Pemuda itu tak seperti mantan-mantan terdahulu, membuatnya sungguh tidak tega. Mei Ling malah merasa kurang yakin pada calon korbannya kali ini. Jika dulu Koh Ahiung kerap perlahan memantau semua bisnis lawannya ‘saat malam tiba’, kali ini jauh berbeda.
Sebelum Koh Ahiung berhasil mencaritahu dan menggerogoti apapun bisnis Keluarga Chow, ada saja kejadian menghalangi. Jika ia suka diam-diam menyuruh gerombolan alias orang upahannya untuk merampok, membakar toko lahan usaha lawan lalu menghilang tanpa jejak, kali ini selalu gagal atau urung terlaksana.
Keluarga Chow memang punya toko-toko retail juga seperti Keluarga Koh Tan dan saingan bisnis lainnya, namun lahan usaha mereka semua berada di daerah strategis yang dijaga 24 jam penuh. Ada CCTV, satpam, bahkan pos polisi! Bukan lokasi ‘asal ramai’ atau padat penduduk calon konsumen dan pelanggan saja! Ditambah tidak ada ‘sasaran empuk’ untuk dirampok ala sinetron seperti dulu ibunda Teddy Tan, Koh Ahiung semakin mati kutu!
“Satu-satunya kesempatan adalah saat kau nanti masuk ke kediaman Opa Chow! Kau harus manfaatkan itu dengan baik!” tegas Koh Ahiung kepada Mei Ling, “Ayah tidak mau kau terlalu akrab dengan Johan, nanti kau menyesal! Sebab ingat, cinta itu tidak selamanya! Ingat dulu ibumu meninggalkan ayah demi laki-laki lain!”
Mei Ling menggigit bibir. “Ya, Ayah. Aku akan selalu jadi putri yang berbakti kepada Ayah,” ucapnya meski kurang yakin pada kesungguhan diri.
“Apalagi Opa Chow dulu juga pernah menjatuhkan bisnis almarhum opamu di masa lalu. Mantan pesaing yang kami benci. Toko yang beliau buka bisa mendapat lebih banyak pelanggan dan keuntungan daripada toko opamu. Mereka berani menjual barang dengan harga lebih murah dan untung tipis. Cih! Sebenarnya sudah lama sekali Ayah ingin membalas dendam dengan cara ini,” getir Koh Ahiung mengenang masa lalu, “dulu sekali kita pernah gagal, pokoknya kali ini kita tak boleh gagal lagi! Hari ini belum berhasil, besok pasti bisa! Batu jika ditetesi air lama-kelamaan akan pecah juga!”
Tahun lama pun berlalu. Singkat cerita, pagi hari Tahun Baru Imlek itu Mei Ling berkunjung untuk pertama kalinya ke Kediaman Keluarga Chow, sebuah kompleks privat mewah agak jauh di selatan Jakarta. Ia datang seorang diri karena tak mau dijemput sang kekasih. Johan sudah ia beritahu, pemuda itu setuju dan menuliskan alamatnya. Maka berkendaralah Mei Ling dengan sedan pribadi mewahnya, pemberian Koh Ahiung yang kerap ia pamerkan di jalan-jalan raya ibukota.
“Aku tak boleh ikut titah ayah! Hari ini aku ingin…” janji Mei Ling kepada diri sendiri. Namun entahlah, ia sendiri ragu.
Mengenakan gaun cheong sam merah pas badan yang cantik tak membuat keluwesan Mei Ling mengemudi terganggu. Di kompleks mewah yang tampak sepi itu, sedan ia tepikan. Satu-satunya kendaraan, apakah ia calon tamu pertama?
“Heran, kok tak ada sambutan meriah layaknya pesta tahun baru!” rutuk Mei Ling sambil keluar dari kendaraan.
Puluhan meter pagar hidup hijau tinggi seperti di film-film menyambutnya. Sebuah rumah mewah bak mansion bergaya Eropa tampak di balik pintu pagar ganda utama. Mei Ling mendorongnya, tak terkunci. Ia heran, kok tidak ada satpam? Mengapa tak ada penjaga satupun? Gadis itu menoleh ke bagian atas sekitar pagar di mana biasa ada kamera CCTV.