Mohon tunggu...
Rainhard Frealdo
Rainhard Frealdo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UNIKOM

Gemar menumpahkan karya lewat aksara untuk khalayak. Harapan saya adalah saya dapat semakin terasah dalam menulis, hingga membuat tulisan-tulisan saya menginspirasi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Akan Pernah Terlambat

28 Juli 2024   06:00 Diperbarui: 28 Juli 2024   07:16 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada seseorang yang mengintip seorang pria dewasa bernama Wijaya dan seekor anjing lewat sela-sela gerbang sore itu. Seorang anak setinggi 135 cm dengan rambut diikat. Seketika anjing tersebut mencium aroma manusia lain setelah dia melempar bola, lalu menghampirinya dan menggonggong padanya. Manusia lain yang dimaksud adalah anak perempuan tersebut. Melihat itu, Wijaya tersenyum dan ikut menghampirinya.

"Kamu mau ikut main juga, Afisah?" Wijaya membuka pagar sambil menunjuk bola yang barusan dia tangkap dari lemparan anjingnya.

Perempuan itu mengangguk pelan. "Iya, om. Saya mau ikut main." Dia masuk dengan polosnya, menatap anjing itu yang masih menggonggong padanya tanpa rasa takut bahwa dia akan digigit oleh anjing itu atau semacamnya. Biasanya ketika ada orang yang bertamu ke rumah Wijaya, pasti ada aja yang ketakutan melihat anjing tersebut, lalu menghindarinya sejauh mungkin. Tapi Afisah berbeda.

"Hai, barker." Afisah tertawa melihat tingkah anjing itu yang terus menerus menggonggong, lalu mencium-cium tangan Afisah, mengajak kenalan.

Wijaya kenal dengan anak itu. Dia tinggal bersama paman beserta dua sepupunya di depan rumahnya. Anak yatim piatu itu masih terlalu polos untuk merasa kehilangan orang tuanya.

"Eh, barker?" Wijaya mengernyitkan dahi.

"Iya, om." Afisah berjongkok dan mengelus-elus bulu anjing tersebut yang dengan pedenya menjulurkan lidah sambil menggoyang-goyangkan ekor. "Paman aku pernah cerita saat dia masih kecil, dia pelihara anjing juga kayak om. Nah, dia sering memanggil anjingnya dengan sebutan barker tiap anjingnya terus-menerus menggonggong, karena katanya arti dari barker adalah penggonggong."

"Ooooh." Wijaya mengangguk.

Afisah menatap kalung nama yang dikenakan anjing tersebut.

"Wah, nama kamu Hiro, ya," ucap Afisah sambil memegang kalung tersebut.

Sebagai balasan, Hiro menggonggong di depan wajah Afisah.

"Hihihi, berarti benar." Afisah tertawa. "Bagus banget namanya, om." Kali ini Afisah menatap Wijaya.

"Benar. Ada sejarahnya loh."

"Hah, maksudnya gimana, om?" Afisah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sejarah dibalik nama Hiro pada anjing milik om," balas Wijaya.

"Wah?" Afisah terlihat begitu penasaran. Melihat itu, Wijaya mengajak Afisah untuk duduk bersama di kursi teras. Sementara itu Hiro keliling lapangan sambil memerhatikan mereka berdua.

Wijaya menghembuskan nafas terlebih dahulu sebelum mulai bercerita. Ini membuat Wijaya harus membuka lebar kisah masa lalu yang baginya pahit, tentang seseorang yang amat dia sayangi.

"Saat anak om masih seumurmu, kasih sayang om dan istri om tertuju penuh pada anak kami satu-satunya. Apapun yang anak kami butuhkan, selalu kami beri tanpa pamrih. Kami selalu mengajarkan hal-hal yang baik pada anak kami." Wijaya jeda sejenak sambil menatap langit sore. "Kasih sayang kami tak pernah putus, kami selalu memprioritaskan anak kami. Anak kami pun menyayangi kami sama seperti kami menyayanginya."

Tapi entah kenapa, aura wajah Wijaya mendadak berubah.

"Eh, om kenapa?" Afisah menyadari adanya perubahan dari wajah Wijaya.

"Memang semua permintaan anak kami selalu kami penuhi. Kecuali satu, karena om belum sanggup membelikannya untuk anak kami. Kamu ingin tahu apa permintaan tersebut?"

"Emangnya apa, om?" Afisah menunggu jawaban.

"Anjing. Dan dia sudah merencanakan pemberian nama untuk anjingnya kelak, yaitu Hiro." Hiro menggonggong ketika mendengar namanya disebut.

"Bukankah om sudah punya anjing sekarang?" Afisah menunjuk Hiro. "Itu, kan? Berarti permintaan anak om yang itu sudah terpenuhi, dong."

"Betul. Tapi bukan itu yang menjadi masalah." Wijaya memperbaiki posisi duduknya. "Dulu om bekerja begitu keras, banting tulang demi memenuhi permintaan tersebut. Hingga pada akhirnya om dapat kabar baik. Om bermutasi kerja. Om akan berpenghasilan lebih dibanding sebelumnya, tapi itu juga berarti om harus jauh dari keluarga, termasuk anak sendiri. Anak om sudah menempuh pendidikan SMP masa itu."

Perlahan langit mulai gelap. Wijaya masih bercerita.

"Sebelum berpisah, om berjanji pada anak dan istri om bahwa om akan pulang jika ada waktu. Tapi ternyata om sangat sibuk hingga tak ada waktu untuk pulang. Istri om sering menghubungi om tiap dia rindu sama om. Hingga 3 tahun setelah om bermutasi, istri om meninggal dunia karena kena serangan jantung. Seharusnya om pulang dan ikut acara pemakaman istri om, tapi om tak bisa karena lagi-lagi om disibukan oleh pekerjaan om. Anak om menghubungi om lewat ponsel milik ibu.

Om masih ingat apa yang dikatakannya." Wajah Wijaya semakin berubah di tengah-tengah langit yang sempurna gelap. "Dia bilang bahwa dia benci sama om karena sampai istri om meninggal pun om tak memenuhi janji, bahkan bisa-bisanya om tak hadir dalam acara pemakaman istri sendiri hanya gara-gara tak bisa lepas dari pekerjaan om." 

Nada bicaranya pun ikut berubah, terdengar sendu. "Dia mulai berasumsi bahwa alasan istri om meninggal adalah gara-gara om gak pulang-pulang hingga membuatnya stress. Padahal om tak berniat buruk. Om hanya berusaha menafkahi mereka sebagai bentuk kasih sayang yang lebih. Tapi ternyata anak om berpikir sebaliknya. Bahkan yang lebih parahnya lagi ..." Wijaya sudah tak bisa menahan perasaannya.

"Eh, kok om nangis?" Afisah terkejut.

"Dia bilang bahwa om gak boleh menghubunginya, bahkan gak boleh menemuinya, selamanya." Wijaya menghapus air mata di saat dia masih terisak. "Tapi om bersikeras untuk pulang hari itu, izin cuti kerja. Om rela pulang dengan jarak yang amat jauh untuk bertemu dengannya, tak peduli jika om akan kembali ke kantor dengan kerjaan yang tambah menumpuk. Tapi sialnya, anak om tak ada di rumah, dia kabur tanpa kabar. 

Di rumah ini, nak. Di rumah ini om nangis seperti sekarang, om merasa om sudah gagal menunjukan kasih sayang om. Bahkan om mencoba mengobati luka dengan cara memenuhi permintaannya yang belum terpenuhi, yaitu anjing." Hiro mulai menghampiri mereka berdua. "Om juga memberi nama anjing ini sesuai dengan permintaan anak kami. Hiro." Wijaya mengelus Hiro dengan tangan bekas air mata.

"Om gak mau hubungi anak om lagi?" tanya Afisah.

"Om mau. Tapi om takut dengan reaksinya. Mungkin dia juga sudah memblokir akses chat."

"Tapi bagaimana om tahu kalau om belum coba lagi? Lagian om bisa kasih tahu kalau om sudah bisa memiliki anjing."

Wijaya terdiam. Dia berpikir panjang. Apakah dia harus mengikuti saran Afisah? Tapi bagaimana jika anaknya memberontak? Wijaya mengambil ponselnya. Tangannya begitu gemetar.

Kini keputusan Wijaya sudah bulat.

***

Dua hari kemudian, ada mobil mewah yang parkir di depan. Afisah yang hendak mengunjungi Wijaya menatap dengan saksama orang yang keluar dari mobil tersebut. Seorang perempuan dewasa, umurnya sekitar 28 tahun.

"Permisi." Tanpa pikir panjang Afisah menghampiri wanita tersebut.

Dia hanya menatap Afisah datar. Setelah itu membuka gerbang rumah Wijaya yang tak dikunci itu.

"Guk guk!" Hiro menggonggong.

Wanita itu terkejut ketika melihat Hiro. Dia mulai berjalan perlahan mendekatinya, lalu berjongkok sambil memerhatikan kalung yang dikenakan Hiro. Hiro mencium-cium kaki perempuan tersebut, mengajak kenalan.

Perempuan itu menangis tersedu-sedu. Mukanya tertutup oleh kedua tangannya yang hendak mengusap air mata.

"Renata?" Seseorang keluar dari rumah menuju teras, seseorang yang berharga bagi perempuan itu, seseorang yang putus asa karena mengira sudah gagal menunjukkan kasih sayangnya. Siapa lagi kalau bukan Wijaya.

"Papa!" Renata berlari ke arah seseorang yang dulu dia banggakan, lalu dia sesali, dan hari ini dia mematahkan perasaan sesalnya dan membanggakannya kembali seperti dulu. "Aku minta maaf. Semenjak dewasa, aku mulai merasakan perjuangan papa, aku mengerti yang papa lakukan tak mudah. Jujur, selama ini aku terlalu gengsi untuk kembali ke pangkuan papa dan minta maaf. Tapi melihat papa memulai komunikasi padaku kembali, aku mematahkan kegengsianku."

"Tidak apa-apa, nak." Wijaya memeluk Renata dengan erat. Wijaya berhasil menunjukan kasih sayangnya kembali pada anaknya.

Afisah hanya menatap mereka berdua dengan polos. Saat dewasa kelak, Afisah akan mengerti apa yang dirasakan mereka berdua.

Tak akan pernah terlambat bagi Renata untuk mengakui kesalahan dan kembali ke pangkuan seseorang yang menyimpan penuh kasih sayang. Tak akan pernah terlambat juga bagi Wijaya untuk membujuk kembali seseorang yang pernah dia beri kasih sayang dan membuktikannya sekali lagi di depan anaknya. Takdir sudah menentukan waktu yang tepat untuk mereka.

Walaupun tanpa orangtua, Afisah masih diberi rasa kasih sayang dari sumber lain. Wijaya contohnya. Sebagai rasa bersalahnya pada Renata, Wijaya memperlakukan Afisah seperti memperlakukan Renata dulu, seperti mengajak Afisah dan Hiro bermain bersama.

Renata akan selalu mengingat tentang hari ini di dalam memorinya. Baginya, saling memaafkan dan kembali berdamai tanpa mengingat-ingat kesalahan kembali adalah bentuk kasih sayang yang paling tinggi dan sukar untuk dilupakan dibanding segalanya.

Biodata :

Rainhard Frealdo lahir di Bandung tanggal 11 April 2005, Ia menekuni bidang tulis menulis sejak SMA. Saat ini sedang giat dalam jurusan Teknik Informatika di kampus Unikom di Bandung sejak awal September 2023.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun