Mohon tunggu...
Ramadhana Bagus
Ramadhana Bagus Mohon Tunggu... Freelancer - Observer

Mencoba merubah hati manusia melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fly Higher

14 September 2019   12:21 Diperbarui: 14 September 2019   22:01 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku membuka pintu rumah, lalu menutupnya secepat mungkin. Mataku melirik kanan-kiri, mencari sa---itu dia. Sapu yang tersandar di pojok, dekat rak sepatu. Rambut-rambutnya sudah berubah warna, sedikit kecoklatan dengan ujung yang bercabang dua, tiga atau ratusan malah.

Sapu ini yang selalu menemaniku tiap pagi, setidaknya sudah satu bulan ini. Sejak Ibuku sudah tidak bisa menyapu halaman di pagi hari. Ibuku sedang sakit, asmanya kambuh, dia sedang terbaring di kamarnya sekarang. Maksudku, jangan salah sangka. Alhamdulillah keluargaku adalah keluarga berkecukupan, tidak kaya namun tidak juga miskin. Sehingga untuk penyakit ibu, obat tidak menjadi masalah.

Aku mengenggam erat sapu yang beberapa detik lalu aku ambil. Sekarang pekerjaan ini jadi tugasku. Menyapu halaman, mengepel, menyiram tanaman dan segala tetek bengek urusan lainnya. Tidak masalah juga bagiku, toh hanya pekerjaan ringan.

Kalian mau tahu? Jujur, yang sebenarnya jadi masalah adalah---sebentar. Aku membenarkan maskerku yang talinya kendor. Ini masker ketiga dalam sebulan.

Sudah tahu? Kalau kalian menebak, kalian (mungkin) benar. Masalah sebenarnya ada pada kabut asap yang sedang melanda kotaku sejak sebulan lalu. Kabut asap ini sudah menjadi acara tahunan yang pasti akan datang pada pertengahan tahun. Aku sudah terbiasa dengan kabut asap ini, kecuali ibuku yang mengidap penyakit asma, pasti akan tersiksa selama kabut asap ini datang.

Jangka waktunya? Tergantung, bisa saja hanya beberapa minggu, namun sempat dua bulan lebih kabut asap ini tidak pernah berhenti. Gelar Indonesia sebagai pemilik paru-paru dunia aku rasa sudah siap dicabut dan akan diganti dengan "Negara penyumbang asap dunia".

Bagaimana? Lebih keren menurut kalian?

Aku sudah selesai menyapu halaman. Tanganku juga sudah meraih kain pel. Tapi tiba-tiba gawaiku berdering.

"Ya, kali ini kenapa Ris?"

"Kali ini pasti berhasil! Ayo merapat, semua sudah siap!"

"Kali ini pasti meledak maksudmu?"

"Tidak! Kali ini berh---!"

"Kali ini yang lalu nyawa kita semua hampir melayang Ris. Untung saja ada fire extinguisher. Kalau tidak tamat kita semua."

Aku bisa mendengar suara keluhan di sana.

"Aku tidak akan datang Ris."

"Oi ayolah! Penemuan yang kali ini sudah dilakukan revisi besar-besaran! Aku yakin akan berhasil! Kau tentu ingat James Watt! Percobaan ke seribu baru berhasil!" serunya

"Itu Cuma akal-akalan saja, Ris. Tidak mungkin tepat dipercobaan ke seribu."

"Kalau gagal, coba lagi! Jatuh, bangkit lagi! Terbang lebih tinggi!"

"Ibuku sedang sakit, Man. Aku tidak akan datang." Aku memutuskan sambungan. Lalu melempar gawaiku ke sofa ruang tamu.

Aku mengusap peluh di dahi, merebahkan badan sebentar di sofa sebelum kembali melanjutkan mengepel lantai. Memoriku tentang Arman dan teman-temanku kembali muncul sekelebat. Bermula dari omongan asal-asalan, siapa sangka aku, Arman dan teman-teman lain sudah sampai sejauh ini. Kalau saja alat kemarin tidak meledak, mungkin aku sudah buru-buru menyelesaikan tugasku pagi ini, izin pada ibuku, lalu secepat kilat menyambar sepeda pancalku dan mengayuhnya mati-matian ke gudang belakang rumah Arman.

Aku menghembuskan napas berat, yang makin berat dan tidak sentosa untuk bernapas karena asap tebal ini.

"Uhuk..uhukk.."

Itu suara ibu batuk. Aku langsung beranjak dari sofa, menuju dapur untuk mengambil air minum.

"Ibu, ini air minum." Ibuku menyambut segelas air hangat itu dan langsung meneguknya habis.

"Obatnya sudah bu?" tanyaku.

"Sudah nak. Tadi siapa yang telepon?" tanya ibu sambil terbatuk di akhir kalimat.

"Ooh, tadi Arman. Biasalah, ciptaan-ciptaan omong kosong itu."

"Maksudmu alat yang kemarin meledak itu?"

Aku mengangguk. "Iya bu. Alat itu berbahaya. Harusnya mereka sudahi saja, daripada nyawa mereka melayang."

"Tapi kamu masih di sini, kan?" balas ibu sambil tersenyum.

"Eh, maksudnya bu?"

"Maksud ibu, pergilah. Teman-temanmu sudah menunggu."

"Tidak mungkinlah bu, kemarin saja aku nyaris mati."

"Sini, duduk dulu." Tangan ibu meraihku. Menarikku untuk duduk. "Ingat apa kata ibu dulu, kalau kamu malas belajar?"

Aku terdiam sejenak untuk berpikir.

"Jangan main terus nanti kamu jadi anak bodoh?"

Ibu menggeleng. "Bukan. Tapi belajar yang rajin, supaya besar nanti jadi seperti Pak Habibie."

Aku mengangguk-angguk. Tanda setuju.

"Kamu anak yang cerdas, Faris. Kamu dulu sering bermain, sampai kabur dari rumah hanya untuk begadang main ps di rumah tetangga. Ibu masih ingat harus menjewer telingamu untuk pulang ke rumah." Ibu terkekeh. "Tapi kecerdasanmu tidak main-main." Kali ini dia tersenyum, sambil mengusap kepalaku.

"Jangan pernah menyerah, teruslah mencoba. Jatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi dan terbang lebih tinggi!" seru ibu dengan semangat.

Aku menatap wajah ibu. Walaupun guratan keriputnya mulai melebar, ibu tetaplah ibu. Yang selalu menyemangatiku dikala gagal dan terpuruk. Walau dia sendiri sedang sakit, tapi kasih sayangnya tidak pernah berhenti sekalipun.

"Baiklah, kalau itu yang ibu mau---"

"Tidak, bukan ibu yang mau. Tapi kamu yang mau."

Aku tersentak selama beberapa detik. Lalu tidak lama kemudian tersenyum. "Baik, aku izin dulu bu. Ada urusan yang harus diselesaikan."

"Hati-hati nak."

Aku mengangguk. Kemudian mencium tangan ibu dan menyuruhnya untuk kembali beristirahat.

Setelah mengisi ulang gelas dengan air hangat dan menaruhnya di dekat ibu, berganti pakaian dan mengambil tas, aku langsung menyambar sepeda pancalku. Sama seperti yang aku katakan tadi---tidak. Mirip. Bedanya, aku tidak akan mengayuhnya mati-matian.

Kabut asap makin tebal saat aku memasuki jalan raya. Paparan asap hasil pembakaran kendaraan bermotor sukses membuat kabut asap makin tebal, ditambah jarak pandang yang mengecil membuat para pengendara berjalan perlahan, sehingga membuat traffic menjadi macet dan tentunya semakin parah. Jarak pandangku juga mengecil. Demi kesehatan mata, aku bahkan memakai goggles sepeda yang sudah aku miliki sejak dua tahun lalu. Khusus dipakai untuk saat-saat seperti ini.

Rumah Arman tidaklah terlalu jauh. Bersepeda membutuhkan waktu sekitar lima belas menit. Kondisional. Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit apabila dalam keaadaan kabut asap seperti ini. Karena saat kabut asap melanda, butuh kecerdasan dalam mengayuh sepeda, agar asap tidak terlalu banyak masuk ke dalam paru-paru. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan kerja pernapasan.

Tidak masalah. Tahun lalu juga seperti ini. Dua tahun lalu juga seperti ini. Aku sudah terbiasa.

Aku masuk ke halaman rumah Arman. Langsung menuju gudang di halaman belakang melalui jalan kecil di samping rumahnya. Sudah terparkir empat sepeda di depan gudang. Sepertinya semuanya benar-benar datang. Terkecuali diriku.

"Assalamualaykum."

"Berlindung!!"

"Eh? Apa?"

Arman tiba-tiba berseru tepat setelah aku meletakkan langkah pertamaku di gudang. Teman-teman lain dan Arman berlarian mencari tempat berlindung. Aku yang ketularan panik, berlindung di balik meja terdekat.

dor!

Suara ledakan kecil terdengar.

"Eh, tidak terlalu besar ternyata." Kata Arman, mengintip dari balik lemari.

"Hei! Apa itu tadi!" seruku.

Semua orang menoleh ke arahku.

"Whoa! Ini kejutan, Ris! Kukira kau benar tidak akan datang!" Arman memelukku erat. "Ayo kita tidak bisa buang waktu! Akan aku tunjukkan alat yang sudah kita perbaiki, kali ini aku yakin---tidak. Kita yakin akan berhasil."

"Kalian yakin? Apa yang kalian ubah? Dan bagaiamana bisa kalian tetap melanjutkan eksperimen ini?" tanyaku penasaran.

"Ehm. Butuh waktu panjang untuk menjelaskan apa yang kami ubah." Jawab Arman. Teman-teman lain mengangguk bersamaan. "Ingat apa kata Mr. Crack! Hanya anak bangsa sendiri yang dapat diandalkan untuk membangun Indonesia. Tidak mungkin kita mengharapkan dari bangsa lain."

Aku mengangguk, tersenyum kecut. "Kalau sudah masalah semangat, Cuma kau juaranya."

Aku, Arman dan teman-teman lain tertawa dibalik masker, dengan pandangan yang terbatas, ditemani suara raungan alat yang baru saja kami ciptakan, yang kami semua yakin akan mengubah masa depan bangsa ini.

Mengembalikan paru-paru dunia ke tempat yang seharusnya.

Indonesia.

- Azofiyan

   12 September 2019, Tribut untuk Bapak Teknologi, Ilmuwan Cinta, Bacharuddin Jusuf Habibie a.k.a Mr. Crack, di sebuah meja kerja yang berantakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun