“Iya!”
“Habib inget nggak, waktu Baba bilang nggak bisa beliin sepatu sama mainan seperti punya Oji?”
Anak itu mengerung. Wajah ini, dalam kondisi apapun sama sekali tak ingin kulihat untuk menunjukkan ekspresi terpojok. Sayangnya aku sedang melakukan itu terhadapnya.
“Iya!” jawabnya lemah.
“Baba bilang apa?”
“Baba belum ada rejeki ….” Suara itu makin pelan terlontar. Aku semakin merasa bersalah.
“Iya. Sekarang juga begitu. Baba belum punya banyak rejeki buat nyekolahin Habib ke TK-nya Oji. Jadi Habib sekolahnya di TPA dulu, ya?”
“Kenapa Baba nggak punya banyak rejeki?”
Kenapa? Ah, karena beginilah nasib bapakmu, Nak! Dunia ini cukup kejam buat orang seperti kita. Sekolah cuma lulusan SMA, keterampilan seadanya, tak berani main sikut dan jilat sana-sini. Kita ini terlalu kerdil di hadapan dunia seperti itu. Kelak saat kau besar nanti kau akan memahami itu. Dunia tak segamblang hitam dan putih yang sering diceritakan guru ngajimu. Dunia tak sehalus lantai keramik kamar kos kita. Terutama karena kau lelaki, kuceritakan ini padamu, Nak. Kau akan menjadi lelaki yang jauh lebih kuat daripada ayahmu. Lelaki pejuang. Lelaki dengan keteguhan tanggung jawabnya untuk mengoyak dunia, sebelum dia mampu mengoyakmu. Suatu saat kau merasa tersudut dengan nasibmu, kuat dan menyepilah! Tak perlu kau bagi duka dan pahit itu pada orang di sekitarmu. Bagaimanapun kau seorang lelaki. Kelak kau akan sendiri.
Sayang, bukan rentetan kata-kata itulah yang bisa kusampaikan padanya. Aku selalu mengandalkan Tuhan sebagai alasan. Karena mungkin itulah yang bisa dia mengerti. Lalu kujawab pertanyaanya: “karena Allah belum ngasih Baba rejeki yang banyak.”
Habib kecil itu terdiam. Aku tak percaya dia paham. Tapi melihatnya mengantuk dan bersandar di pangkuanku jauh lebih baik ketimbang terus menggugat kenyataan kondisi nasibku.