Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Mencermati Koreografi Laga Film Rusia dalam "Russian Raid"

2 November 2022   09:21 Diperbarui: 5 November 2022   13:11 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Youtube/Madman Films

Kegiatan (Jakarta) World Cinema Week 2022 memang telah usai. Tapi keseruannya bisa saja masih membekas.

Tahun ini kegiatan World Cinema Week (WCW) 2022 digelar secara daring dan luring. Secara luring, WCW 2022 diselenggarakan di Jakarta. Sementara untuk daringnya, diputar di web KlikFilm. Sehingga bukan masyarakat Jakarta saja yang bisa menikmati program WCW, tapi juga pencinta film di seluruh Indonesia.

Bagi saya sendiri, kegiatan ini sangat penting untuk menambah referensi dan wawasan tontonan dari seluruh negara-negara di dunia. Pasalnya WCW 2022 menghadirkan lebih dari 70 film dari 39 negara. Dan tentunya, karena saya tidak di Jakarta, saya turut meramaikan WCW 2022 secara daring saja.

Ketika berjelajah di web KlikFilm, saya cukup dipusingkan ketika memilih dan memilah film mana yang akan saya tonton duluan. Sempat tertarik pada Quo Vadis, Aida? (Bosnia and Herzegovina), film drama perang yang berhasil masuk shortlist Best International Feature Film Oscar 2021 'menyingkirkan' Perempuan Tanah Jahanam.

Lalu ketertarikan berpindah pada film The Translator (Le Traducteur - Perancis). Hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film Rusia berjudul Russian Raid (2020) sebagai film yang ditonton pertama kali.

Tentang Russian Raid

Film arahan Denis Kryuchkov ini bercerita tentang seorang mantan tentara bernama Nikita (Ivan Kotik) yang berniat balas dendam terhadap pembunuh ayahnya di masa lalu. Dan di masa kini si pembunuh telah menjelma menjadi salah satu orang penting di Rusia yang sulit sekali ditemui.

Satu-satunya cara agar si pembunuh 'keluar dari persembunyiannya' adalah dengan mengobrak-abrik pabrik senjata kesayangan miliknya.

Untuk itu, Nikita bekerjasama dengan seseorang yang punya hasrat menguasai pabrik senjata tersebut. Meski sebetulnya misi utama Nikita adalah tetap balas dendam. Ia tidak peduli dengan bagian pabrik (uang) yang dijanjikan oleh rekannya.

Karena Nikita punya misi pribadi, ia berharap orang-orang yang akan bekerja dengannya merebut pabrik adalah para tentara. Nikita tahu betul bagaimana keadaan musuhnya, sehingga nggak boleh orang-orang sembarangan yang akan ikut dalam misinya.

Berbeda pendapat dengan Nikita, rekannya malah merekrut 'orang biasa' yang memiliki keahlian masing-masing. Mulai dari si peretas sistem keamanan, ahli kunci, hingga ahli bela diri.

Setelah menemukan kesepakatan, mereka memulai aksinya untuk merebut pabrik senjata tersebut.

Aksi laga sebagai identitas kultural

Cuplikan koreografi laga Russian Raid ketika bertarung dengan para ajudan/wellgousa.com
Cuplikan koreografi laga Russian Raid ketika bertarung dengan para ajudan/wellgousa.com
Yang menarik dari Russian Raid adalah film ini sepenuhnya bergenre action (laga) dengan latar satu waktu saja. Alurnya linear dan bergerak maju. Kalau dibandingkan mirip-mirip The Raid (2011), yang juga bercerita tentang sebuah penyerbuan dengan latar satu waktu saja.

Dalam film laga, satu hal penting yang dibutuhkan adalah gerak dan rangkaian gerak. Rangkaian gerak ini biasa dinamakan koreografi laga.

Gerak dalam film tidak semata-mata bergerak saja. Sebuah rangkaian gerak bisa menjadi identitas kultural sekaligus ciri khas dari suatu bangsa yang memproduksi film laga tersebut.

Di perfilman China misalnya. China bisa dibilang salah satu negara yang sukses dalam hal industri film laga. Sebagian besar laganya diisi oleh seni bela diri Tiongkok. Satu dari jenis gaya bertarung seni bela diri tersebut yang paling kita kenal adalah Kung Fu.

Industri film China berhasil membawa Kung Fu menjadi identitas budaya dalam film-filmnya. Kita akan dengan mudah mengenali koreografi laga dalam film China sebagai sesuatu yang unik dan otentik dari negara tersebut. Sekalipun itu dikerjakan dan atau bekerjasama dengan negara lain.

Semisal contoh adalah The Mystery of The Dragon Seal, film laga fantasi hasil kolaborasi antara Rusia dan China.

Salah satu adegan Jackie Chan dalam The Mystery of The Dragon Seal/rajasinema.com
Salah satu adegan Jackie Chan dalam The Mystery of The Dragon Seal/rajasinema.com
Dalam satu adegan film tersebut, kita disuguhkan duet laga dua karakter yang diperankan oleh Jackie Chan dan Arnold Schwarzenegger. Dalam pertarungan tersebut Jackie Chan lebih banyak menggunakan seni bela diri Kung Fu sementara Arnold banyak menggunakan seni bela diri seperti yang biasa kita saksikan di film-film Hollywood.

Secara nggak langsung, suguhan laga keduanya menawarkan akulturasi budaya yang menarik.

Kalau berkaca ke negeri kita sendiri, Indonesia punya seni bela diri silat yang belakangan banyak juga menghiasi dan menjadi inspirasi koreografi film laga Indonesia. Semisal dalam Merantau (2009), Pendekar Tongkat Emas (2014), dan banyaknya film lawas seperti Api di Bukit Menoreh, Tutur Tinular, Panji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu dan lain-lain.

Yang menjadikan seni bela diri ini bisa berbeda ketika dijadikan materi layar lebar adalah soal pendekatannya.

Russian Raid menggunakan seni bela diri dengan tangan kosong di paruh awal, lalu kemudian meningkatkan intensitasnya dengan penggunaan senjata di paruh akhir.

Pendekatan yang dilakukan Russian Raid memang lebih banyak dipengaruhi oleh laga Hollywood yang memang lebih menekankan pada keseruan laganya. Hanya saja tempo yang dihadirkan oleh Russian Raid relatif lebih lambat daripada film-film laga seru kebanyakan.

Kalaulah boleh meminjam istilah dua pendekatan realis dan surealis, Russian Raid ini betul-betul menggunakan pendekatan yang realis.

Mungkin kamu pernah nonton film laga dan berkomentar "Kok, dia udah dibanting, dilempar bola biliar, dicekek, nggak cape-capek ya?"

Nah, komentar tersebut wajar adanya karena pikiran kita boleh jadi saat itu sedang dipenuhi oleh hal-hal yang realis. Padahal sejatinya film sebagai karya fiksi, sutradara boleh memilih pendekatan apapun yang dirasa menarik untuk filmnya.

Termasuk ketika Russian Raid lebih banyak mengisi adegan laganya dengan hal-hal yang realis. Kita dengan gampang menemukan karakter yang begitu ngos-ngosan setelah berkelahi. Atau kita juga bakal sering melihat 'jeda istirahat' antar karakter yang sedang bertarung sebelum beranjak ke pertarungan selanjutnya.

Akibatnya, Russian Raid terasa lama sekali ketika ditonton walau durasinya hanya sekitar 100 menit. Sekiranya memang ingin melakukan pendekatan koreografi laga yang sedikit lambat, biasanya ada maksud yang hendak disampaikan dari serangkaian gerak tersebut.

Adegan klimaks Tarung Sarung yang diambil dari gerakan salat/rajasinema.com
Adegan klimaks Tarung Sarung yang diambil dari gerakan salat/rajasinema.com
Semisal dalam klimaks film Tarung Sarung, kita diperlihatkan adegan yang melambat di pertarungan final antara Deni Ruso dan Sanrego. Koreografi lambat yang dilakukan Deni Ruso untuk 'mengalahkan' Sanrego diambil dari gerakan salat.

Keputusan ini bukan keputusan yang ngasal, karena sedari awal Tarung Sarung lebih banyak menarasikan konsep ketuhanan. Sehingga final battle-nya memang dibuat agar bisa mendukung konsep narasi yang diusung.

Ini yang belum saya temukan dalam Russian Raid.

Pendekatannya koreografi laga yang diambil masih tidak koheren dengan narasi utamanya. Bahkan seakan menyadari koreografi laganya yang lambat di paruh awal (tapi meaningless), Russian Raid mengalihkannya dengan pertarungan menggunakan senjata dengan harapan film menemukan titik seru.

Ya, saya akui memang filmnya menjadi seru ketika arah laganya diubah. Tapi juga membuat saya masih sulit menemukan identitas kultural dalam film laga Rusia lewat film ini. Tentunya, saya masih perlu mencari dan menonton film lainnya lagi.

---

Referensi: Disertasi "Reinvensi 'Gerak' sebagai Kode Kultural dalam Budaya Visual" oleh Agustina Kusuma Dewi (Akademisi, Pengamat Film di Forum Film Bandung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun