"Jadi, apa sekarang rencana kita, Sayang?"
Rani dan Orion masih berada di atas ranjang yang sama, kepala mereka berdekatan di atas bantal yang sama. Tampaknya mereka tak ingin cepat-cepat bangkit dan bersiap-siap pergi meski dunia menunggu-nunggu keberadaan mereka.
Rambut panjang hitam berkilau Rani tergerai menutupi sarung bantal, sementara dagu hingga pipinya menempel di leher Orion yang jenjang, bahunya yang lapang. Ia tergila-gila pada jakun pemuda itu, milik maskulin pria yang menjadikan suara rendahnya begitu dalam, merdu, sedap didengar.
"Pertama-tama, aku ingin memberimu dua atau tiga buah hadiah!" pemuda itu cepat menyahut sambil membelai rambut halus Rani yang selalu memikat tangannya.
"Hadiah apa itu?"
"Tunggu!" Orion lembut menyingkirkan Rani yang masih bermanja di tubuhnya, meski istrinya yang masih betah di sana sedikit merutuk.
"Uh, menunggu apa lagi?"
"Benda yang diwariskan Rev. James untuk kita berdua. Mungkin ini harus tetap menjadi rahasia hingga waktunya tiba..."
"Oh..."
Orion segera kembali dengan dua benda yang Rani begitu ingin lihat sendiri sedari awal. Kini tak perlu penasaran lagi karena semua akan segera ia ketahui!
"Lihat, ini sesuatu yang kita sudah tunggu-tunggu. Meski harganya tak ternilai, setara pengorbanan Rev. James, kuharap suatu saat nanti bisa kita ungkap kepada dunia."
"Akta pernikahan resmi kita!" Rani duduk menyandarkan punggung di divan sementara Orion membuka sepucuk surat berharga bertuliskan nama mereka.
"Ya. Dengan Rose, aku bahkan tak pernah melihat surat seperti ini. Ia selalu berkelit, berkata bahwa akta tidaklah penting. Dengan terbitnya benda ini kita adalah suami-istri yang sah!" Orion mengeluarkan dua benda logam bundar tipis berkilau.
"Astaga! Cincin pernikahan kita!" Rani terkesima, "Rev. James sejauh ini datang mengantarkan semua ini untuk kita?"
"Ya. Izinkanku mengenakannya di jari manismu... walau untuk beberapa saat saja!"
"Tentu saja... ini sangat mendebarkan dan mengharukan!" Rani menahan napas ketika suaminya itu mengenakan cincin yang lebih kecil ke jari manisnya nan lentik.
"Dan kau yang mengenakan cincin yang satu lagi ini ke jariku!" Orion tersenyum, meskipun sangat sukar untuk berbahagia sepenuhnya saat ini.
Rani melakukannya dengan sedikit gemetaran. Jari manis Orion panjang dan jenjang, sangat pas dengan cincin yang istrinya pasangkan.
"Dengan ini, Orion Benjamin Brighton dan Maharani Putri Cempaka telah resmi menjadi sepasang suami istri sesungguhnya meskipun tanpa saksi!" Orion meraih tangan Rani dan menggenggamnya, mengecup mesra bibir sang pengantin wanita lalu mendekapnya erat-erat.
"Aku tak tahu apakah aku harus berbahagia atau malah bersedih. Tetapi dengan adanya dirimu di sisiku, aku sudah sangat berbahagia..."
Tetiba pintu diketuk!
Pasangan itu nyaris meloncat dari ranjang. Mereka lupa bahwa keduanya telah sekian lama bersama hingga lupa pada orang-orang yang mungkin mencari mereka! Terburu-buru mereka berpakaian serapi mungkin, melepaskan cincin-cincin pernikahan mereka dan menyimpannya di dalam ransel Rani, begitu pula akta nikah resmi yang harus tetap menjadi rahasia hingga tiba saatnya nanti!
"Ingat, Rani, please keep all of that as a secret!" Orion segera mengambil masker baru yang diberikan Rani dan mengenakannya. Ia bersyukur pakaiannya masih cukup bersih sehingga takkan mencurigakan.
"Yes, I will!"
Keduanya segera menuju pintu.
"Oh, Leon, Grace!" sambut Rani kepada kedua anak didiknya.
"Papa Orion, mengapa Anda di sini?" Leon tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Begitu pula Grace, "Kami menunggu cukup lama, kelihatannya Anda lupa bahwa sedang mengajar kami!"
"Uh, sedari tadi aku bergelut mencari sinyal ponsel, sayangnya belum ada! Operator Everopa memang sudah down total!" Rani mengeluarkan ponsel dan berpura-pura sibuk mengeceknya.
"Aku baru saja singgah selepas melihat aktivitas Lab Barn, hanya mengambil barang jarahan yang kutitipkan di ransel Nona Maharani dalam perjalanan ke Chestertown! Itu saja, kok!" Orion tersenyum semanis mungkin, "Ranselku sudah penuh mie instan, jadi kutitipkan beberapa kotak kopi khas Evernesia di ransel Nona Maharani!"
Rani bergegas ke dalam lalu mengambil, membuka ranselnya untuk mengambil benda yang Orion sebutkan. Syukurlah drama dadakan mereka sejauh ini berjalan cukup lancar!
"Oh, betul yang itu, terima kasih, Nona Rani! Kalau begitu aku mohon diri dulu! See you guys soon! Terima kasih, Nona Rani, atas kopinya!" Orion memberi tabik, menyambar jaket dan segera berlalu.
"Nona Rani juga masih harus mengajar kami di perpustakaan!" Leon berkeras untuk menghabiskan waktu bersama guru idolanya! Demikian pula Grace yang semakin penasaran saja pada semua kebetulan yang terjadi!
"Ayo, kita segera ke perpustakaan!"
***
"Oh, Tuan Henry Westwood! Ada apa gerangan Anda berbaik hati mengunjungiku di lahan yang permai dan nyaman ini?"
Pendeta tamu dadakan yang tak dikehendaki sang nyonya rumah itu sedikit heran atas kemunculan sang kepala pelayan kediaman Delucas yang tetiba mengunjungi kamp. Ia tadi merasa seisi kompleks memusuhi dan membenci kamp, tetiba saja ada sosok yang berkunjung!
"Rev. Edward Bennett, saya ingin sedikit saja bertanya kepada Anda. Ini hal yang sedikit di luar urusan pekerjaan, juga bukan atas suruhan Lady Rosemary Delucas."
"Oh, tentu saja!" Edward yang selalu bersikap flamboyan itu belum menaruh kecurigaan.
Kedua pria itu berdiri di lahan kamp kosong yang sedikit jauh dari siapa-siapa. Mereka memandang kegiatan yang masih cukup wajar di kamp. Para pengungsi yang duduk-duduk di depan tenda darurat, berbincang-bincang bebas atau berusaha bersantai, bermain musik atau kartu remi.
"Saya sedikit penasaran. Sudah lama saya tak mendengar kabar tentang Reverend James, pendeta senior Chestertown, atasan Anda. Menurut Anda, sekarang kira-kira di mana beliau bertugas?"
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H