"Hati-hati nak."
Aku mengangguk. Kemudian mencium tangan ibu dan menyuruhnya untuk kembali beristirahat.
Setelah mengisi ulang gelas dengan air hangat dan menaruhnya di dekat ibu, berganti pakaian dan mengambil tas, aku langsung menyambar sepeda pancalku. Sama seperti yang aku katakan tadi---tidak. Mirip. Bedanya, aku tidak akan mengayuhnya mati-matian.
Kabut asap makin tebal saat aku memasuki jalan raya. Paparan asap hasil pembakaran kendaraan bermotor sukses membuat kabut asap makin tebal, ditambah jarak pandang yang mengecil membuat para pengendara berjalan perlahan, sehingga membuat traffic menjadi macet dan tentunya semakin parah. Jarak pandangku juga mengecil. Demi kesehatan mata, aku bahkan memakai goggles sepeda yang sudah aku miliki sejak dua tahun lalu. Khusus dipakai untuk saat-saat seperti ini.
Rumah Arman tidaklah terlalu jauh. Bersepeda membutuhkan waktu sekitar lima belas menit. Kondisional. Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit apabila dalam keaadaan kabut asap seperti ini. Karena saat kabut asap melanda, butuh kecerdasan dalam mengayuh sepeda, agar asap tidak terlalu banyak masuk ke dalam paru-paru. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan kerja pernapasan.
Tidak masalah. Tahun lalu juga seperti ini. Dua tahun lalu juga seperti ini. Aku sudah terbiasa.
Aku masuk ke halaman rumah Arman. Langsung menuju gudang di halaman belakang melalui jalan kecil di samping rumahnya. Sudah terparkir empat sepeda di depan gudang. Sepertinya semuanya benar-benar datang. Terkecuali diriku.
"Assalamualaykum."
"Berlindung!!"
"Eh? Apa?"
Arman tiba-tiba berseru tepat setelah aku meletakkan langkah pertamaku di gudang. Teman-teman lain dan Arman berlarian mencari tempat berlindung. Aku yang ketularan panik, berlindung di balik meja terdekat.