Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan dengan Sahabat

28 Desember 2010   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12934618371061211664

“Ya, delapan teman-teman kita terluka. Kamu yang paling parah, setelah ini kita akan membawamu ke Rumah Sakit”

“Oh, begitu?”

“Yat, saya belum mengucapkan terima kasih padamu. Sekaligus minta maaf.”

“Maaf kenapa?”

Izal menarik nafas perlahan dan mengakhirinya dengan ucapan “saya yang pertama kali memukul Polisi di depan itu sebelum kekacauan terjadi. Tapi itu karena dia memprovokasi saya terlebih dahulu.”

Sekarang giliran saya yang menarik nafas dalam-dalam. Ah, entahlah Zal, semua sudah terjadi, tidak ada perlunya pula kau meminta maaf seperti itu. Pada saat ini semuanya terlihat kacau. Negara ini memang sedang kacau. Kita sudah jadi bagian dari kekacauan yang tengah berlangsung. Dan khusus bagi saya ini terasa sama kacaunya dengan perasan dadakan saya saat melihat tangan Nenden menariknya keluar dengan lembut. Seperti cemburu yang tak beralasan. Ah, andai saya tidak mengenalkannya dulu.

Beberapa menit kemudian saya dibawa ke Rumah Sakit terdekat dengan kepala yang tetap sakit bahkan sampai seminggu setelahnya, saat reformasi pecah dan penguasa rezim runtuh.

“Ini benar Dayat kan?” sekali lagi dia berusaha meyakinkan identitas saya.

Ah, apa yang ingin kau ketahui dari Dayat saat ini Zal. Karena sepertinya kau tidak mempunyai hasrat yang sama besarnya saat satu tahun setelah tragedi berdarah itu. Ketika kau bersama-sama dengan teman lainnya menyanyikan Hymne Universitas kita di dalam aula besar dan keluar dengan jubah hitam dan topi konyol sementara saya cuma menunggu di luar menyambutmu bangga, sedikit sesak bahkan mungkin juga benci. Yah, saya benci perpisahan, saya juga tidak suka ditinggalkan. Dan itu sudah terjadi saat dia mulai sibuk membuat skripsi sedangkan saya masih berkutat pada mata kuliah yang mesti diulang plus tambahan tugas-tugas yang sepertinya tidak sanggup lagi saya kerjakan. Apalagi belakangan itu kepala saya sering pusing tiba-tiba akibat benturan senapan dulu. Saya sendiri tidak terlalu menganggapnya serius sampai saya sadar saya tinggal menyisakan dua semester lagi.

“Giliran kamu wisuda gelombang berikutnya!” girangnya disela pelukan keluarga dan kerabatnya serta makhluk manis yang baru saja lepas dari dekapannya. Nenden Mulyasari yang empat bulan lagi bakal jadi Ny. Lubis. Ah, entahlah kenapa saya tidak begitu rela dengan perpisahan yang satu ini. Semester depan begitu kuliahnya selesai dia akan diboyong ke kampung halaman Izal di Riau. Dan itu memang terjadi, Izal sahabat saya selama 5 tahun dan Nenden teman dari masa kecil hilang dari kehidupan saya di sebuah bandara.

“Tetap terus berjuang, teman!” ucapnya di akhir rangkulan dan jabatan perpisahan. Saya tahu dia tengah menegarkan diri begitu juga dengan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun