Â
CERPEN: Destinasi Terakhir
Bogor, 19 Juni 2023
Â
Semua itu sudah lama berlalu, tapi ketakutan itu masih mencengkeram pundak Samil, menyuburkan belantara kecemasan di kepalanya. Samil banyak menghabiskan waktunya di atas kursi kayu dengan matanya yang terpejam sambil membicarakan tentang sepotong senja yang sedang mencair di sepertiga malam. Bibir Samil selalu tidak banyak bergerak, hanya bola matanya saja yang banyak bergerak mengikuti huruf-huruf yang berguguran dari permukaan lembar-lembar kertas yang sering dipegangnya itu.
Â
Di akhir tanda tamatnya tersemat, saat di mana hikayat baru saja berangkat, Samil tetiba berada di sebuah awal perjalan panjang yang hendak mengantarkannya menuju entah. Ia terperangah berada di mulut gerbang sebuah stasiun. Lantas ia melangkah saja dengan perlahan menuju loket yang menyediakan beberapa destinasi. Lalu ia memesan satu tiket untuk dirinya sendiri. Dia datang bersama senja, dan harus menunggu samapi malam untuk menunggu kereta yang akan menjemputnya tiba. Saking lamanya malam datang, senja yang bersamanya itu sampai menetes-netes ke lantai stasiun yang tak dihiraukan seorang pun, tenggelam dalam keramaian. Di remang lorong stasiun Samil celingak-celinguk di antara banyak turis spiritual yang lalu lalang sedang berpetualang dalam sepotong dunia yang dibatasi oleh beberapa lapisan.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya kereta itu datang juga untuk membawa Samil ke tujuan akhir yang tak seorang pun tahu. Ini akan menjadi perjalan panjang yang menyenangkan, pikir Samil, sambil menaikkan langkahnya ke dalam pintu gerbong kereta yang akan membawanya menembus ribuan kilometer.
Dalam perjalanan ribuan kilometer menuju destinasi terakhir, ia banyak menemukan serpihan pikiran yang merayu bagai cangkir-cangkir berisi anggur yang manis dan lezat yang menunda perjalanannya menuju destinasi terakhirnya. Dalam gerbong dengan jendela besar yang menampilkan keindahan dunia yang luar biasa di luar sana, rasa-rasanya ingin sekali Samil singgahi barang sejenak. Berhenti barang sebentar barangkali, untuk sekadar menikmati keindahan yang tercipta di dunia, yang mungkin memang diperuntukkan untuk umat manusia, pikirnya. Tak apalah ngaret sampe tujuan, itung-itung liburan saja, pikirnya lagi.
Tak kuasa menahan buah-buah pikiran yang mengembara dalam semesta imajinasi dan keinginan-keinginannya yang menyeruak keluar, Samil melangkahkan saja kakinya dari gerbong kereta dan segera menjejakkan langkahnya di sebuah stasiun ketika kereta berhenti di bawah balutan malam yang hangat. Yang kebetulan malam itu adalah malam Natal yang hangat. Samil turun dari gerbong kereta, keluar stasiun barang sejenak dan memasuki sebuah kota. Pada malam itu, lonceng gereja berkeloneng menggema di seantero kota yang ia singgahi. Â Dengan sayu-sayu ia mendengar suara ramai-ramai orang sedang melantunkan "Malam Kudus" di sudut-sudut kota itu, kota yang bernama Amor Tivanak. Sebuah kota kecil di bagian perairan utara yang indah dengan banyak bangunan-bangunan unik dan estetik. Â
Pada malam Natal yang begitu hangat itu, di kota Amor Tivanak itu, Samil melangkahkan kakinya sepanjang jalan sambil menafsirkan pikiran tentang makna kehidupan dan pengembaraan. Ia tidak akan sampai pada ruang pikir semacam itu jika tidak berada dalam perjalanannya menuju destinasi terakhir.