Bahan kuenya masih cukup untuk berdagang satu kali lagi, ia memohon kepada tuhan supaya kue-kuenya laku.
Dari usianya dia belajar, untuk tidak menjadikan manusia sebagai tempat bersandar, bahkan suaminya sendiri, pun anak laki-lakinya, terbukti ia tidak dapat mengandalkan mereka sekarang.
Dinihari ia akan bangun untuk memasak kue-kue tersebut.
Dengan sabar dan telaten sang nenek menyiapkan kue-kue dagangannya. Kue-kue itu matang sebelum subuh dan kusumawardhani akan sudah bangun untuk membantu neneknya memasukan kue-kue itu ke dalam kardus.
Sang nenek mengantar kusumawardhani seperti biasa, pagi itu ia niatkan untuk menunggui kusumawardhani sampai ibu gurunya datang, atau setidaknya siapa saja orang dewasa yang bisa ia temui di sekolah itu yang sekiranya bisa ia tanyai perihal kusumawardhani dan kue-kuenya.
Terlihat di seberang ruang kelas kusumawardhani ada suatu ruangan baru dengan warna cat yang kontras, seolah bertujuan untuk menegaskan perbedaan fungsi ruangan tersebut dengan ruangan lainnya.
Di atas pintu ruangan tertulis kantin sekolah. Seingat nenek kusumawarndhani tidak ada tulisan itu disana.
Jelas ruangan itu baru, dan baru saja di fungsikan sebagai kantin. Sekilas ia teringat percakapannya dengan kepala sekolah sekaligus pemilik sah sekolah tempat kusumawardhani belajar, ia ingat betul kepala sekolah pernah berkata bahwa sekolahnya tidak membutuhkan kantin.
Saat nenek kusumawardhani mengajukan penawaran menjadi ibu kantin disekolah itu kepala sekolah menolaknya.
Ia pernah membayangkan bahwa akan menyenangkan jika dirinya dapat di percaya sebagai ibu kantin di sekolah itu, di satu sisi ia dapat memiliki penghasilan dari sana dan disisi lain ia dapat mengawasi kusumawardhani sebagai walinya.
“ Nenek, itu ibu guru datang ” ucap kusumawardhani membuyarkan lamunan neneknya