Bersama dengan seduhan teh di meja itu perlahan suasana menjadi cair dan hangat, bu guru bahkan merasa seolah-olah ia adalah bagian dari keluarga mereka, mereka bercakap cakap kesana kemari, bercakap mengenai masa lalu dan masa sekarang.
" Enak bu " puji bu guru
" Tidak usah panggil bu, panggil saja nenek" sahut nenek kusumawardhani
Memang nenek kusumawardhani pintar memasak siapa saja yang pernah mencicipi masakannya pasti akan berkata begitu, bu guru bahkan menawarkan diri untuk tambah nasi, walau diawal-awal tadi ia terlihat malu-malu dan menggeleng tanda tidak mau.
Dari cerita yang di sampaikan oleh bu guru terdapat empat poin penting yang di tekankan olehnya. Yang pertama mengenai kantin sekolah yang ada sekarang itu.
Bu guru berkata bahwa kantin itu adalah kepunyaan adik kepala sekolah dan mulai sekarang setiap siswa tidak diperbolehkan membeli makanan di tempat lain.
Yang kedua adalah mengenai kue-kue kusuma yang rusak tempo hari itu, dengan nada menyesal bu guru menyampaikan bahwa anak dari adik kepala sekolah itu merupakan teman sekelas kusumawardhani dan memang suka menindas, perangainya memang buruk dan senang berkelompok.
Yang ketiga bu guru menyampaikan bahwa dia akan membantu kusumawardhani dan neneknya untuk memasarkan kue-kue mereka.
Bu guru bukan orang yang berkelebihan secara finansial, tapi menurutnya selama dia bisa melakukan sesuatu untuk membantu muridnya ini ia akan membantunya.
Yang keempat bu guru menyampaikan bawa besok akan ada prakarya di kelasnya, kusumawardhani diminta untuk membawa uang untuk membeli balon.
“ Begitulah sekolah di swasta ya nek” bu guru berkata pada nenek kusumawardhani.
“ Swasta atupun Negeri sama saja bu, nasib orang kecil selalu sama. Dulu saya terusir dari Wadas dan sekarang jualan saja tidak boleh, yang membuat saya kecewa itu janji-janji palsu dan pencitraan."
Nenek kusumawardhani menceritakan lagi masalalunya bahwa ada tokoh besar disana yang berkata ringan saja bahwa rakyatlah tuannya, jabatan hanya mandat.