Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kusumawardhani

22 Februari 2022   00:07 Diperbarui: 19 Maret 2022   12:23 2403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
istockphoto-897516772-612x612

Anak perempuan itu bernama kusumawadhani, buah pengharapan orang tuanya supaya si anak termasyur seperti rajaputri kerajaan majapahit kusumawardhani. Nama itu pemberian dari sang ayah menurut cerita yang pernah dituturkan oleh neneknya.

Kata sang nenek, ayahnya suka sekali dengan kisah-kisah kerajaan, baginya kisah – kisah itu patut diteladani dan dihidupkan, bahkan dikobarkan seperti api perlawanan.

Ayahnya bukanlah Raja Hayam Wuruk, tapi dalam cerita sang nenek, sang ayah tak kalah masyur, ia terasa hidup di dalam penuturan sang nenek. Bagaimanapun kusumawardhani belum pernah berjumpa dengan ayahnya itu, biar begitu sang nenek mampu menyihir kusumawardhani dengan kisah-kisah sang ayah ketika masih digdaya di dunia.

Mereka sebenarnya orang dusun, nenek kusumawardhani dan ayahnya adalah keluarga yang terusir dari tanah mereka sendiri, setelah dengan semena-mena dijadikan area pertambangan dengan dalih proyek strategis nasional.

Dulu kakek dan ayah kusumawardani menentang betul wacana itu, bahkan ikut melawan digaris depan, sebab itu sang kakek akhirnya meninggal, mungkin karena terlalu tua. Usia tua memang membuat badan jadi renta, maka digebug oleh petugas pelan saja ia langsung mati.

Setelah kematian kakek kusumawardhani, semangat perlawanannya meredup, ia mulai merasa suara orang kecil seperti mereka tidak berharga. Pada titik itu ia merasa bahwa orang seperti mereka memang pantas ditindas.

Dan kemudian ia memilih melepaskan ideologinya, toh perlawanan mereka sia-sia saja. Ayah kusumawardhani akhirnya memutuskan untuk menjual tanah mereka dan pergi ke kota seperti saran tokoh besar disana, tokoh yang kedudukannya setara Brhe di jaman Majapahit.

Bhre pada jaman Majapahit adalah perwujudan dari bawahan raja majapahit yang dipercaya untuk memimpin satu daerah. Ayah kusumawardhani mafhum saja, bahwa sosok pemimpin mereka memang bukanlah raja hayam wuruk yang termasyur bijaksana. 

Begitulah cerita awal keluarga mereka terdampar di kota, kesialan sering mendatangi mereka setelah tinggal di kota, seolah-olah jatah keberkahan tertinggal di tanah kelahiran mereka.

Ketika kusumawardhani masih di dalam perut ibunya sang ayah tiba-tiba terlibat kecelakaan di tempat kerja, dasar sang ayah kusumawardhani orang dusun yang tidak tahu cara hidup di kota-kota, tinggal di kota sebentar saja akhirnya mati kecelakaan.

Kemudian hidup mereka bertambah susah setelah meninggalnya sang ayah, mereka hidup bertiga saja, kusumawardani , nenek dan ibunya dalam satu rumah. disana sering terjadi keributan lantaran kebutuhan hidup mereka tidak tercukupi.

Akhirnya Kusumawardani dibesarkan oleh neneknya seorang saja, berdasarkan penuturaan neneknya, ibu kusumawardhani bukanlah sosok yang diceritakan baik. Mula-mula kusumawardhani tidak percaya begitu saja, tapi pernyataan itu perlahan-lahan mulai masuk akal.

Ibu kusumawardhani tak pernah sekalipun menengoknya. Kusumawardhani sudah ditinggal oleh ibunya itu sejak usia tujuh. Kata orang, ibunya pergi ke negeri arab dan telah diperistri oleh majikannya disana.

Dulu mereka sering dikirim uang dari seseorang, tapi lambat laun semakin jarang dan akhirnya tidak pernah sama sekali. Kusumawardhani tinggal bersama neneknya sederhana saja, mereka hidup dari hasil berjualan kue-kue, kue lumpur, serabi, petulo, apem, dan lemper.

Dulu neneknya yang menjajakan kue-kue itu, tapi setelah kusumawardani cukup usia untuk diberi tanggung jawab berjualan, ia pun menggantikan sang nenek berjualan kue-kue.

Setiap pagi sang nenek mengantar kusumawardhani pergi ke sekolah sambil membawakan kue-kue itu ke dalam kelas, lalu saat jam istirahat tiba, teman-temannya akan menyerbu kue-kue kusumawardani.

Ia akan meneriaki teman-temannya itu untuk berbaris supaya memudahkannya untuk menerima uang dan melayani mereka satu-persatu.

Ibu guru mereka juga ikut antre untuk membeli lemper sesekali, apabila lupa membawa serta bekal untuk makan siang.

Begitu keseharian kusumawardhani dan neneknya, tinggal berdua saja mereka saling membantu untuk sedikit meringankan beban satu sama lain, terbukti mereka tidak pernah merepotkan siapapun selama ini.

Itu juga berkat perangai kusumawardhani yang tenang, santai tapi cekatan. Bagi sang nenek, cucunya itu menjelma sosok kusumawardhani sesungguhnya.

Dalam serat pararaton, kusumawardhani adalah seorang putri dari Raja Hayam Wuruk yang anggun dan mumpuni, tercatat sepeninggalan Raja Hayam Wuruk dan diangkatnya suaminya Wikramawardhana sebagai Raja, Kusumawardhani ikut mengemban tanggungjawab memimpin majapahit bersama suaminya itu.

Bahkan ketika wikramawardhana dianggap tidak pantas menjadi raja oleh salah satu brhe, yaitu brhe wirabumi. Kusumawardhani seorang mampu menerima tanggung jawab menjadi rajaputri majapahit.

Kusuma berarti berbudi luhur dan wardhani berarti bunga mawar, begitulah sang nenek bercerita kepadanya terkait namanya itu.

Suatu hari kusumawardhani pulang dengan bersusah payah membawa kardus berisi kue-kue dagangannya yang tidak laku, dengan semua kue-kuenya telah koyak dan rusak.

Beberapa hari ini sikap kusumawardhani terlihat tidak biasa. Kusumawardhani seorang anak dengan perangai tenang, tapi sejak dua hari lalu ia terlihat gugup dan cemas.

Neneknya mulai menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, apalagi kusumawardhani mulai malas makan, jelas ia sedang tertimpa musibah.

Dalam kepala tua-nya sang nenek mulai bingung dan bertambah bingung setelah melihat cucunya tak berdaya dengan bawaanya itu. Ditengah kebingungannya ia segera saja menghampiri kusumawardhani dan membantu cucunya itu.

Terlihat dari kejauhan beberapa anak laki-laki, barangkali teman satu kelas kusumawardhani berseliweran pergi.

Hari itu kusumawardhani tidak berkata apa-apa, biar begitu neneknya tahu betul bahwa kusuma sedang di tindas, teringat kejadian saat ia terusir dari kampung halamannya di wadas.

Kusumawardhani, cucunya itu.

Dia tidak menangis tapi jelas-jelas terlihat berkabung dan sedang dalam kesusahan, keadaan itu membuat sang nenek tidak tega bertanya perihal ini dan itu.

Bagi sang nenek, berhasil membujuk kusumawardhani untuk makan saja sudah sangat melegakan. Bagaimanapun kesehatan tetap yang paling utama melibihi soal ini dan itu, dan supaya tetap sehat manusia memerlukan makan.

Seperti hari-hari sebelumnya setelah semua pekerjaan rumah beres, nenek kusumawardhani akan menyiapkan adonan kue-kue, Ia sedang merugi karena kue-kuenya rusak, tapi meratapi nasib sial begitu tidak akan merubah apapun.

Bahan kuenya masih cukup untuk berdagang satu kali lagi, ia memohon kepada tuhan supaya kue-kuenya laku.

Dari usianya dia belajar, untuk tidak menjadikan manusia sebagai tempat bersandar, bahkan suaminya sendiri, pun anak laki-lakinya, terbukti ia tidak dapat mengandalkan mereka sekarang.

Dinihari ia akan bangun untuk memasak kue-kue tersebut.

Dengan sabar dan telaten sang nenek menyiapkan kue-kue dagangannya. Kue-kue itu matang sebelum subuh dan kusumawardhani akan sudah bangun untuk membantu neneknya memasukan kue-kue itu ke dalam kardus.

Sang nenek mengantar kusumawardhani seperti biasa, pagi itu ia niatkan untuk menunggui kusumawardhani sampai ibu gurunya datang, atau setidaknya siapa saja orang dewasa yang bisa ia temui di sekolah itu yang sekiranya bisa ia tanyai perihal kusumawardhani dan kue-kuenya.

Terlihat di seberang ruang kelas kusumawardhani ada suatu ruangan baru dengan warna cat yang kontras, seolah bertujuan untuk menegaskan perbedaan fungsi ruangan tersebut dengan ruangan lainnya.

Di atas pintu ruangan tertulis kantin sekolah. Seingat nenek kusumawarndhani tidak ada tulisan itu disana.

Jelas ruangan itu baru, dan baru saja di fungsikan sebagai kantin. Sekilas ia teringat percakapannya dengan kepala sekolah sekaligus pemilik sah sekolah tempat kusumawardhani belajar, ia ingat betul kepala sekolah pernah berkata bahwa sekolahnya tidak membutuhkan kantin.

Saat nenek kusumawardhani mengajukan penawaran menjadi ibu kantin disekolah itu kepala sekolah menolaknya.

Ia pernah membayangkan bahwa akan menyenangkan jika dirinya dapat di percaya sebagai ibu kantin di sekolah itu, di satu sisi ia dapat memiliki penghasilan dari sana dan disisi lain ia dapat mengawasi kusumawardhani sebagai walinya.

“ Nenek, itu ibu guru datang ” ucap kusumawardhani membuyarkan lamunan neneknya

“ Oh iya, nenek tinggal sebentar ya ” kata sang nenek sambil berlalu pergi menghampiri ibu guru yang masih ada di atas sepeda motornya.

“ Ibu guru, saya mau bertanya mengenai kusumawardhani ” kata sang nenek tanpa basa-basi.


“ Iya bu, saya tahu masalah itu dan saya minta maaf karena tidak mampu berbuat apa-apa. Bu, lebih baik nanti kita bicarakan masalah kusuma sepulang sekolah saja ya,  saya janji akan datang kerumah ibu.”

Jawab ibu guru buru-buru ingin mengakhiri percakapan. Dari gerak-geriknya terkesan bahwa ibu guru takut terhadap seseorang dan berhati dalam berucap.

“ Kue-kue kusumawardhani biar saya beli semuanya saja.”

Kata ibu guru menambahi, ibu guru tampak merenung dan merasa bersalah.

“ Alhamdulillah, terimakasih banyak bu guru, kalau begitu saya tunggu dirumah ya, saya nitip kusuma” Pesan nenek kusumawardhani mengakhiri percakapan mereka.

Sang nenek kemudian menghampiri kusumawardhani dan berpamitan padanya sambil memberikan kardus berisi kue-kue itu kepada ibu guru.

Siang hari-nya kusumawardhani diantar pulang oleh ibu guru.  Neneknya menunggu di depan pintu sambil duduk, ia terlihat cemas namun memancarkan kepercayaan pada matanya.

Bu guru itu menepati janjinya, bahkan berbaik hati mengantar cucunya pulang. Walau tidak tampak cemas, kusumawardhani masih terlihat memikirkan sesuatu.

Siang itu untuk pertama kalinya kusumawardhani memiliki teman makan semeja selain neneknya, ibu gurunya.

Bersama dengan seduhan teh di meja itu perlahan suasana menjadi cair dan hangat, bu guru bahkan merasa seolah-olah ia adalah bagian dari keluarga mereka, mereka bercakap cakap kesana kemari, bercakap mengenai masa lalu dan masa sekarang. 

" Enak bu " puji bu guru
" Tidak usah panggil bu, panggil saja nenek" sahut nenek kusumawardhani

Memang nenek kusumawardhani pintar memasak siapa saja yang pernah mencicipi masakannya pasti akan berkata begitu, bu guru bahkan menawarkan diri untuk tambah nasi, walau diawal-awal tadi ia terlihat malu-malu dan menggeleng tanda tidak mau.

Dari cerita yang di sampaikan oleh bu guru terdapat empat poin penting yang di tekankan olehnya. Yang pertama mengenai kantin sekolah yang ada sekarang itu.

Bu guru berkata bahwa kantin itu adalah kepunyaan adik kepala sekolah dan mulai sekarang setiap siswa tidak diperbolehkan membeli makanan di tempat lain.

Yang kedua adalah mengenai kue-kue kusuma yang rusak tempo hari itu, dengan nada menyesal bu guru menyampaikan bahwa anak dari adik kepala sekolah itu merupakan teman sekelas kusumawardhani dan memang suka menindas, perangainya memang buruk dan senang berkelompok.

Yang ketiga bu guru menyampaikan bahwa dia akan membantu kusumawardhani dan neneknya untuk memasarkan kue-kue mereka. 

Bu guru bukan orang yang berkelebihan secara finansial, tapi menurutnya selama dia bisa melakukan sesuatu untuk membantu muridnya ini ia akan membantunya.

Yang keempat bu guru menyampaikan bawa besok akan ada prakarya di kelasnya, kusumawardhani diminta untuk membawa uang untuk membeli balon.

“ Begitulah sekolah di swasta ya nek” bu guru berkata pada nenek kusumawardhani.
“ Swasta atupun Negeri sama saja bu, nasib orang kecil selalu sama. Dulu saya terusir dari Wadas dan sekarang jualan saja tidak boleh, yang membuat saya kecewa itu janji-janji palsu dan pencitraan."

Nenek kusumawardhani menceritakan lagi masalalunya bahwa ada tokoh besar disana yang berkata ringan saja bahwa rakyatlah tuannya, jabatan hanya mandat.

Nyatanya itu semua hanya omong kosong seperti udara yang mengisi sebuah balon, diluar tampak indah berwarna-warni padahal sebenarnya kosong tak ada isi.

“ Yang sabar ya nek, kusuma juga. Tetep semangat belajar.” Kata bu guru sambil bersalaman

“ Terimakasih bu guru, masih ada orang baik dan jujur seperti bu guru di negeri ini, semoga bu guru dan keluarga selamat dunia akhirat, orang baik mendapat ganjar-an baik sebaliknya juga sama” 

Doa-doa di rapalkan oleh nenek kusumawardhani mengiringi kepulangan bu guru

“ Amin..” saut kusumawardhani mengiringi suara sepeda motor ibu gurunya yang melipir menjauh.

Terlihat kusumawardhani menitikan air mata, barangkali itu adalah momen terdekatnya dengan sosok seorang ibu.

Ia tak ingin ibu gurunya itu pergi, ia ingin menahan ibu gurunya itu tetap dirumahnya selamanya, tapi ia sadar bahwa ibu gurunya juga memiliki keluarga dan sebagai seorang manusia ia tidak boleh serakah dan memaksakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun