syahadat.

Sejak saat itu aling mulai pergi ke langgar belajar mengaji, bersama saya, kusno, dan teman lainnya, saya mulai sering memerhatikan aling dan menyadari bahwa gadis itu cocok menjadi pendamping hidup saya kalakian.

Kusno lebih terdepan dalam hal memikat aling, kusno memang punya perawakan tampan dan sepertinya akan tumbuh gagah besar nanti. Kusno juga maju di sekolah, dan rangkingnya tidak pernah turun dari tiga besar begitu pula aling.

Mereka saling bersaing menjadi yang teratas dan saya sudah puas sekedar naik kelas. Kusno selalu mampu memukau aling dengan kepandaiannya dan karena aling suka bergaul dengan anak yang pandai, kusno menjadi salah satunya.

Pernah sekali dalam kelas Pak Cokro, aling mengungkapkan ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan dan segala sesuatu mengenai keajaiban daya cipta akal budi manusia. Saya hanya mampu mengaguminya dan kusno selalu bisa mendampinginya.

Rupanya keputusan baba ho untuk bersyahadat membawa berkah tersendiri bagi saya, sejak aling mengenal aksara arab, aling lebih sering membelandang waktunya pada saya seorang.

Sebab kusno tidak terlalu pintar mengaji dan lebih suka keluyuran bersama masmusso dari pada tekun membaca alip ba ta. Alhasil saya kuasai sendiri waktu bersama aling.

Kini saya seolah menjadi dokter bagi aling yang saya anggap pura-pura menjadi pasien saya sebab penyakit rajin dan suka belajarnya itu sudah tidak mampu disembuhkan lagi.

Memang saya sudah diajar bapak mengaji sedari kecil, dan baru sekarang saya merasa diri saya beruntung memiliki kemampuan mengaji arab melebihi teman-teman lain.

Dulu saya sering iri pada teman-teman saya, dan berfikir betapa kakunya bapak saya mengurung saya bersama kitab-kitab. Sementara yang lain masih asik bermain, saya harus sudah mandi dan memakai sarung lengkap dengan peci dan berada di langgar mengeja arab.

Sekarang semua itu mulai masuk akal bagi saya dan saya mulai menikmati kebolehan saya ini.

Saya menjadi sering ditugaskan bapak untuk menggantikannya mengajari aling.

Alasannya tentu supaya aling dapat mengejar ketertinggalannya dari teman-temannya yang lain, sebab itu saya wajib memberinya les privat.

     Walaupun saya tidak menatap mata aling, rupanya jarak sedekat ini cukup membuat saya tergetar-getar.

Saya sampai sering salah membedakan mana kertas mana kulit aling, sebab saking putihnya. Kadang-kadang saya berfikir telah menunjuk huruf arab namun ternyata keliru menjawil lengan aling.

Dan ketika aling sadar kulit lembutnya tertusuk biting bambu ia menoleh pada saya dan mengatakan bahwa saya salah tunjuk, lalu saya akan malu dan semakin gemetar. Setelah hari-hari berlalu aling mulai terlihat dekat dengan saya dimanapun.

Suatu ketika, setelah selesai sembahyang taraweh; Saya sibuk merapikan langgar bersama bapak dan setelah semua pekerjaan selesai bapak pulang ke rumah mendahului saya, tinggalah saya jadi juru kunci langgar.

Saya ditugaskan mengunci pintu depan, pintu samping kanan, pintu samping kiri dan pintu toilet. Setelah pintu depan-kanan-kiri lengkap terkunci kemudian saya pindah ke pintu toilet, dan ketika datang giliran pintu toilet akan saya kunci, ternyata masih ada orang dalam toilet, rupanya baba ho.

Baba ho jatuh tersungkur di toilet dengan kepala bocor membentur tembok toilet. Bukan kepalang panik saya waktu itu, secepat kilat saya pergi menyusul bapak dan mengabarkan apa yang baru saja saya saksikan.

Setelah saya kembali ke langgar dengan bapak ternyata aling sedang berdiri amping-amping tembok langgar, sepertinya mencari baba-nya. Saya langsung mengabarkan padanya mengenai baba-nya itu.

Seketika aling melejit menjerumuskan dirinya ke pintu toilet. Malam itu kami membawa baba ho ke rumah sakit untuk melarikan nyawanya yang sudah sedikit lagi tumpah dari wadahnya.

Beruntung benturan di kepalanya tidak sampai membuat baba ho lupa diri atau cedera parah, rupanya sebentar saja menginap di rumah sakit sudah membuat baba ho sehat seperti semula.

Dihari kepulangannya, saya menjenguk baba ho bersama bapak, dan rupanya saya telah salah langkah sejak saat itu. Saya janjian dengan bapak untuk pergi setelah selesai mengaji; tentu masih belum sempat pulang ganti baju.

Saya memang sedikit curiga dengan gelagat kusno waktu itu. Tapi mengingat dia adalah sahabat saya, saya jadi tak acuh dengan perbuatannya dan meyakini itu semata-mata niat baik.

Setelah bapak selesai urusan dengan baba ho, saya masuk ke kamar baba ho ditemani aling.

Mula- mula baba ho biasa saja dengan kemunculan saya, tapi lama-lama baba ho mulai memandang tajam kearah saya dan sebentar-sebentar memperhatikan sarung yang saya kenakan.

Lalu kemudian tanpa duga sangka siapa-siapa, baba ho menarik aling menjauh dari saya. 

" Itu sarung saya bukan?"
Saya kaget dengan perlakuan dan ucapannya yang tiba-tiba itu.

" Itu sarung saya bukan?!"
baba ho bertanya kembali

" Eee, bukan ba, ini sarung saya " jawab saya.

Sebenarnya saya ragu dengan jawaban saya, tapi karena saya tidak mengetahui jawaban lain selain itu, maka hanya itu yang terucap.

" Biar saya buktikan, berbaliklah!"

maka saya menurut dan membalikan badan memunggungi baba ho dan aling

" Ini buktinya, ada nama saya di corak bawah sarung "
" Baba ho" tertulis jelas, di sarung yang sedang saya pakai

Sebelumnya saya tidak pernah memperhatikan bahwa tulisan itu ada disana, dan rupanya saya juga tidak memperhatikan bahwa warna sarung itu lebih terang dari punya saya biasanya.

" Darimana dapatnya sarung ini?" tanya baba ho, aling hanya diam.

" Saya tidak tahu ba" sebenarnya saya ingin berkata kusno, tapi karena panik, saya jadi bingung.

" Bukankah orang yang selama ini menguntit saya dan aling adalah kamu karto? Saya rasa, memang kamu hendak berbuat buruk, kamu yang hendak mencelakai saya, memang saya sudah curiga padamu sedari awal " baba ho mendesak saya mengaku

Saya bertambah bingung menjawabnya, sebab ada kebenaran dalam tuduhannya itu, namun ada asumsi juga dalam kalimatnya. Rupanya baba ho tahu sejak awal saya kerap bersembunyi dibalik semak memerhatikan mereka dari jauh.

Dan kini saya terpojok tanpa mampu berkata-kata.

Memang sarung baba ho sama persis dengan milik saya, mereknya sama, coraknya juga sama persis hanya punya saya lebih pudar warna-nya sebab saban hari saya pakai.

Jelas-jelas kusno menipu saya dengan mengatakan sarung ini sarung saya yang hilang, tentu saja ia telah bersiasat dengan menyembunyikan sarung saya di suatu tempat dan menukarnya dengan sarung baba ho sekali peluang.

Setelah mengamati wajah aling yang sudah sarat marah dan baba ho yang mulai berlebih-lebihan menuduh saya. Saya pergi dari rumah aling tanpa berkata-kata selain tabik.

Saya meyakini bahwa pada hari baik bulan baik seperti sekarang ini perdebatan hanya akan mengotori saja, dan saya belum juga batal puasa selama ini.

Sejak kejadian itu aling selalu absen mengaji, semua orang mempertanyakan ketidakhadirannya termasuk bapak, saya tetap membawa rahasia itu dalam diam, dan diam-diam menguntit kusno untuk membuktikan kecurigaan saya padanya selama ini.

Saya tahu kusno tidak senang saya dekat - dekat dengan aling, sebab saya kenal betul perangai anak yang manja itu.

Kusno selalu ingin menjadi nomor satu diantara yang lain dan tidak mau diungguli oleh siapapun, jika ada yang unggul jauh diatasnya, dia akan berdalih bahwa baginya itu membosankan sampai orang tidak punya celah mencelanya.

Dan menyoal aling tentu menjadi prioritasnya jauh melebihi yang lain.

Saya buntuti kusno yang sedang dibonceng sepeda oleh masmusso. Kalo ada satu orang yang mampu menggagalkan aksi saya mengungkap jati diri kusno, masmusso lah orangnya, dia selalu berdampingan dengan kusno kemana-mana.

Dia juga langganan rangking di kelas, tapi saya tidak cukup bodoh untuk ditipu. Selama ini masmusso hanya mendompleng kusno dalam belajar dan ujian.

Tidak heran kusno menurut memeberikan kunci jawaban, lha wong badan masmusso tinggi besar dan terkenal tegel memukul kearah muka, kusno jelas malu terlihat jelek, lebih baik masmusso dirawatnya, siapa tahu perlu juru pukul dimasa depan

Setelah sampai rumah kusno, nyatanya dugaan saya terbukti benar, sarung saya bahkan masih dijemur tanpa tedeng aling-aling sama sekali.

Saya menunggu masmusso berlalu untuk kemudian menangkap basah kusno dan melaporkannya pada aling tentang perbuatan keji-nya memfitnah saya. Saya tidak repot jika dipermalukan dihadapan orang-orang, tapi saya tidak mau kehilangan muka di hadapan aling. Dengan berbuat demikian itu sama saja kusno telah mengirim saya pada hukuman mati.

                                       ***

Besok sudah tiba hari lebaran, hari ini saya akan tuntaskan puasa saya di tahun ini.

Takbir mulai berkumandang disana-sini, ada yang pelan ada yang keras, sepertinya yang pelan itu, lantaran jaraknya terlampau jauh. 

Seperti juga aling yang tetap menjauh dari saya. Saya belum berani menemuinya langsung, belum mengungkapkan kebenaran itu pada aling.

Bukan takut dijotos masmusso, saya lebih khawatir dengan hati saya sendiri apabila aling tidak percaya pada saya setelah saya berkata dengan jujur.

Kebenaran tentang peristiwa yang menimpa baba ho di toilet langgar. Tidak ada yang tahu tentang itu selain saya, bapak dan aling. Biar begitu orang-orang tetap dapat kabar dari burung.

Rupanya benar kata orang, apabila angin mampu mengabarkan berita buruk. Andai saja angin juga mengabarkan berita baik, saya ingin titipkan rindu untuk aling padanya.

" Baba ho terjatuh kesrimpet sarung "
" Bukan, katanya karto yang mendorongnya"
" Padahal anaknya ustad, kelakuan kok maling"


kata orang berbisik sembunyi-sembunyi, walau jelas tujuannya untuk diperdengarkan.
Saya tidak ambil pusing jika orang-orang salah paham.

Yang saya tahu saya harus berbicara pada aling malam ini juga.

Saat saya ditugaskan membagi zakat fitrah, saya mengajukan diri membawa bagian zakat mualaf. Hadirlah saya di depan pintu rumah aling, setelah lama saya ketuk, mungkin sekitara lima kali, mulai ada tanda orang yang membuka pintu.

Dan benar saja, bukan aling yang saya temui, tapi biangnya,baba ho.

Sampai selesai sembahyang fitri, saling bersalaman dan saling memaafkan, rahasia itu tetap tidak terungkap. Memang benar hubungan saya dengan aling sudah membaik, akan tetapi ada jarak yang membentang disana.

Aling tetap dekat dengan kusno dan saya tetap ikut bermain bersama mereka juga masmusso.

Rupanya butuh keberanian menyatakan kebenaran dan lebih mudah melupakan semuanya begitu saja,demi kebaikan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun