Karena asik mengunyah bekal dari simbok sesendok-demi sesendok sambil melamun gentayangan, tanpa sadar aku menyendok sambal terasi terlalu banyak.
Lidah terasa bergetar saking pedasnya, bibirku menjadi merah dengan sendirinya tanpa polesan gincu dan keringatku bercucuran seperti sedang berolahraga.Â
Memang makan belum terasa lengkap jika tidak di temani sambal. Simbok selalu menyediakan sambal di meja makan untuk kami, karena bapak memang menyukai perasaan menyiksa itu.
Bapak akan terlihat mangap - mangap seperti ikan didalam air setelah menyantap sambal buatan simbok, seperti halnya aku sekarang ini.Â
Perasaan menyiksa yang dapat dinikmati secara sadar dan berulang-ulang. Bahkan jika simbok sedang tidak mampu membeli cabai karena pemerintah sedang menaikan harga pasarnya. Bapak akan berupaya mencari pohon cabai yang liar tumbuh di halaman rumah kami.Â
Bekal dari simbok sudah habis ku santap, hanya tersisa rasa pedas yang sebentar saja akan ku basmi dengan menenggak air mineral. Sebelum bertolak dari rumah sedari tadi simbok telah berpesan kepadaku untuk tidak berlebih-lebihan larut dalam suka cita atau kalut dalam duka, nikmati saja secukupnya seperti sedang makan sambel.
Tapi aku malah menyendok sambal terlalu banyak.
Kubungkus kembali kotak bekal dengan plastik kresek dan kemudian kubenamkan kedalam tasku, lalu pergi membopong nya mencari tempat tunggu yang lebih nyaman.
Kemudian mengabari simbok melalui telfon bahwasanya anaknya ini telah sampai terminal dan sedang menunggu kedatangan bus berikutnya.
Khawatir adalah perasaan yang menyiksa dan aku tidak mau membiarkan simbok berduaan dengan perasaan itu.
" Iyo le, Sing ngati-ati yo lehmu nyambut gawe. Ojo nganti luput mundak keno pulut". Suara simbok terdengar renyah dari dalam telfon mengakhiri percakapan kami sore itu dengan doa-doa nya supaya anaknya masyur.
  Â