PP ini juga dibentuk hanya untuk penanganan COVID-19. Padahal, Peraturan Pemerintah adalah aturan hukum yang berlaku umum (tidak berlaku hanya mengacu pada satu peristiwa saja) sehingga harus mengatur untuk semua kasus, baik yang sedang atau yang akan terjadi di masa depan.
Jika tidak demikian, maka setiap ada kejadian baru, kita akan membuat aturan lagi. Selain tidak efisien, ini bertolak belakang dengan niat Jokowi sendiri untuk menyederhanakan regulasi.
Selain itu, PP ini juga tidak mengatur hak warga negara dan kewajiban negara selama tindakan darurat berlangsung sehingga kecukupan kebutuhan dasar warga negara selama keadaan darurat tidak mendapat jaminan hukum.
Padahal, UU Kerantinaan Kesehatan telah menegaskan adanya kewajiban negara untuk menjamin hak dasar warga negara terpenuhi selama tindakan darurat berlangsung terutama untuk tindakan karantina wilayah.
3. Peraturan PSBB tidak sesuai situasi darurat
Permenkes tentang pedoman PSBB tidak mencerminkan sebuah regulasi untuk penanganan dalam keadaan darurat.
Dalam hukum, ada perbedaan regulasi antara dalam keadaan normal dan dalam keadaan darurat.
Dalam keadaan darurat yang dibutuhkan adalah hukum yang memberikan kemudahan agar penanggulangan suatu keadaan berjalan cepat tanpa terkendala birokrasi rumit.
Menurut Kim Lane Scheppele, profesor sosiologi dan hubungan internasional di Universitas Princeton, Amerika Serikat, dalam keadaan darurat, negara terpaksa melanggar prinsip-prinsip yang dianutnya sendiri. Ini karena adanya suatu ancaman yang serius, sehingga untuk menyelamatkan negara, tindakan penyimpangan tersebut terpaksa dilakukan.
Di tengah situasi darurat, Permenkes PSBB justru menambah mata rantai birokrasi baru dalam penanganan COVID-19.
Misalnya, Pasal 6 pada peraturan ini menyatakan bahwa Menkes dapat mengambil keputusan pembatasan sosial dengan usulan kepala daerah atau Gugus Tugas COVID-19.