Mohon tunggu...
Rana Setiana
Rana Setiana Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Ngobrol diskusi santai

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Berbayang Bayangan (2) Kita Dikala Kata

3 September 2024   08:54 Diperbarui: 3 September 2024   20:35 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbayang Bayangan/ddokpri

Berbayang Bayang (2).  Kita dikala Kata. 

 "Lama...

Ya, lama memang semua yang dinanti! Cepat tak terasa semua yang ternikmati, padahal berlenggangnya laju waktu tetap sama tiada yang berbeda. Tapi biarlah, apalah itu, terserah. yang penting dapatlah kakiku melangkah dengan mantap kepada apa yang kutatap..."

 

Bisik Isma yang dari tadi hanya memandangi ukiran lekuk garis wajahnya. terpantul dalam cermin bersama tegang dahinya. alis yang lurus nya menebal membuat Isma terlihat seakan Bersatu. Tatapan yang penuh tanda tanya. Ia gerakkan bibir manisnya, seakan ia sedang berbisik kepada orang yang ada dihadapannya, dan matanya meneliti tajam detil keluk kelopak mata gadis itu berbayang di hadapannya.

 

Setiap untaian terbisik resah di bibir mungilnya. Mata belonya pun makin tajam dan makin mendalam, menembus menikam kenangan yang terbias di hadapannya. Semakin lama Isma menikam dalam. ia baru menyadari gadis di hadapannya sedang meledek menghinanya. Wajah merebah, bibirnya menebal makin tak jelas. Ia meledek di seberang sana dengan binar matanya yang suram, memburam dan hilang tak berwajah tertelan kesunyian khusyu mencari arti.

 

Semilir angin yang bertekad keras masuk dalam celah-celah kecil bertebaran ke seluruh penjuru ruangan dan menyentak sejuk kedalam mata Isma yang lelah hingga kedipan jernih matanya, membuat gadis di hadapan itu hadir, bersama tatapan baru yang berkaca-kaca segar dan jelas tampak linang kelut kegelisahannya.

 

Tas terselendang di pundaknya kini terlupakannya. Tas itu merupakan saksi bisu apa maksud kedatangannya. Tapi di sisi lain tatapan resahnya tetap saja, menanti pasti, detik mengalir melaju jauh menuju sesuatu yang Isma sendiripun merasa ragu dan tak tahu, tak semantap detak detik mengetuk menit dan melangkah gigih meraih waktu satu jam.

 

Titik air kran masih saja menetes dari wastafel yang ada di bawah cermin. Terdengar beradu harmoni bersama kicauan nada detak resah nafasnya bersama untaian Puisi Ayat Rohaedi yang masih ia hafal dalam kepalanya dan membuat simfoni lagu haru dalam kesunyian kamar mandi Aliyahnya.

 

Ketika itu, Dalam untaian laju perjalanannya ke sekolah, Isma tersendat oleh jalan macet, sehingga hari ini Ia harus kesiangan. Walau gerbang Abah security telah dilalui, bukan berarti Ia diijinkan masuk kelas. Tata tertib membuatnya tertahan. Setelah jam mata pelajaran pertama selesai barulah Isma akan dipersilahkan masuk ke kelas.

 

Perjuangan lolos dari gerbang penjagaan Abah, Isma tidak lalui itu semudah hari biasanya, yang selalu lolos dengan alasan-alasannya. Sekarang alasannya berupa sekumpulan segenap pangkal pikir dan kesimpulan yang Ia susun rapi, hari ini tidak berguna. Kalau sudah terlambat, semua alasan, dan wujud pertanyaan kenapa, sudah dari mana, tidak berlaku bagi Abah. Gerbang pun dibuka dipersilahkan masuk karena alasan ingin ke kamar kecil, walaupun isma tidak ingin ke sana. ingin menunggu di perpustakaan tidak diperbolehkan dan dianggap hanya alasan saja.

"Nanti, malah ke kelas.." jelas Abah

Banyak orang yang senang mendengar alasan bohong. Daripada alasan sebenarnya. Justru malash tidak percaya. dikira alasannya tidak kreatif. Atau itu-itu saja alasannya apakah tidak ada alasan lain? Ketika alasannya diganti dengan sebuah kebohongan, anehnya mereka percaya.

 

Seperti ketika seorang suami pulang telat karena pekerjaannya menumpuk, sayangnya sang istri tidak percaya. Atas alasan suami. akhirnya sang suami terpaksa, mencoba menjawab dengan alasan, bahwa dirinya makan malam bersama sekretarisnya sebelum pulang ke rumah. Muka sang isri memerah, ia percaya, api cemburu pun terbakar. mungkin ini contoh kecil alasan sebuah kewajaran kenapa semua orang senang dibohongi. Begitu mungkin dari buku yang ia pernah baca Mitos-mitos wanita , Apakah Abah seperti itu? Tapi, abah kan laki-lak. Kerut alisnya makin menegang.

 

Semeriwing bau pesing merebak ke hidungnya yang kecil dan lancip. tetap saja tidak membuat matanya menoleh ke arah lain dari kekhusyuan menatapi gadis di cermin. Bayang yang penuh kenangan berbias mimpi. Dalam gerutunya Isma memekik keras

 

"Dasar bayangan, penuh tipuan yang begitu berbolak-balik. Entah harap berbayang angan, atau justru angan berbayang harap. Semua tidak begitu jelas hanya bias." Makin mengecil nada suaranya, makin tertunduk kepalanya tertempel di cermin. "buruk muka cermin.... ingin rasanya ku belah" gumamnya tidak melanjutkan pepatah itu. dengan tangan sambil memukul kecil tanpa tenaga.

 

Linang air meleleh dari matanya yang terus berderai. Linang membasahi kedua lengkung pipi gadis itu. Di sini dan di sana entah yang mana yang harus disebut Disini, yang jelas keduanya sama-sama berlinang.

 

Walau tidak jelas air mata keduanya itu meresapi kesedihan atau mata yang lelah dengan linang membasuh lelahnya mata. atau justru gadis yang di seberang sana melihat kunang-kunang kegelisahan yang tidak isma sadari, dan Isma pun melihat wajah keresahan di pelupuk mata seberang sana. Karena Isma sadar orang itu lebih pandai menilai orang lain daripada dirinya sendiri. Bukankah seseoran itu cerminnya seaseorang? Tapi Isma tidak tahu apakah cerminnya itu sejujur cermin dalam dongeng putri salju, dijunjung tinggi akan kejernihannya sebagaimana pepatah cina, atau justru cermin itu adalah pembohong yang pandai sehingga orang itu tidak merasa dikibuli dengan memutar bolak balikkan sebagaimana yang terukir dalam karya Xing Yi Zhou mencerca cermin.

 

Detik berdetak melaju bersama menit melangkah meraih jam, tapi Isma tidak tahu sudah berapa ribu detik biarkan berlalu dengan tatapannya itu di cermin bersama dua pintu dibelakang menjadi latar setia, bertuliskan jagalah kebersihan yang terbaca terbalik kanan ke kiri.

 

Dalam heningnya sepi, tidak hentinya air berlinang hingga ia menemukan sesuatu dari untaian makna yang tak berlafad, membentuk kata di kepalanya. Hingga, Ia tidak tahu apa dan harus dimulai dari mana mengukir makna dengan kata yang tepat dan indah. Namun, hanya air mata yang terus meleleh dari mata yang merasa lelah mengawang.

 

Untaian makna yang beterbangan sebenarnya sudah ada semenjak berada di halte bis. Ketika itu juga Isma merasa tidak tega mengungkapkan putaran-putaran makna yang beterbangan dalam kepalanya, karena ia merasa tidak Pede dengan tabungan kata-katanya. Tabungan kata, istilah untuk sebuah buku catatan diary. ia tabung semenjak ia mampu mendengar dan melihat. Tabungannya pun tidak kalah berisi dengan celengan Semar yang ia simpan di kamarnya. Isma tetap merasa takut bagaimana kalau Ia justru menghilangkan keindahan dan kedalaman makna-makna puisi yang ada di kepalanya. sehingga membuatnya terlambat.

 

Walaupun memang seperti biasanya, Isma suka merenung sepi mencurat-coret, mencari arti di atas kotak pandoranya. Sebuah diary yang menyimpan begitu banyak rahasia apapun juga eceng begitu ia untuk menyebut cinta. Tapi hari ini ia tidak mengukir satu katapun. Dia hanya termenung lesu memandangi untaian kata demi kata Ayat Rohaedi pabila dan dimana.

 

Khusyu dalam lamunannya, ia baru tersadar setelah jarum jam menunjukkan pukul 06.54 ditambah Isma baru sadar bahwa hari ini hari Senin. Hari yang padat, walalupun kemacetan selalu mewarnai jalanan. Tapi pada hari Senin semua mendadak membludak lebih ramai, deret kendaraan berlaju lebih merayap karena macet dan begitu juga angkutan kota semua berjejal berdesak penuh sesak. Pokoknya, pada hari senin semua menjadi lebih, lebih super dan super lebih.

 

Saat deru kendaraan terus menggaung di sana. Isma baru tersentak sadar dan mendongakan kepalanya dari tunduk tekun berdayu rindunya. Tapi walaupun ia sudah tahu hari telah siang, tetap saja hanya memandang sekeliling. Di sekitarnya ia melihat banyak kumpulan wajah resah gelisah menunggu angkutan umum yang terus berlalu tiada kata ajak rayu menyeru menawarkan jasa.

 

Pikirannya yang masih mengawang melamun membuat Isma sedikit santai mengahadapi masalah. Entah Isma mempraktekkan ucapan Hardi teman ngobrolnya dalam segala hal; selain si kembar Arman dan Awan. Hardi lebih banyak membahas cinta dibanding yang lainnya. Ia menyatakan hasil kutipannya. Hanya, sayang kebiasannya yang jarang mencatat siapa yang menyatakan ucapan itu, sehingga kata-kata itu seakan terlihat ucapan dari dia sendiri. Tapi Hardi tetap berdalih katanya yang penting. Bukan siapa yang berbicara, tapi apa yang dibicarakan, bahwa tidak ada masalah dengan masalah, justru yang menjadi masalah adalah cara kita menhadapi masalah. Itu yang ia kutip dengan PD nya.

 

Daslam kondisi inilah Isma dapat santai , tapi kalau dalam keadaan sadar, pasti pada waktu iu juga sekujur tubuhnya menegang. Keringat tujuh sumur membasahi tubuhnya. Malah, ia serring celaka dengan langkahnya sendiri yaitu tergesa-gesa. Tapi berbeda dalam kondisi seperti ini lebih gampang memutuskan sesuatu dan ia putuskan naik angkutan yang kosong, jurusan apa saja, yang penting dapat memperdekat jarak, walaupun harus naik beberapa kali tapi yang penting sampai tujuan.

 

Memang katanya kita harus bersegera tapi bersegera selalu berdampingan dengan tergesa-gesa, bukankah itu dari setan.

 

Lonceng Kelas menyadarkan kebersamaan gadis di sebrang cermin disana, Isma ukir bibir kecilnya dengan senyum terkulum manis meredakan ketegangan. Tatapannya yang basah penuh garis-garis kesedihan, tangannya menggerakan alunan kata dikaca yang disebutnya cermin bersama sisa-sisa Air ditangannya

"Aku menjadi Kau.

Disini tetap disana

menjadi Kata jika wafak Kita.

Alunan Seruling tak kau sebut Bising"

...Isma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun