Nyatanya kesadaran akan bencana  di Indonesia masih terbilang rendah. Buktinya ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara (2004), gempa di Yogyakarta (2006), dan gempa di Sumatera Barat (2009)  serta beberapa bencana dibeberapa tahun terakhir korban jiwa terbilang besar.  Kita seharusnya belajar dari Jepang pasca Gempa Kobe (1995), dan rentetan tsunami yang dihadapi oleh negara matahari terbit ini.Â
Pemahaman, antisipasi dan penanggulangan bencana belum menjadi culture is common way of life. Kita harus terus belajar siaga bencana, baik secara individu maupun komunitas. Untuk itu kompasianers dihadirkan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan sadar bencana termasuk program Sandiwara Radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB) episode 2' kepada masyarakat ungkap Bapak Sutopo.
Sandiwara Radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB)'
Berdasarkan survei Nielsen (2014), penetrasi media di kota-kota di Jawa maupun Luar Jawa menunjukkan bahwa televisi masih superior. Televisi ditonton masyarakat Indonesia (95%), disusul browsing internet (33%), mendengarkan radio (20%), membaca surat kabar (12%), tabloid (6%) dan majalah (5%). Dalam mendengarkan radio masih di urutan ke 3 (tiga) dibandingkan melihat televisi dan browsing internet. Tetapi ada yang mengejutkan ketika BNPB melansir bahwa pendengar sandiwara radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB)' episode 1 menembus 43 juta pendengar.
Mungkin kita orang Jakarta akan terheran-heran dengan data ini, kok bisa ya...!!!.Â
Mungkin daku lupa berdomisili dimana ? .... Di pedesaan jaringan internet tidaklah semudah di akses dikota-kota besar. Kecepatan internet ketika upload, download, dan browsing untuk mendapatkan akses 3G pun sulit apalagi 4G. Dalam berbudaya bisa dibilang 180 derajat perbedaannya antara orang kota dengan orang desa.
Sutradara ADB Haryoko menyampaikan didepan kami para blogger kompasiana (kompasianers) bahwa masyarakat dewasa ini mulai meninggalkan media radio seiring perkembangan televisi. Namun masyarakat di daerah masih membutuhkan hiburan melalui sarana radio. Nah ini yang bisa jadi menurut daku sandiwara radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB) episode 1' bisa memiliki masa pendengar yang besar.
Sesuatu yang menarik dari ADB yaitu sandiwara radio ini  dikemas dalam cerita roman sejarah berlatar belakang Kesultanan Mataram yang menggali nilai-nilai budaya lokal dengan sisipan pemahaman bencana gunung meletus. Para pendengar seperti ditarik ke mesin waktu menuju masa Sultan Agung, raja kerajaan Mataram yang berpusat di Yogyakarta. Raja besar dari Mataram yang berani menantang VOC di Batavia.
Roman percintaan tokoh-tokoh utamanya juga menjadi daya tarik tersendiri. Sandiwara ADB cukup mampu merepresentasikan budaya lokal di Pulau Jawa sehingga diharapkan mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat. Â Sandiwara ADB juga menggali kearifan lokal dalam mengenali tanda-tanda alam sebelum gunung meletus. Sebagai contoh gejala gunung meletus yang diceritakan dalam sandiwara ADB yaitu : Berbagai macam hewan berlarian turun dari gunung, pepohonan kering dan meranggas, air sungai terasa hangat, Â dan terdengar suara gemuruh.Â