Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan dengan Sahabat

28 Desember 2010   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12934618371061211664

Dia menarik nafas dalam. Sesungguhnya dia memang tidak suka membodohi temannya dengan cara seperti itu, tapi Nenden seperti mampu memenangkan pergulatan di batinnya. “Yah jadilah! Tapi cukup untuk sekali ini saja! Ah ya, bisakah kau ajarkan aku sedikit bahasa sunda?”

Dan sore itu selain saya tidak perlu mengerjakan tugas kuliah, saya bisa makan gratis.

“Aku Izal. Kita satu fakultas dulu!” Suaranya lebih lepas keluar, seperti ingin mengguncangkan ingatan saya padanya. Meski sesungguhnya itu tidak perlu. Dia cukup terkenal, wajah dan beritanya sering saya lihat di koran-koran. Dia politisi muda yang berhasil mengungkap kasus korupsi besar-besaran di daerahnya. Memberikan kritisi yang pedas pada kebijakan Pemda. Dan saya dengar dengan keberaniannya itu dia akan segera ditarik ke pusat oleh partainya.

Yah, karakter itulah yang tetap dia pertahankan sampai sekarang. Saya ingat betapa dia tidak mau memadamkan sifat kritisnya itu saat kami berhasil mendapatkan deal dengan pihak dekanat untuk sejumlah kebijakan tentang kenaikan uang semester dan transparansi pembelanjaan keuangan Fakultas.

“Ini belum selesai!” tegasnya ketika kami keluar dari gedung Dekanat.

“Tidak akan pernah selesai, Zal!” balasku kemudian. “Kita berhenti di titik yang paling realistis. Dan sejauh ini kita sudah berhasil.”

“Apanya yang berhasil? Kita ini mahasiswa Yat, bukan pedagang. Kita tidak melakukan tawar-menawar.”

Saya menatapnya lekat. Melihatnya saat seperti itu membuat saya sama sekali tidak mengenalinya. Jarak antara sikap kritis dan realitisnya seolah sama jauhnya dengan kata sahabat dan musuh. Dia seperti bukan seorang teman yang biasa berbagi kasur dan meminjami pakaian.

“Kau tau resikonya jika kita terus maju seperti yang kau inginkan?” tanya saya pedas.
“Untukmu pasti bukan suatu masalah. Kau bisa pulang ke kampungmu dan menjadi saudagar besar disana. Sementara kami tidak bisa berbuat apa pun kecuali penyesalan jika kita sampai dikeluarkan!”

Entah ucapan saya yang mana yang dia rasa salah, tapi dia seperti begitu tersinggung. “Kau sudah berjanji untuk tidak mengatakan hal itu lagi Yat! Apakah aku telah melakukan dosa dan kesalahan terhadap kalian karena terlahir dari keluarga kaya yang sama sekali tidak pernah aku pilih? Karena kita tidak sedang membicarakan itu. Kita sedang membicarakan kebenaran dan keadilan.”

Dia mendekati dan mendorong saya hingga mundur beberapa langkah. Teman-teman yang melihat ini segera mendekati kami untuk coba melerai dan menenangkan. Tapi terlambat. Satu pukulan telah saya layangkan di wajahnya yang membuatnya terjerembab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun