Entah berapa bulan sejak kejadian itu kami baru bisa bertegur sapa.
“Benar kan ini kamu, Dayat? Kamu tidak lupa pada saya?” tanyanya dengan senyum yang lebih sumringah. Tangannya yang sudah berada di pundak saya sejak tadi seakan ingin membuat saya lebih nyaman mengungkapkan jati diri saya. Tapi belum sempat bereaksi dia sudah berkata lagi. “Ah, aku tau bekas luka di kepalamu”
Tanpa sadar tangan saya segera meraba dahi sebelah kiri. Yah memang ada bekas luka disana. Mungkin juga bukan saja sekedar luka fisik. Ini oleh-oleh dari peristiwa berdarah pertengahan bulan Mei sepuluh tahun yang lalu, saat rombongan mahasiswa kampus kami hendak bergabung dengan kelompok mahasiswa kampus lain untuk melakukan demonstrasi besar-besaran atas meninggalnya teman-teman kami di Jakarta satu hari sebelumnya. Saat itu suasana begitu mencekam. Ratusan mahasiswa tumpah ruah di ujung gerbang kampus kami, terhambat oleh barikade aparat gabungan Polisi dan Tentara yang berbersenjata lengkap. Saya berada paling depan bersama beberapa Ketua Senat dari berbagai Fakultas tengah melakukan negosiasi agar kelompok kami bisa bergabung dengan mahasiswa lainnya. Teriakan, yel-yel dan nyanyian menyepi saat negosiasi berlangsung. Lalu entah siapa yang memulai, tiba-tiba terjadi keributan di sebelah barat. Seorang polisi terjatuh setelah mendapatkan hantaman keras di kepalanya. Kekacauan dimulai. Mahasiswa dan petugas terlibat dorong-dorongan di barisan depan. Teriakan salah seorang pemimpin demonstrasi untuk menghentikan aksi dorong tak tergubris. Bahkan kemudian malah berlanjut pada aksi saling pukul antara petugas yang menggunakan helm, pentungan rotan dan tameng dengan kami para mahasiswa yang tidak dilengkapi apa pun.
Lima menit kemudian suasana semakin kacau dan tak terkendali. Batu-batu melayang diatas kepala. Polisi dan tentara makin berani mengejar mahasiswa yang berpencar mundur. Beberapa diantaranya terjatuh dan dipukuli. Sebagian mahasiswa ada yang masuk ke rumah-rumah makan dan pekarangan orang mencari perlindungan. Saya sendiri seperti tidak sadar saat tangan saya ditarik sorang polisi. Tapi mata saya masih mampu melihat seorang mahasiswa diseret dua petugas dengan wajah yang berdarah, dia Izal sahabat saya. Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba saya berhasil melepaskan diri dari cengkraman polisi dan berlari menghampiri Izal. Satu tendangan kaki saya mendarat di perut salah satu petugas yang menyeretnya, di saat yang sama tangan saya berhasil menarik tubuh Izal lepas dari genggaman petugas lainnya.
“Lari ke gerbang!” perintah saya padanya, dibarengi tatapan yang tidak akan pernah saya lupakan. Terima kasih, bangga, atau lainnya. Entahlah, yang jelas itu tak mampu terucapkan dari tubuhnya yang tampak tak berdaya.
Belum sempat saya melihat dia aman berlari ke belakang menuju gerbang kampus, kepala saya sudah dihamtam popor senapan dari petugas yang saya tendang tadi. Saya terjatuh, pingsan.
Kesadaran saya baru kembali saat mata saya yang terbuka perlahan menemukan wajah Izal yang tersenyum sendu. “Semuanya baik-baik saja.”
Saya tidak tahu apa yang dia maksud dengan baik-baik saja, sebab seluruh badan saya terasa sakit, terutama kepala saya.
“Jangan dipegang dulu!” lontar Nenden yang juga berada disitu, di sebuah tenda darurat yang didirikan mahasiswa Kedokteran. Entah ini akibat benturan di kepala saya atau bukan, tapi saya seperti melihat bidadari cantik bersemayam di tubuh Nenden. Pandangan saya terkunci oleh senyum dan wajah teduhnya saat menempelkan perban di kepala saya. Begitu penuh akan kasih dan perhatian yang tulus. Sesuatu yang tidak pernah saya lihat selama lebih dari lima belas tahun mengenalnya. Seperti ada yang beguncang di hati saya, entah kenapa.
“Ini akan cepat sembuh,” tambahnya. Kemudian keduanya tersenyum hampir bersamaan.
Saya membalasnya dengan senyum yang sama damainya. ”Semuanya kacau ya?”