“Aih, kenapa? Di Jakarta banyak pencuri kah?” tanya Melianus polos.
Tawa Agnes lepas. “Bukan! Tapi di Jakarta tak ada banyak orang seperti kalian.”
Melianus dan Yokomina tersenyum-senyum sendiri seperti mengerti. Bagi mereka sangat jelas. Tak bisa semena-mena mengambil hak milik orang lain. Bahkan tak cuma pada benda; pada air, hutan, atau laut selalu ada penghormatan terhadap sang pemilik sejati. Karena penyangkalan terhadap itu, sama saja dengan mencuri.
“Hem…, kalian manis juga kalau lagi tersenyum begini. Sebentar!” Agnes meraih Tablet itu. Diangkat, lalu dihadapkan pada wajah keduanya. “Saya foto, ya!”
“Eh, tra usah Nona…,” tolak Melianus diikuti wajah gelisah Yokomina. “Sa pu muka jelek!”
“Nona ini tra minta ko jadi tampan. Dia cuma minta ko bagi ko pu senyum!” bujuk Pak Albert berkelakar.
“Oke, ya! Sekali aja! Yokomina, ayo dong…!”
“Sa malu Nona…”
Agnes tak memedulikan. Dirapatkan bahu keduanya. Kini tubuh mereka duduk berdempet. Wajah mereka sama dihiasi senyum yang malu-malu.
“Siap, ya!” Jarak dua langkah dari mereka Agnes memainkan jemarinya. “Satu…! Dua….! tiga!”
Trik!