Daku masih ingat ketika terakhir kali mendengarkan sandiwara radio yang didengarkan melalui radio tape. Almarhum Bapak memiliki koleksi kaset tape sandiwara radio "Saur Sepuh". Tetapi koleksi tersebut tidak lah lengkap hanya dimiliki sampai dengan episode dimana Brama Kumbara berhasil merebut Madangkara dari penjajahan kerajaan Kuntala.
Sosok Brama Kumbara dalam sandiwara radio "Saur Sepuh" merupakan seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Ia merupakan anak desa yang tanpa sepengetahuan penduduk sekitar merupakan keturunan Raja Madangkara. Ayahnya bernama Darmasalira. Kakeknya Astagina, sekaligus sebagai guru olah kanuragan. Kakek Astagina dulunya pernah pula menjadi Raja Madangkara.
Ibu dari Brama Kumbara bernama Gayatri. Nah sang ibu lah yang merupakan keturunan dari trah keluarga Kerajaan Madangkara. Ayah kandung Brama tewas dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka Jamparing. Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan dan pejabat dari Kuntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah dari Brama.
Ketika sudah dewasa Brama akhirnya menjadi Raja Madangkara karena dia jugalah yang memimpin pergerakan nasionalis Madangkara melawan penjajah Kuntala. Dengan pedang biru yang diberikan oleh panglima Madangkara pada saat kecil terkuak lah bahwa Brama merupakan keturunan langsung dari Raja Madangkara "Astagina".
Duduk di samping almarhum Bapak, daku mendengarkan sandiwara radio sambil menyeruput kopi dari gelas beliau merupakan momen yang tidak akan daku lupakan. Usia daku sekitar 6 s/d 8 tahun saat itu. Ada sensasi tersendiri ketika mendengarkan sandiwara radio dibandingkan ketika kita menonton tayangan televisi atau film di bioskop. Ketika mendengar sebuah cerita dari sandiwara radio, daku seperti dibacakan dongeng oleh almarhum Bapak dimana daku mengimajinasi sosok-sosok dalam cerita tersebut.
Radio menjadi Media Sosialisasi Sadar Bencana
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis sandiwara radio Asmara di tengah Bencana (ADB) episode 2 yang akan disiarkan pada 7 Juli 2017. Dimana ADB episode 1 mendulang sukses pada penyiaran pertama tahun lalu. Pendengar sandiwara radio ADB menyentuh 43 juta jiwa....wooowwww..... "Making a Hits".
Atas dasar data tersebut mendorong BNPB untuk melanjutkan ADB episode 2 pada tahun ini. BNPB memanfaatkan sandiwara radio untuk mengkampanyekan budaya sadar bencana secara luas kepada masyarakat khususnya di daerah. Untuk itu BNBP dan Kompasiana mengadakan acara Kompasiana Nangkring "Membangun Sadar Bencana Melalui Media Radio" di Graha BNBP, Jakarta.
'Siaga Bencana' Karena Indonesia Negara Rawan Bencana
Yang perlu kita sadari bersama bahwa Indonesia adalah daerah rawan bencana. Negara dengan jumlah pulau sebanyak 14.572 ini terletak pada jalur cincin api (ring of fire) sehingga memiliki banyak gunung berapi. Di Pulau Jawa saja terdapat konsentrasi gunung berapi terbanyak di Indonesia dengan 45 gunung berapi aktif.
Nyatanya kesadaran akan bencana di Indonesia masih terbilang rendah. Buktinya ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara (2004), gempa di Yogyakarta (2006), dan gempa di Sumatera Barat (2009) serta beberapa bencana dibeberapa tahun terakhir korban jiwa terbilang besar. Kita seharusnya belajar dari Jepang pasca Gempa Kobe (1995), dan rentetan tsunami yang dihadapi oleh negara matahari terbit ini.
Pemahaman, antisipasi dan penanggulangan bencana belum menjadi culture is common way of life. Kita harus terus belajar siaga bencana, baik secara individu maupun komunitas. Untuk itu kompasianers dihadirkan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan sadar bencana termasuk program Sandiwara Radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB) episode 2' kepada masyarakat ungkap Bapak Sutopo.
Sandiwara Radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB)'
Berdasarkan survei Nielsen (2014), penetrasi media di kota-kota di Jawa maupun Luar Jawa menunjukkan bahwa televisi masih superior. Televisi ditonton masyarakat Indonesia (95%), disusul browsing internet (33%), mendengarkan radio (20%), membaca surat kabar (12%), tabloid (6%) dan majalah (5%). Dalam mendengarkan radio masih di urutan ke 3 (tiga) dibandingkan melihat televisi dan browsing internet. Tetapi ada yang mengejutkan ketika BNPB melansir bahwa pendengar sandiwara radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB)' episode 1 menembus 43 juta pendengar.
Mungkin kita orang Jakarta akan terheran-heran dengan data ini, kok bisa ya...!!!.
Mungkin daku lupa berdomisili dimana ? .... Di pedesaan jaringan internet tidaklah semudah di akses dikota-kota besar. Kecepatan internet ketika upload, download, dan browsing untuk mendapatkan akses 3G pun sulit apalagi 4G. Dalam berbudaya bisa dibilang 180 derajat perbedaannya antara orang kota dengan orang desa.
Sutradara ADB Haryoko menyampaikan didepan kami para blogger kompasiana (kompasianers) bahwa masyarakat dewasa ini mulai meninggalkan media radio seiring perkembangan televisi. Namun masyarakat di daerah masih membutuhkan hiburan melalui sarana radio. Nah ini yang bisa jadi menurut daku sandiwara radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB) episode 1' bisa memiliki masa pendengar yang besar.
Sesuatu yang menarik dari ADB yaitu sandiwara radio ini dikemas dalam cerita roman sejarah berlatar belakang Kesultanan Mataram yang menggali nilai-nilai budaya lokal dengan sisipan pemahaman bencana gunung meletus. Para pendengar seperti ditarik ke mesin waktu menuju masa Sultan Agung, raja kerajaan Mataram yang berpusat di Yogyakarta. Raja besar dari Mataram yang berani menantang VOC di Batavia.
Roman percintaan tokoh-tokoh utamanya juga menjadi daya tarik tersendiri. Sandiwara ADB cukup mampu merepresentasikan budaya lokal di Pulau Jawa sehingga diharapkan mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat. Sandiwara ADB juga menggali kearifan lokal dalam mengenali tanda-tanda alam sebelum gunung meletus. Sebagai contoh gejala gunung meletus yang diceritakan dalam sandiwara ADB yaitu : Berbagai macam hewan berlarian turun dari gunung, pepohonan kering dan meranggas, air sungai terasa hangat, dan terdengar suara gemuruh.
Bagi para pendengar radio, BNPB menyiarkan ADB episode 2 ini di 80 stasiun radio, 60 stasiun radio swasta dan 20 radio komunitas. Kedelapan puluh stasiun tadi tersebar di 20 provinsi. Mau tau lebih jelas tentang sandiwara radio 'Asmara Di tengah Bencana (ADB)' dan informasi siaga bencana, dan penanganan bencana bisa lihat di halaman resmi BNPB di https://www.bnpb.go.id
-----ooo000ooo-----
Potensi bencana ada di depan mata kita sehari-hari. Kita patut waspada dan mengetahui apa yang harus diperbuat ketika terjadi bencana. Melalui radio, kita bagaikan mendengar orang lain. Budaya mendengar pada sandiwara radio dapat menciptakan imajinasi dan itulah keunggulan tersendiri dari media ini. Setiap individu memiliki imajinasi sendiri menyangkut karakter, fisik, psikologis dari tokoh dalam sandiwara radio. Seperti daku membayangkan Mantili yang cantik dan pemberani.
Salam hangat Blogger Udik berambut undercut- Andri Mastiyanto -
twitter : @AndrieGan , Instagram : @andrie_gan , email : mastiyan@gmail.com
blog : http://www.kompasiana.com/rakyatjelata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H