“Aih, Pak Guru! Jangan bikin sa malu! Kami cuma teman saja.”
“Hahaha! Tak apa, ayo masuk!”
Berkumpullah mereka di beranda rumah Pak Guru. Melingkar menyisi dinding rumah. Meja dari kayu di hadapan mereka hampir penuh dengan makanan dan gelas-gelas. Pak Guru menyilakan mereka untuk mencicip. Tapi belum ada satu makanan pun yang disentuh.
“Ah, ya! Sa kenalkan ini Agnes, mahasiswa dari Jakarta. Beliau sedang ada tugas di sini untuk menyelesaikan skripsinya. Ko paham itu skripsi, Melianus?”
“Ya, semacam karya ilmiah tho?”
“Betul. Tadi siang Nona Agnes lupa simpan Tablet-nya setelah memotret sekolah. Saat dia telepon kalianlah yang mengangkat. Betul begitu?”
“Betul, Pak Guru. Sa su kira itu telepon seperti pu Pak Guru. Eh, tapi Yokomina tra percaya sa bisa pakai itu.”
“Sa tra bilang begitu…” Yokomina menimpali. “Sa cuma takut dia bikin rusak itu barang.”
Agnes tersenyum. Diraihnya bahu Yokomina dengan sedikit elusan. “Nggak apa-apa. Semua karena kecerobohan saya. Sebelumnya saya malah sudah pasrah jika Tablet itu hilang atau rusak. Hanya saja saya sedikit cemas, karena semua data dan tulisan saya ada di dalamnya. Kalau sampai hilang sia-sia kerjaan saya di sini. Untung kalian masih berbaik hati mau mengantarkannya kembali.”
“Tentu saja. Karena itu barang bukan pu kami!” Melianus segera mengeluarkan kotak papan berkaca dari dalam tas. Dia simpan hati-hati sekali ke atas meja. “Sa temukan dekat gerbang sekolah. Tertinggal bersama map ini.”
“Ah, iya betul. Sekali lagi terima kasih, ya!” Senyum Agnes mengembang lepas. Diraihnya Tablet itu kemudian dilap bagian layarnya dengan halus. “Ah, saya mungkin tak akan menemukan Tablet saya lagi kalau ini terjadi di Jakarta.”