Jangan diterima, Mei Ling! tiba-tiba seru seseorang menggema dalam relung jiwanya. Sudah cukup permainan busuk selama ini! Ini semua jebakan! Ingat, jika kau benar-benar cinta pada Johan Chow, jangan kau terima angpao itu! Kau akan celaka! Segera pergi dari rumah ini sekarang juga! Ingat, harta hanyalah ilusi! Hidup jauh lebih penting dari segalanya!
Tangan Mei Ling terulur siap menerima. Merasa terganggu dengan interupsi suara asing itu, ia berteriak sendiri, “Suara siapa itu? Tidak, tidak, tidak! Aku mau semua yang bisa kami dapatkan! Aku berhak atas semua ini! Aku berhak atas rezeki, keberuntungan, kesehatan dan cinta!”
Tak menghiraukan suara asing itu, Mei Ling menerima angpao gemuk pemberian Opa Chow. Tak terjadi apa-apa, hanya saja lututnya gemetar dan kepalanya terasa pusing.
“Ada apa, Sayang?” Johan sepertinya heran pada teriakan Mei Ling tadi, “Ada suara apa? Tak ada siapa-siapa lagi di sini.” Pemuda itu tersenyum, “Ayo, itu milikmu!”
“Ayo, buka angpaonya!” Opa Chow tertawa-tawa dengan suara tua yang kering.
Buka? Akankah kubuka angpaonya? Tapi…
Ternyata Mei Ling hanya sempat sekejap saja melihat isi angpao itu. Sesuatu nan hitam pekat menyeruak keluar dari dalam amplop merah itu. Semacam kawanan lebah besar hitam dalam jumlah ribuan tanpa ampun spontan menyerang sang gadis cantik!
“TOLONG, TOLONG AKUUU!”
Namun tiada yang tergerak menolong. Johan dan Opa Chow bergeming. Mereka menatap semua yang terjadi hingga usai, lalu tersenyum bersama-sama.
Johan berlutut di hadapan sosok renta Opa Chow, hangat menggenggam kedua tangannya sambil berbisik, “Opa, kini Anda bisa pergi dalam damai. Temuilah ayah ibuku di surga. Selamat Imlek, Opa.”
恭喜发财, 新年快乐. 祝你身体健康, 全家幸福, 万事如意。