Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Duduk Sini, Nak!

16 Maret 2012   07:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:59 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DUDUK SINI, NAK!

Oleh: Ramdhani Nur

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber gambar: http://jambitourism.co.id/"][/caption]

Jauh jalan yang harus kau tempuhMungkin samar bahkan mungkin gelapTajam kerikil setiap saat menungguEngkau lewat dengan kaki tak bersepatu

Duduk sini, Nak dekat pada BapakJangan kau ganggu ibumuTurunlah lekas dari pangkuannyaEngkau lelaki kelak sendiri*

“Mau dijadiin restoran?”

“Ya. Pemberi modalnya sudah setuju dengan harga yang ditawarin.”

“Pasti lebih menguntungkan.”

“Semoga begitu.”

“Aku ambil barang-barangku dulu.”

Sorry, Mar. Aku ikut prihatin, aku nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Counter dan service hape baru semakin banyak di daerah sini. Modal mereka besar, sementara tempat kita semakin sepi. Daripada terus merugi mending banting usaha.”

Nggak apa-apa, Ris. Aku bisa cari kerja di tempat lain.”

Itu percakapanku dengan Aris pemilik kios servis HP sebelum kuputuskan melangkah pulang. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Sekilo duku Palembang aku jinjing sebagai alat untuk menipu kenyataan bahwa di rumah, kami masih bisa tersenyum bahkan tertawa-tawa menanggapi nasib yang baru akan aku ceritakan kemudian. Aku tak boleh membuat mereka bersedih. Oleh-oleh, apapun bentuknya, selalu jadi cara ampuh menghidupkan keceriaan. Terutama bagi Habib, anak tertua kami. Lelaki kecil itu selalu menyambut apa-apa yang ada dalam genggamanku.

“Dukuuu…!” begitulah teriakannya.

Lalu dia bawa ke tengah kamar yang juga menjadi tempat makan dan tidur kami. Sementara Jibril kecil masih merangkak-rangkak memunguti butir-butir duku yang menggelinding dari kantong plastik. Ibunya selalu mengawasi, khawatir anak itu akan menelannya bulat-bulat. Istriku itu selalu waspada, meski perutnya kini harus dibebani lagi calon bayi yang sudah masuk bulan ke enam.

“Tumben bawa oleh-oleh?” tanya istriku sambil menyuapi potongan duku ke dalam mulut Jibril.

“Kebetulan aja ada rejeki.”

Aku beranjak ke meja kecil dekat bilik yang kujadikan dapur, segelas teh dengan tatakannya sudah tersaji. Tentu tanpa gula. Mataku mencuri pandang pada tudung saji yang menutup semangkuk nasi putih dan beberapa potong tempe goreng. Melihat jumlahnya mereka pasti sudah makan terlebih dahulu, entahlah kalau istriku. Dia kerap kali berbohong agar dia tak menghabiskan jatah makan soreku. Sekalinya ketahuan, aku pernah marah besar. Dia sedang hamil, dia lebih butuh makan daripada aku. Aku boleh kelaparan, tapi tidak dengannya dan calon anak kami. Entahlah, apakah dia sudah mencamkan itu sekarang.

Kudapati perempuan itu tengah memangku Jibril yang mulai mengantuk. Sesaat lagi mungkin akan terlelap. Habib bersandar pada sisi bahunya. Mengunyah dan memisahkan biji duku dalam kulumannya. Ada tarikan napas yang ingin kuhembus kuat-kuat melihat ini. Dengan keterbatasan ini kupikir mereka sudah bisa hidup cukup bahagia. Entah apa aku masih sanggup mempertahankan itu dengan kondisi terbaruku.

“Ba, Habib TK-nya sama Oji aja, ya?”

“TK Oji jauh, Sayang,” timpal ibunya.

“Iya, tapi kata Oji, TK Oji bagus. Banyak tempat mainannya.”

“Di TPA juga banyak mainannya ….”

Aku mengerti maksud ibunya. TK yang dimaksud adalah TK Al-Irsyad. Kami tak akan sanggup membiayai uang masuknya seperti orang tua Oji. Tapi terang-terangan menjalaskan kondisi ekonomi keluarga pada lelaki yang begitu semangat memamerkan sepasang sepatu baru pemberian Encing-nya sebagai hadiah awal jika nanti dia masuk sekolah TK, sama juga sulitnya. Lalu kuajaknya beranjak dari tempat bersandarnya, seakan aku sudah siap memberikan jawaban yang tepat untuknya.

“Sini, Nak!” Anak itu masih bergeming. “Sini duduk dekat Baba!”

Dengan malas tubuhnya terseret padaku dan kini duduk dipangkuanku.

“Habib pernah liat TK-nya Oji?”

Dia menggeleng.

“Terus dari mana Habib tau itu bagus?”

“Kata Oji.”

“Pasti bagus sekali ya?”

“Iya! Ada mainan prosotan sama ayunan besi.”

“Sepatu dan mainan Oji juga bagus, kan?”

“Iya!”

“Habib inget nggak, waktu Baba bilang nggak bisa beliin sepatu sama mainan seperti punya Oji?”

Anak itu mengerung. Wajah ini, dalam kondisi apapun sama sekali tak ingin kulihat untuk menunjukkan ekspresi terpojok. Sayangnya aku sedang melakukan itu terhadapnya.

“Iya!” jawabnya lemah.

“Baba bilang apa?”

“Baba belum ada rejeki ….” Suara itu makin pelan terlontar. Aku semakin merasa bersalah.

“Iya. Sekarang juga begitu. Baba belum punya banyak rejeki buat nyekolahin Habib ke TK-nya Oji. Jadi Habib sekolahnya di TPA dulu, ya?”

“Kenapa Baba nggak punya banyak rejeki?”

Kenapa? Ah, karena beginilah nasib bapakmu, Nak! Dunia ini cukup kejam buat orang seperti kita. Sekolah cuma lulusan SMA, keterampilan seadanya, tak berani main sikut dan jilat sana-sini. Kita ini terlalu kerdil di hadapan dunia seperti itu. Kelak saat kau besar nanti kau akan memahami itu. Dunia tak segamblang hitam dan putih yang sering diceritakan guru ngajimu. Dunia tak sehalus lantai keramik kamar kos kita. Terutama karena kau lelaki, kuceritakan ini padamu, Nak. Kau akan menjadi lelaki yang jauh lebih kuat daripada ayahmu. Lelaki pejuang. Lelaki dengan keteguhan tanggung jawabnya untuk mengoyak dunia, sebelum dia mampu mengoyakmu. Suatu saat kau merasa tersudut dengan nasibmu, kuat dan menyepilah! Tak perlu kau bagi duka dan pahit itu pada orang di sekitarmu. Bagaimanapun kau seorang lelaki. Kelak kau akan sendiri.

Sayang, bukan rentetan kata-kata itulah yang bisa kusampaikan padanya. Aku selalu mengandalkan Tuhan sebagai alasan. Karena mungkin itulah yang bisa dia mengerti. Lalu kujawab pertanyaanya: “karena Allah belum ngasih Baba rejeki yang banyak.”

Habib kecil itu terdiam. Aku tak percaya dia paham. Tapi melihatnya mengantuk dan bersandar di pangkuanku jauh lebih baik ketimbang terus menggugat kenyataan kondisi nasibku.

***

Emang Si Mamar setuju?”

Ngapain nunggu persetujuan Si Mamar? Yang bikin dia kerja di mari juga gua. Modal dia cuma ilmu ngebenerin HP doang. Itu juga nggak becus. Lha duitnya dari gua semua.”

Kasian, bininya bentar lagi bakal lahiran.”

“Peduli amat! Koh Ahong udah nawar 50 juta di lahan bekas counter HP gua, buat dijadiin restoran. Emang lu mau gua ngelepas rejeki macam gitu?”

“Bukannya Abang yang nawar-nawarin lahan itu ke Koh Ahong?”

“Sama aja! Yang penting kita dapet rejeki dari situ!”

Itu percakapan Aris dan istrinya, saat aku hendak ke rumahnya beberapa hari yang lalu. Tentu tanpa sepengetahuan mereka. Percakapan itu tetap terekam di otakku. Selalu membuat dadaku sesak, dan otakku hilang akal. Tengah malam nanti saat istri dan anak-anakku tidur, aku akan mengunjungi rumahnya. Dengan linggis dan sarung. Aku merasa ada bagianku yang tertinggal di sana.

***

Cirebon, 16 Maret 2012 *diambil dari lirik Nak karya Iwan Fals Meski terlihat 'maksa' cerita ini memang terinspirasi dari Lagu "Nak" karya Iwan Fals. Baik kisah maupun tokohnya adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, segeralah ganti nama Anda dan nama keluarga Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun