Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan dengan Sahabat

28 Desember 2010   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12934618371061211664

[caption id="attachment_82017" align="alignnone" width="475" caption=""][/caption]

Siang ini saya bertemu dengan seorang sahabat lama, Afrizal Ahmad Lubis, pengusaha muda sukses sekaligus anggota DPRD di daerah asalnya. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja saat dia hendak membeli koran, di sebuah sudut jalan di kota Bandung. Tentu saja dia berada dari balik jendela mobilnya, dan memerintahkan sang sopir untuk membelikannya. Saya kira ini perjalanan tidak resminya, karena saya cuma melihat dia seorang diri di jok belakang mobil.

“Dayat?” begitulah ucapannya dibarengi ekspresi kaget bercampur girang saat tatapannya menemukan raut saya. Mobil pun segera berhenti dan keluarlah dia dari pintu samping.

Saya percaya, bahkan untuk seorang sahabat, wajah dan tubuh saya akan sulit dikenali setelah lebih dari 10 tahun. Saya jauh lebih kurus, kuyu dan terlihat sangat tua dari usia sesungguhnya. Afrizal atau saya sering memanggilnya Izal saat sama-sama kuliah di Bandung dulu pasti ragu mendapatkan sahabatnya seperti sekarang. Apalagi kebetulan saya sedang memakai kaos lusuh dan topi yang hampir menutupi sebagian wajah saya.

“Hidayat Akbar kan?” yakinnya lagi setengah memajukan kepalanya.

Kecuali lebih gemuk dan terawat, wajahnya sama sekali tidak berubah. Rambutnya masih ikal pendek, dengan kontur muka yang tegas tipikal orang batak. Alis tebalnya seperti payung yang mengokohkan matanya yang tajam. Hidungnya memang termasuk mancung dibanding kebanyakan mahasiswa asal parahiangan yang terlihat lebih pesek. Dan yang pasti saya masih menemukan senyum khasnya yang benar-benar jujur mengekspresikan perasaannya. Ini senyum yang sama saat dia memintaku dikenalkan pada Nenden Mulyasari, mahasiswi Farmasi di kampus sebelah. Saya mengenalnya karena dia adalah teman saya sejak masa sekolah dasar. Seorang wanita yang teduh dan anggun.

“Kau mau janjikan aku apa jika aku kenalkan nanti?” tanyaku saat itu.

“Apa sajalah yang kau mau!” Ah, tentu saja dia berani mengatakan itu, bahkan jika saya meminta dia melunasi uang semesteran pun pasti dia akan menyanggupinya. Dia berasal dari keluarga kaya. Orang tuanya mempunyai kebun kelapa sawit di Riau. Kuliah di rantau baginya bukan sebuah jalan untuk mendapatkan bekal agar bisa menjadi kaya seperti pikiran kebanyakan mahasiswa disini. Dengan kuliah atau tidak dia tetap jadi satu-satunya orang yang akan meneruskan usaha perkebunan ayahnya.

“Aku belum membuat tugas Perundang-undangan Daerah. Buatkan saja itu.”

“Dayat...Dayat! Kenapa kau selalu malas membuat tugas,” kernyitnya tegas. “Heran aku! Kau sama sekali tidak bodoh. Nilai-nilaimu makin baik belakangan ini. Itulah mengapa kita berani memilihmu jadi ketua Senat.”

“Aku terlalu sibuk Zal! Waktuku banyak tersita,” saya berdalih. Dia tampak tidak setuju meski sama sekali tidak dia ungkapkan “Bagaimana? Masih mau aku kenalkan pada Nenden tidak?”

Dia menarik nafas dalam. Sesungguhnya dia memang tidak suka membodohi temannya dengan cara seperti itu, tapi Nenden seperti mampu memenangkan pergulatan di batinnya. “Yah jadilah! Tapi cukup untuk sekali ini saja! Ah ya, bisakah kau ajarkan aku sedikit bahasa sunda?”

Dan sore itu selain saya tidak perlu mengerjakan tugas kuliah, saya bisa makan gratis.

“Aku Izal. Kita satu fakultas dulu!” Suaranya lebih lepas keluar, seperti ingin mengguncangkan ingatan saya padanya. Meski sesungguhnya itu tidak perlu. Dia cukup terkenal, wajah dan beritanya sering saya lihat di koran-koran. Dia politisi muda yang berhasil mengungkap kasus korupsi besar-besaran di daerahnya. Memberikan kritisi yang pedas pada kebijakan Pemda. Dan saya dengar dengan keberaniannya itu dia akan segera ditarik ke pusat oleh partainya.

Yah, karakter itulah yang tetap dia pertahankan sampai sekarang. Saya ingat betapa dia tidak mau memadamkan sifat kritisnya itu saat kami berhasil mendapatkan deal dengan pihak dekanat untuk sejumlah kebijakan tentang kenaikan uang semester dan transparansi pembelanjaan keuangan Fakultas.

“Ini belum selesai!” tegasnya ketika kami keluar dari gedung Dekanat.

“Tidak akan pernah selesai, Zal!” balasku kemudian. “Kita berhenti di titik yang paling realistis. Dan sejauh ini kita sudah berhasil.”

“Apanya yang berhasil? Kita ini mahasiswa Yat, bukan pedagang. Kita tidak melakukan tawar-menawar.”

Saya menatapnya lekat. Melihatnya saat seperti itu membuat saya sama sekali tidak mengenalinya. Jarak antara sikap kritis dan realitisnya seolah sama jauhnya dengan kata sahabat dan musuh. Dia seperti bukan seorang teman yang biasa berbagi kasur dan meminjami pakaian.

“Kau tau resikonya jika kita terus maju seperti yang kau inginkan?” tanya saya pedas.
“Untukmu pasti bukan suatu masalah. Kau bisa pulang ke kampungmu dan menjadi saudagar besar disana. Sementara kami tidak bisa berbuat apa pun kecuali penyesalan jika kita sampai dikeluarkan!”

Entah ucapan saya yang mana yang dia rasa salah, tapi dia seperti begitu tersinggung. “Kau sudah berjanji untuk tidak mengatakan hal itu lagi Yat! Apakah aku telah melakukan dosa dan kesalahan terhadap kalian karena terlahir dari keluarga kaya yang sama sekali tidak pernah aku pilih? Karena kita tidak sedang membicarakan itu. Kita sedang membicarakan kebenaran dan keadilan.”

Dia mendekati dan mendorong saya hingga mundur beberapa langkah. Teman-teman yang melihat ini segera mendekati kami untuk coba melerai dan menenangkan. Tapi terlambat. Satu pukulan telah saya layangkan di wajahnya yang membuatnya terjerembab.

Entah berapa bulan sejak kejadian itu kami baru bisa bertegur sapa.

“Benar kan ini kamu, Dayat? Kamu tidak lupa pada saya?” tanyanya dengan senyum yang lebih sumringah. Tangannya yang sudah berada di pundak saya sejak tadi seakan ingin membuat saya lebih nyaman mengungkapkan jati diri saya. Tapi belum sempat bereaksi dia sudah berkata lagi. “Ah, aku tau bekas luka di kepalamu”

Tanpa sadar tangan saya segera meraba dahi sebelah kiri. Yah memang ada bekas luka disana. Mungkin juga bukan saja sekedar luka fisik. Ini oleh-oleh dari peristiwa berdarah pertengahan bulan Mei sepuluh tahun yang lalu, saat rombongan mahasiswa kampus kami hendak bergabung dengan kelompok mahasiswa kampus lain untuk melakukan demonstrasi besar-besaran atas meninggalnya teman-teman kami di Jakarta satu hari sebelumnya. Saat itu suasana begitu mencekam. Ratusan mahasiswa tumpah ruah di ujung gerbang kampus kami, terhambat oleh barikade aparat gabungan Polisi dan Tentara yang berbersenjata lengkap. Saya berada paling depan bersama beberapa Ketua Senat dari berbagai Fakultas tengah melakukan negosiasi agar kelompok kami bisa bergabung dengan mahasiswa lainnya. Teriakan, yel-yel dan nyanyian menyepi saat negosiasi berlangsung. Lalu entah siapa yang memulai, tiba-tiba terjadi keributan di sebelah barat. Seorang polisi terjatuh setelah mendapatkan hantaman keras di kepalanya. Kekacauan dimulai. Mahasiswa dan petugas terlibat dorong-dorongan di barisan depan. Teriakan salah seorang pemimpin demonstrasi untuk menghentikan aksi dorong tak tergubris. Bahkan kemudian malah berlanjut pada aksi saling pukul antara petugas yang menggunakan helm, pentungan rotan dan tameng dengan kami para mahasiswa yang tidak dilengkapi apa pun.

Lima menit kemudian suasana semakin kacau dan tak terkendali. Batu-batu melayang diatas kepala. Polisi dan tentara makin berani mengejar mahasiswa yang berpencar mundur. Beberapa diantaranya terjatuh dan dipukuli. Sebagian mahasiswa ada yang masuk ke rumah-rumah makan dan pekarangan orang mencari perlindungan. Saya sendiri seperti tidak sadar saat tangan saya ditarik sorang polisi. Tapi mata saya masih mampu melihat seorang mahasiswa diseret dua petugas dengan wajah yang berdarah, dia Izal sahabat saya. Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba saya berhasil melepaskan diri dari cengkraman polisi dan berlari menghampiri Izal. Satu tendangan kaki saya mendarat di perut salah satu petugas yang menyeretnya, di saat yang sama tangan saya berhasil menarik tubuh Izal lepas dari genggaman petugas lainnya.

“Lari ke gerbang!” perintah saya padanya, dibarengi tatapan yang tidak akan pernah saya lupakan. Terima kasih, bangga, atau lainnya. Entahlah, yang jelas itu tak mampu terucapkan dari tubuhnya yang tampak tak berdaya.

Belum sempat saya melihat dia aman berlari ke belakang menuju gerbang kampus, kepala saya sudah dihamtam popor senapan dari petugas yang saya tendang tadi. Saya terjatuh, pingsan.

Kesadaran saya baru kembali saat mata saya yang terbuka perlahan menemukan wajah Izal yang tersenyum sendu. “Semuanya baik-baik saja.”

Saya tidak tahu apa yang dia maksud dengan baik-baik saja, sebab seluruh badan saya terasa sakit, terutama kepala saya.

“Jangan dipegang dulu!” lontar Nenden yang juga berada disitu, di sebuah tenda darurat yang didirikan mahasiswa Kedokteran. Entah ini akibat benturan di kepala saya atau bukan, tapi saya seperti melihat bidadari cantik bersemayam di tubuh Nenden. Pandangan saya terkunci oleh senyum dan wajah teduhnya saat menempelkan perban di kepala saya. Begitu penuh akan kasih dan perhatian yang tulus. Sesuatu yang tidak pernah saya lihat selama lebih dari lima belas tahun mengenalnya. Seperti ada yang beguncang di hati saya, entah kenapa.

“Ini akan cepat sembuh,” tambahnya. Kemudian keduanya tersenyum hampir bersamaan.

Saya membalasnya dengan senyum yang sama damainya. ”Semuanya kacau ya?”

“Ya, delapan teman-teman kita terluka. Kamu yang paling parah, setelah ini kita akan membawamu ke Rumah Sakit”

“Oh, begitu?”

“Yat, saya belum mengucapkan terima kasih padamu. Sekaligus minta maaf.”

“Maaf kenapa?”

Izal menarik nafas perlahan dan mengakhirinya dengan ucapan “saya yang pertama kali memukul Polisi di depan itu sebelum kekacauan terjadi. Tapi itu karena dia memprovokasi saya terlebih dahulu.”

Sekarang giliran saya yang menarik nafas dalam-dalam. Ah, entahlah Zal, semua sudah terjadi, tidak ada perlunya pula kau meminta maaf seperti itu. Pada saat ini semuanya terlihat kacau. Negara ini memang sedang kacau. Kita sudah jadi bagian dari kekacauan yang tengah berlangsung. Dan khusus bagi saya ini terasa sama kacaunya dengan perasan dadakan saya saat melihat tangan Nenden menariknya keluar dengan lembut. Seperti cemburu yang tak beralasan. Ah, andai saya tidak mengenalkannya dulu.

Beberapa menit kemudian saya dibawa ke Rumah Sakit terdekat dengan kepala yang tetap sakit bahkan sampai seminggu setelahnya, saat reformasi pecah dan penguasa rezim runtuh.

“Ini benar Dayat kan?” sekali lagi dia berusaha meyakinkan identitas saya.

Ah, apa yang ingin kau ketahui dari Dayat saat ini Zal. Karena sepertinya kau tidak mempunyai hasrat yang sama besarnya saat satu tahun setelah tragedi berdarah itu. Ketika kau bersama-sama dengan teman lainnya menyanyikan Hymne Universitas kita di dalam aula besar dan keluar dengan jubah hitam dan topi konyol sementara saya cuma menunggu di luar menyambutmu bangga, sedikit sesak bahkan mungkin juga benci. Yah, saya benci perpisahan, saya juga tidak suka ditinggalkan. Dan itu sudah terjadi saat dia mulai sibuk membuat skripsi sedangkan saya masih berkutat pada mata kuliah yang mesti diulang plus tambahan tugas-tugas yang sepertinya tidak sanggup lagi saya kerjakan. Apalagi belakangan itu kepala saya sering pusing tiba-tiba akibat benturan senapan dulu. Saya sendiri tidak terlalu menganggapnya serius sampai saya sadar saya tinggal menyisakan dua semester lagi.

“Giliran kamu wisuda gelombang berikutnya!” girangnya disela pelukan keluarga dan kerabatnya serta makhluk manis yang baru saja lepas dari dekapannya. Nenden Mulyasari yang empat bulan lagi bakal jadi Ny. Lubis. Ah, entahlah kenapa saya tidak begitu rela dengan perpisahan yang satu ini. Semester depan begitu kuliahnya selesai dia akan diboyong ke kampung halaman Izal di Riau. Dan itu memang terjadi, Izal sahabat saya selama 5 tahun dan Nenden teman dari masa kecil hilang dari kehidupan saya di sebuah bandara.

“Tetap terus berjuang, teman!” ucapnya di akhir rangkulan dan jabatan perpisahan. Saya tahu dia tengah menegarkan diri begitu juga dengan saya.

“Jaga kesahatan!” tambah istrinya yang begitu terlihat pilu. Saya mengangguk sambil tersenyum. Anggukan untuk semua harapan mereka, anggukan untuk rasa salut saya terhadap kemenangan perpisahan-perpisahan ini.

“Aku akan selalu menelponmu juga mengirimu surat!” janjinya sebelum benar-benar hilang di pintu keberangkatan.

Yah, mereka memang menelponku dan mengirimiku surat. Namun tak ada satupun yang saya balas. Saya sudah kehilangan hasrat. Efek perpisahan dan ketertinggalan itu membuat saya kehilangan teman berjuang dan medan untuk memperjuangkan sesuatu. Tidak ada lagi orang yang mengenal saya sebagai mahasiswa yang berani dan kritis terhadap jaman. Sejarah telah melemparkan saya ke dalam ruang yang mati dan sendiri. Hingga sisa waktu ini saya habiskan hanya untuk membangkitkan kenangan lama di hidup saya yang mulai berantakan. Keadaan tidak berdaya ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan pihak Dekanat dan Rektorat untuk memberikan masa perpanjangan kuliah saya. Dua bulan setelah batas akhir semester, surat Drop Out pun saya terima.

Sempurnalah kehancuran ini. Enam tahun yang berakhir dengan sia-sia.

“Saya pikir Bapak ini Dayat sahabat saya dulu,” ungkapnya mulai melemah ketika dia belum juga mendapatkan jawaban saya. “Saya sengaja kemari dari perjalan Dinas saya di Jakarta. Berharap bertemu dengan teman-teman kuliah saya dulu. Terutama Hidayat Akbar. Dia sahabat saya yang paling mempengaruhi hidup saya. Dia yang mengenalkan saya pada seorang gadis yang menjadi belahan hidup saya dan keluarga. Dia yang sering mengingatkan saya atas keseimbangan ide dan realita. Dia yang mau berkorban menyelamatkan saya saat perjuangan reformasi dulu. Dia orang pertama yang saya ingat dan ingin saya ketahui keadaannya. Tapi saya tidak pernah mendapatkannya.”

Nyaris saja saya terbawa perasaannya saat mengatakan itu semua.

“Dua bulan lalu saat saya kemari, saya mengunjungi kerabatnya di kampung. Mereka menceritakan keadaan dirinya sekarang. Saya sangat prihatin. Tapi percayalah, keadaan tidak menyurutkan arti persahabatan. Saya tidak ingin membiarkannya hidup dalam kesusahan, seperti dia yang tidak meninggalkan saya dalam kesulitan. Saya ingin menjadi sahabat terdekatnya dikala dia susah.”

Saya mulai sedikit bereaksi saat matanya yang mulai merah itu kerap berkedip.

“Dia pasti sangat berarti buat Bapak?” selaku dipenuhi deheman di tiap katanya.

“Ya. Dan saya juga ingin membuat diri saya berarti buatnya. Saya ingin mempercayakan pada seseorang untuk memimpin cabang perusahaan saya disini. Dan cuma dia yang saya ingat. Saya tahu dia tidak suka pada kebaikan yang datang dari balas budi. Tapi ini bukan balas budi. Ini sesuatu yang diperbuat seseorang terhadap sahabatnya.”

Saya tertegun. Sebuah tawaran memimpin perusahaan. Itu pasti bisa mengubah keadaan saya saat ini juga masa depan saya.

“Jadi Bapak bukan saudara Dayat yang saya maksud?”

Saya menatap matanya yang pasrah. Seolah sudah menjadi sebuah layar bioskop yang menayangkan kilasan hidup kami. Tentang persahabatan, perjuangan, kehidupan, derita dan duka, bahagia dan keberhasilan, cinta dan kegagalan. Saya seperti melihat diri saya sendiri, dirinya, dan kenyataan hidup antara saya dan dia, mungkin juga Nenden. Sampai semuanya terhenti pada satu pilihan yang ditawarkan oleh helaan nafasnya. Menjadi Dayat masa lalu atau menjadi Dayat saat ini.

“Bukan, Pak. Saya Asep Komarudin penjaga kios koran di sini.” Ya, saya sudah menentukan pilihannya.

“Begitu ya...” kata-kata yang penuh dengan ketidakpercayaan dan kental akan kekecewaan. Kelesuan mengalir di tubuhnya. Saya tahu dia sudah mengenali saya sejak tadi. Dia cuma ingin mendengar satu kejujuran dari saya, dan dia tidak mendapatkan itu. “Baiklah, mungkin lain kali saya masih sempat bertemu dengannya.”

Kemudian dia memberikan uang untuk dua buah koran yang dibelinya. Dibarengi dengan tatapan dan senyumnya yang lesu, dia kembali masuk ke mobilnya setelah mengucapkan terima kasih. Saya seperti telah memberinya oleh-oleh kekecewaan untuk melengkapi kenangan tentang saya di kehidupan masa depannya.

Selamat jalan teman. Maafkan saya telah mengakhiri persahabatan ini. Sejauh ini saya sudah berhasil berhenti membencimu karena telah merusak sebagian otak saya yang sakitnya terus terasa sampai sekarang. Berhenti memikirkan pengkhianatan karena telah memiliki wanita indah yang sempat mengguncangkan hati saya. Dan saya tak ingin hidup dalam kebencian serupa itu.

Ya, begitulah pertemuan saya dengan seorang sahabat di siang itu. Semuanya makin meyakinkan saya untuk terus hidup dan bertahan seperti sekarang tanpa kenangan-kenangan masa lalu. Karena selama ini hal itu cukup berhasil. Semoga saja saya tidak mengalami lain kali untuk pertemuan-pertemuan lainnya.

*****
Cirebon, cerpen lama yang gagal tayang media
*gambar hasil adaptasi dari www.fickr.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun