Mohon tunggu...
Wiselovehope
Wiselovehope Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Angpao Terakhir untuk Mei Ling (3 dari 3)

26 Januari 2023   06:33 Diperbarui: 26 Januari 2023   12:00 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi edit pribadi

(Bagian 3)

“Jadi, kita akan segera bertunangan, Johanku Sayang?”

“Ya. Tunggu saja. Opa Chow juga sudah tidak sabar ingin segera bertemu denganmu. Kita akan bertunangan saat Imlek tiba! Bagaimana?”

“Bolehkah?”

“Mengapa tidak? Tak ada pantangan demikian di Hari Imlek!”

“Mengapa terburu-buru sekali?”

“Opaku sudah tua. Beliau ingin agar aku segera menikah asal dengan wanita yang kucintai.”

“Baiklah jika begitu.”

Baca juga: Uang, Uang, Uang

Beberapa bulan menjelang Imlek, hati Mei Ling selalu berbunga-bunga bagaikan pohon Sakura walau belum lagi musimnya. Johan Chow semakin menunjukkan perhatian yang hangat bagaikan bakpao siap santap dari kukusan. Mereka tak lama jadian setelah memutuskan untuk berbisnis. Johan Chow ternyata berbeda dengan mantan-mantan pacar Mei Ling terdahulu. 

Pemuda ini tidak seperti Teddy Tan yang lugu dan sedikit lebay. Tak mudah bagi Mei Ling untuk memata-matai atau mencari kelemahan pemuda yatim piatu yang konon cucu bisnisman kaya itu. Hanya satu kesempatan yang sudah gadis itu tunggu-tunggu, Hari Raya Tahun Baru Imlek di awal tahun baru nanti. Bukan hanya untuk dapat angpao seperti yang sudah beberapa kali ia terima dari keluarga mantan-mantannya, melainkan untuk melangkah masuk lebih jauh ke ranah pribadi seorang Johan Chow.

Pemuda itu tak seperti mantan-mantan terdahulu, membuatnya sungguh tidak tega. Mei Ling malah merasa kurang yakin pada calon korbannya kali ini. Jika dulu Koh Ahiung kerap perlahan memantau semua bisnis lawannya ‘saat malam tiba’, kali ini jauh berbeda. 

Sebelum Koh Ahiung berhasil mencaritahu dan menggerogoti apapun bisnis Keluarga Chow, ada saja kejadian menghalangi. Jika ia suka diam-diam menyuruh gerombolan alias orang upahannya untuk merampok, membakar toko lahan usaha lawan lalu menghilang tanpa jejak, kali ini selalu gagal atau urung terlaksana. 

Keluarga Chow memang punya toko-toko retail juga seperti Keluarga Koh Tan dan saingan bisnis lainnya, namun lahan usaha mereka semua berada di daerah strategis yang dijaga 24 jam penuh. Ada CCTV, satpam, bahkan pos polisi! Bukan lokasi ‘asal ramai’ atau padat penduduk calon konsumen dan pelanggan saja! Ditambah tidak ada ‘sasaran empuk’ untuk dirampok ala sinetron seperti dulu ibunda Teddy Tan, Koh Ahiung semakin mati kutu!

“Satu-satunya kesempatan adalah saat kau nanti masuk ke kediaman Opa Chow! Kau harus manfaatkan itu dengan baik!” tegas Koh Ahiung kepada Mei Ling, “Ayah tidak mau kau terlalu akrab dengan Johan, nanti kau menyesal! Sebab ingat, cinta itu tidak selamanya! Ingat dulu ibumu meninggalkan ayah demi laki-laki lain!”

Mei Ling menggigit bibir. “Ya, Ayah. Aku akan selalu jadi putri yang berbakti kepada Ayah,” ucapnya meski kurang yakin pada kesungguhan diri.

“Apalagi Opa Chow dulu juga pernah menjatuhkan bisnis almarhum opamu di masa lalu. Mantan pesaing yang kami benci. Toko yang beliau buka bisa mendapat lebih banyak pelanggan dan keuntungan daripada toko opamu. Mereka berani menjual barang dengan harga lebih murah dan untung tipis. Cih! Sebenarnya sudah lama sekali Ayah ingin membalas dendam dengan cara ini,” getir Koh Ahiung mengenang masa lalu, “dulu sekali kita pernah gagal, pokoknya kali ini kita tak boleh gagal lagi! Hari ini belum berhasil, besok pasti bisa! Batu jika ditetesi air lama-kelamaan akan pecah juga!”

Tahun lama pun berlalu. Singkat cerita, pagi hari Tahun Baru Imlek itu Mei Ling berkunjung untuk pertama kalinya ke Kediaman Keluarga Chow, sebuah kompleks privat mewah agak jauh di selatan Jakarta. Ia datang seorang diri karena tak mau dijemput sang kekasih. Johan sudah ia beritahu, pemuda itu setuju dan menuliskan alamatnya. Maka berkendaralah Mei Ling dengan sedan pribadi mewahnya, pemberian Koh Ahiung yang kerap ia pamerkan di jalan-jalan raya ibukota.

“Aku tak boleh ikut titah ayah! Hari ini aku ingin…” janji Mei Ling kepada diri sendiri. Namun entahlah, ia sendiri ragu.

Mengenakan gaun cheong sam merah pas badan yang cantik tak membuat keluwesan Mei Ling mengemudi terganggu. Di kompleks mewah yang tampak sepi itu, sedan ia tepikan. Satu-satunya kendaraan, apakah ia calon tamu pertama?

“Heran, kok tak ada sambutan meriah layaknya pesta tahun baru!” rutuk Mei Ling sambil keluar dari kendaraan.

Puluhan meter pagar hidup hijau tinggi seperti di film-film menyambutnya. Sebuah rumah mewah bak mansion bergaya Eropa tampak di balik pintu pagar ganda utama. Mei Ling mendorongnya, tak terkunci. Ia heran, kok tidak ada satpam? Mengapa tak ada penjaga satupun? Gadis itu menoleh ke bagian atas sekitar pagar di mana biasa ada kamera CCTV. 

Tak ada! Tapi justru hal itu sangat menguntungkan, jadi aku bisa berkelana bebas di rumah ini! Mei Ling melangkah ringan sambil mengepit tas tangan merah tanpa tali. Halaman kediaman Johan sangat luas ditumbuhi rumput hijau dan aneka bunga. Suasana sunyi berteman sejuk udara pegunungan. Mei Ling tiba di pintu utama mansion Keluarga Chow. Tidak ada deretan lampion di sana. Heran, kok tidak seperti suasana Imlek sama sekali! Tapi justru bagus sekali!

Diketikkannya chat di ponsel mewah, “Johan Sayang, aku sudah tiba di teras rumahmu!”

“Ya, selamat datang, Sayang! Aku segera menyambutmu. Kamu langsung masuk saja ya, pintu tidak dikunci,” balas Johan cepat.

Tidak terkunci? Huh, oke! Mei Ling merasa Johan ceroboh sekali. Kecerobohan yang menguntungkan!

Di dalam ruang tamu bak lobi hotel keras tercium aroma dupa, entah dari mana. Ruangan itu bersih luas namun sepi. Tak ada seorangpun pelayan atau penyambut berjaga. Suasana nyaris syahdu menjurus mistikal.

“Lurus terus di koridor utama, di ujung itu pintu kamarku!” chat Johan seakan memandu.

Ka-ka-kamar? Mei Ling tersipu. Baru pertama berkunjung kok sudah main ke kamar! Tapi okelah, mungkin di sana ada informasi pribadi yang bisa kukumpulkan untuk ayah!

Mei Ling maju. Koridor yang dimaksud Johan lurus di hadapan, terbentang jauh. Sebuah ruang sempit dingin dan gelap, di langit-langit berhias deret lampion-lampion merah dengan pendar cahaya di dalamnya. Oh, jadi suasana Imlek mulai di sini! Mewah juga! Mei Ling yang pemberani tidak takut gelap maupun kesendirian.

Di ujung koridor pintu terbuka. Mei Ling yang sempat berdebar-debar dibuat lega. Di sana sudah menunggu Johan, tampan dalam balutan busana tradisional Imlek berwarna maroon, seperti pangeran-pangeran dalam Drama China. Ruangannya temaram namun mewah dan nyaman; ada ranjang, sofa, set meja makan dan area kerja plus komputer yang menyala, sepertinya sang pemuda masih aktif bekerja di hari raya.

“Selamat Imlek! Selamat datang, Sayang. Maaf jika sambutan kami sedikit dingin, tak seperti biasanya. Opa Chow akan hadir bersama kita sebentar lagi. Beliau sudah sangat tua, jadi tak bisa segera datang kemari untuk bertemu! Beliau berkenan memberikanmu angpao super spesial!”

Mei Ling berdebar-debar. Apakah benar jika Johan akan mengikat janji dengannya hari ini di hadapan Opa Chow?

“Sebentar, Sayang. Jika berkenan, tunggulah kami di sini, izinkan aku menjemput Opa Chow dari kamar beliau!”

“Ten-ten-tentu saja!” Kesempatan bagus!

Sepeninggal Johan, Mei Ling bebas berkeliling kamar pribadi mewah dan nyaman itu. Berhasil menemukan beberapa hal penting yang selama ini ia cari tanpa perlu usaha besar, malah seperti disengaja. Johan rupanya sedang membuka internet. Pemuda itu lengah. Pada monitor, layar situs bank dan rekening Keluarga Chow jelas-jelas terpampang. Sangat menantang. Jumlah digit saldo tertera di sana begitu mengundang. Mei Ling terbiasa dengan cara-cara memindahkan uang dalam sekejap.

Sebenarnya ini misi utama ayahnya. Ia sudah berkali-kali manut titah Koh Ahiung. Namun hari ini ia sedikit sungkan. Apakah akan kulakukan ini? Meskipun begitu waktunya tidak banyak. Segera ia lakukan beberapa tugas dan tak lupa mencatat beberapa hal yang bisa ia dapatkan.

Dalam lemari Johan tak hanya berderet busana branded. Sebuah brankas ada di dalamnya, malah pintunya sedikit terbuka. Mei Ling mengintip ke dalamnya. Luar biasa! Walau suasana gelap, Mei Ling dapat melihat kilau emas serta beberapa perhiasan berlian di sana. Rasanya seperti menemukan peti harta karun. Sekaya itukah Keluarga Chow? Mei Ling sudah tak tahan lagi. Ia sudah tak ingat jika tadi berjanji takkan menuruti titah ayah. Diraupnya segenggam harta dan dimasukkannya ke dalam tas tangan. Segera ditutupnya brankas dan lemari secepat kilat.

“Akhirnya, Nona Mei Ling, anak Ahiung! Selamat datang!”

Suara laki-laki tua itu nyaris membuatnya melompat. Berbalik dan buru-buru tersenyum, ia menyambut kedatangan Opa Chow dan cucunya. Beliau sudah sepuh, duduk di kursi roda. Busananya senada dengan Sang Cucu, Johan yang membantu mendorongnya. Tampaknya situasi aman terkendali, kedua pria itu tak tahu aksinya barusan.

Xi nian kuai le. Selamat Imlek, Opa Chow, semoga selalu dikaruniai keberuntungan dan kesehatan.” Mei Ling buru-buru memberi salam dengan kedua tangannya.

“Selamat Imlek juga. Akhirnya bertemu juga. Wah, ternyata kau sudah besar, Mei Ling. Cantik sekali!” Opa Chow terkesan ramah, “Sepertinya kau cocok bersama dengan Johan cucuku. Kedatanganmu kemari pada momen hari raya ini sungguh tepat!”

Ada aroma aneh menyeruak dari tubuh pria berusia 90-an tahun ini. Namun Mei Ling tidak seberapa ngeh. “Xie xie. Terima kasih banyak, Opa!” balasnya, berusaha takzim.

“Terimalah angpao dari Opa, semoga tahun ini kalian diberikan…” kalimatnya belum selesai saat Opa Chow mengulurkan yang ditunggu-tunggu selama ini dalam sebentuk amplop merah. Bukan sembarang angpao, kelihatannya jauh lebih gemuk, padat dan besar!

Jangan diterima, Mei Ling! tiba-tiba seru seseorang menggema dalam relung jiwanya. Sudah cukup permainan busuk selama ini! Ini semua jebakan! Ingat, jika kau benar-benar cinta pada Johan Chow, jangan kau terima angpao itu! Kau akan celaka! Segera pergi dari rumah ini sekarang juga! Ingat, harta hanyalah ilusi! Hidup jauh lebih penting dari segalanya!

Tangan Mei Ling terulur siap menerima. Merasa terganggu dengan interupsi suara asing itu, ia berteriak sendiri, “Suara siapa itu? Tidak, tidak, tidak! Aku mau semua yang bisa kami dapatkan! Aku berhak atas semua ini! Aku berhak atas rezeki, keberuntungan, kesehatan dan cinta!”

Tak menghiraukan suara asing itu, Mei Ling menerima angpao gemuk pemberian Opa Chow. Tak terjadi apa-apa, hanya saja lututnya gemetar dan kepalanya terasa pusing.

“Ada apa, Sayang?” Johan sepertinya heran pada teriakan Mei Ling tadi, “Ada suara apa? Tak ada siapa-siapa lagi di sini.” Pemuda itu tersenyum, “Ayo, itu milikmu!”

“Ayo, buka angpaonya!” Opa Chow tertawa-tawa dengan suara tua yang kering.

Buka? Akankah kubuka angpaonya? Tapi…

Ternyata Mei Ling hanya sempat sekejap saja melihat isi angpao itu. Sesuatu nan hitam pekat menyeruak keluar dari dalam amplop merah itu. Semacam kawanan lebah besar hitam dalam jumlah ribuan tanpa ampun spontan menyerang sang gadis cantik!

“TOLONG, TOLONG AKUUU!”

Namun tiada yang tergerak menolong. Johan dan Opa Chow bergeming. Mereka menatap semua yang terjadi hingga usai, lalu tersenyum bersama-sama.

Johan berlutut di hadapan sosok renta Opa Chow, hangat menggenggam kedua tangannya sambil berbisik, “Opa, kini Anda bisa pergi dalam damai. Temuilah ayah ibuku di surga. Selamat Imlek, Opa.”

恭喜发财, 新年快乐. 祝你身体健康, 全家幸福, 万事如意。

Gōngxǐ fācái, xīnnián kuàilè. Zhù nǐ shēntǐ jiànkāng, quánjiā xìngfú, wànshì rúyì.

(Selamat Tahun Baru Imlek. Semoga sehat, bahagia sekeluarga, dan semua harapan berjalan lancar.)

Beberapa hari kemudian.

“Mei Ling! Mei Ling-ku, kembalikan Mei Ling-ku! Jangan, jangan bawa aku! Aku tidak gila, aku baik-baik saja! Ha, ha, hahahahaha!”

Duda tua itu, Koh Ahiung, sudah digiring ke rumah sakit jiwa. Anak gadis satu-satunya belum lama ditemukan meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan di sebuah rumah mewah kosong di selatan Jakarta.

Konon Koh Ahiung muda pernah terlibat pembunuhan pasangan saingan bisnisnya yang bermarga Chow, namun tak pernah terbukti. Keluarga Chow menghilang walau sempat melanjutkan bisnis. Mereka dikenal sangat kaya namun erat menjaga privasi. Putra mereka, pemuda bernama Johan Chow santer disebut sebagai pewaris dan pemilik rumah TKP, namun keberadaannya hingga kini tak ditemukan.

Mei Ling sudah menerima angpaonya tahun ini. Sayang, tahun depan ia takkan bisa menerima lagi. Angpao terakhirnya jadi saksi bisu kematian Si Cantik Pemburu Angpao nan hingga kini masih jadi misteri.

TAMAT – 26 Januari 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun