Diskursus wacana kolonial menjadi bahan analisis gender setelah upaya gerakan feminisme gelombang pertama dan kedua [1] tampil kepublik menyuarakan hak-hak perempuan. Kajian postkolonial dalam analisis mengenai gender, hampir bersamaan dengan kemunculan gelombang ketiga gerakan feminisme [2].
Lebih jauh, wacana kolonial lebih menekankan bahwa bagaimana proses kolonialisme terjadi dalam Negara jajahan dengan model baru. Artinya, suatu Negara yang dijajah bukan lagi menggunakan senajata api, kekerasan fisik atau sejenisnya. Namun, ia melalui gerakan kultral, politik, dan identitas diri. Dengan katal lain, wasterniasi tehadap Negara jajahan termaksud di dalamnya gender.
Oleh karena itu, bukan berarti bahwa penjajahan telah berhenti setelah usainya perang dunia satu dan dua. Dan memberikan kemerdekaan pada bangsa yang dijajah. Namun, dalam kajian poskolonial, penjajahan itu tetap berlanjut dengan tampilan yang baru.
"Apa bila dulu bentuk penjajahannya dalam bentuk penaklukan dan penjarahan (mengambil harta sumber daya alam dari bangsa jajahan), kini bentuk jajahannya berupa penjajahan ekonomi, sosial-budaya dan pemikiran di mana bentuknya lebih bersifat tak "kasat mata",[3] tandas Yusuf Lubis.
Blauner menuturkan bahwa kolonialisasi dapat diterapkan dalam tiga bentuk [4] yakni, pertama, kolonialisasi dalam bentuk masuknya satu kelompok dominan yang kemudian mensubordinasikan kelompok lain. Kedua, kolonialisasi dalam bentuk penghancuran faktor-faktor kultural bangsa jajahan. Ketiga, kolonialisasi dalam bentuk penataan suatu sistem ekonomi dan sosial berdasarkan atas hak istimewah kaum kolonalis atau bangsa penjajah.
Yang utama dari pembahasan ini adalah, bagaimana proses kajian poskolonial melihat penjajahan baru ini dengan model yang sangat halus dalam melancarkan aksinya. Bagaimana kolonialisme baru ini memasuki negara-negara jajahannya guna menguasai bangsa dan masyarakatnya, lebih khusus lagi dalam penerapan gender. Dan bagaiaman gender diterapkan sebagai upaya kepahlawanan kolonialisme dalam membela masayarakat yang dijajahnya
Oleh karena itu, tulisan ini membahas pertama tentang diskursus wacana kolonial. Bagaiamana karakteristiknya, proses cara kerjanya dan hal apa saja bentuk-bentuknya. Kemudian para pemikir poskolonial yang terlibat dalam kritik mereka atas budaya kolonial. Yang kedua, tentang bagaimana kolonialisme dengan gaya baru ini, melancarakan jajahanya pada wacana gender bagi bangsa lain dengan modus menyelamatkan perempuan.
A.I. Wacana Postkolonial
Kajian poskolonial tidak terlepas dari pengaruh tori kritis seperti, postmodernisme, konstruktivisme, dan juga beragam teori kritis konstemporer. Bagi pera pemikir ini, ilmu pengetahuan itu tidak terlepas dari kepentingan (tidak bebas nilai), ilmu pengetahuan juga bersifat konstruktif (paradigmatik), dan selalau terkait dengan sosial-budaya (historis) [5]. Pandangan merea ini, yang membedakannya dari arus utama pemkiran modern positivisme.
Hal itulah yang mempengaruhi para kritikus pemikir postkolonial yakni, Edward Said (m. 2003), Gayatri C. Spivak, dan Homi K. Bhabha. Tujuan mereka membongkar modus kolonialisme dalam menafsirkan dunia Timur sebagai jajahannya (kolonial), dan sekaligus menerapkan ideologi mereka. Guna mengusasi bangsa jajahan. Kolonialisme mencoba mengusasi dengan menerapkan budaya mereka kepada bangsa jajahan.
Dalam pengertian yang lebih jauh, Yusuf Lubis menuturkan [6]: "Postkolonial dimengerti sebagai masa (periode) dan kondisi setelah masa penjajahan (kolonial). Adapun kondisi setelah masa penjajahan itu seprti sistem ataupun unsur budaya lama yang dibawa bangsa penjajah yang kemudian ditiru dan digunakan oleh bangsa bekas jajahan sebagai unsur budaya baru". Kondisi inilah yang dikaji oleh para kritikus postkolonial, sebagai respon mereka yang diakibatkan oleh kolonialisme.
Dari penjelasan di atas, penjajahan gaya baru oleh kolonial (Eropa/Barat) dalam menguasai bangsa jajahan (Timur). Mereka (kolonial) menerapkan budayanya kepada bangsa jajahan, artinya indentitas budaya yang dijajah akan perlahan-lahan meninggalkannya. Yang digantkna oleh identitas budaya baru yang ditawarkan oleh kolonialisme. Dengan iming-iming mereka atas dasar kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, kolonialisme membwa modus bantuan untuk menerapkan praktik-pratik mereka kepada Negara jajahan.
Singkatanya, kolonialisme merasa paling otoritatif dalam membantu kemajuan suatau bangsa dan masyarakatanya dan menawarkan, kesejahteraan dan kemakmuran dalam ekonomi-politik, sosial dan budaya. Dengan modus itulah, kolonialisme menguasai jajahannya dan tentu juga sumber daya alamnya, salah satu bentuknya, yang paling dominan ialah melalui ilmu pengetahuan dalam menerapkan idelogi mereka dan tafsiran mereka terhadap dunia Timur.
Lewat ilmu pengetahuan itulah para kritkus postkolonial merespon mereka seperti yang diungkanpkan oleh Barry [7]: "Para pemikir atau kritikus postkolonial melakukan penolakan atas klaim universal yang buat olh para ilmuan Barat (orientalis) atas ilmu pengetahuan. Selain melakukan penolakan atas klaim universal tersebut, para pemikir atau kritukus postkolonial juga menunjukan ketrbatasan pandangan tokoh orientalis dan ketidakmampuan para orientalis tersebut berempati pada etnis dan budaya lain, serta ketidakmampuan mereka mengatasi batas perbedaan budaya dan etnis".
Dari beragamnya cara yang digunakan kolonialisme dalam menerapkan paraktik-praktik budaya mereka dan ideologi mereka dalam menguasai bangsa jajahan. Dengan demikian kajian postkolonial tidaklah memutlakan satu metode dalam membaca kolonialisme. Itulah mengapa, studi postkolonial menggunakan pendekatan interdispliner dalam metode mereka guna melacak latar belakang kolonialisme baru dan akibat-akibat yang ditimbulkannya atas bangsa yang dijajah.
Oleh karena itu, pengaruh teori kritis yang cukup kuat dalam mengembangkan dan sekaligus sebagai motode analisis dalam postkolonial yakni, Michel Foucault (m. 1984) dan Antonio Gramsci (m. 19370), dua pemikiran tokoh inilah yang digunakan Edwar Said dalam studi analisnya mengenai kolonialisme dalam melakukan penafsiran-penafsiran budaya dan ilmu pengetahuan kepada dunia Timur.
"Kajian orientalisme yang dibedah Said secara umum berutang budi pada intelektual kenamaan, Michel Foucault dan Antonio Gramsci. Dengan menggunakan teori discourse Foucault, Said mengangkat pertanyaan-perntayaan tentang relasi kekuasaaan yang melatari representasi timur dari genealogi orientalisme", tutur Achmad Fawaid [7].
Artinya, ada modus kekuasaan yang dilancarakan orientalisme (kolonial) dalam agenda menguasai bangsa jajahan (Timur). Kekuasan itu melibatkan wacana global dan lokal dalam menerapkan ideologi untuk dijadikan bentuk-bentuk kekuasaan. Metode (discourse) yang digunakan Said, dalam membaca relasi kekuasan kolonial menghasilan beberapa poin yang dinyatakan oleh Fawaid dalam pengantar buku orientalisme.
"Kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imprealisme), kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain, kekuasaan kultural (kanonisas selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki kategori estetikal kolonial, yang secara mudah bisa ditemukan di India, Mesir, dan negara-negara bekas koloni lain), kekuasaan moral (apa yang baik dilakuakan dan tidak baik dilakukan oleh Timur)" [8].
Dari poin analisis Said di atas, menandakan bahwa relasi kukuasaan itulah bentuk kolonialisme gaya baru Eropa/Barat dalam menjajah dunia Timur. Dalam praktik relasi kuasa tersebut, Said melihatanya bahwa relasi kekuasaan kolonial dalam bentuk penyebaran ideologi, yang disebut oleh Gramsci hegemoni,. "Suatu pandangan bahwa gagasan tertentu lebih lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan-kebudayaan lain".[9]
Lewat hegemoni dan relasi kuasa, kolonialisme tampak menjadi superioritas dari negara yang non-Eropa/Barat. Mereka membentuk legitimasi atas kekuasaan dan memberi tafsiran-tafsiran kepada dunia Timur dengan modus membantu mereka agar keluar dari keterbelakangan. Singkatnya bangsas jajahan (Timur, non Eropa/Barat) dipandangan sebagai inferior. Oleh karena itu, dalam pandangan Said,[10] kolonial terus menerus memberikan "hegemoni kultural"sebagai praktik tak berkesudahan yang terus berlangsung dalam wacana orientalisme.
Keberlangsusngan hegemoni kultural tersebut, sehingga kolonialisme menggambarkan timur dengan ukurannya sendiri. Kolonialisme Eropa/Barat sebagai subjek otoritatif dalam menjelaskan Timur, sementara Timur (bangsa jajahan) dipandang sebagai objek yang pasif, tak mampu untuk menafsirkan dirinya sendiri. Oleh karena itu bangsa Timur adalah "the other" dalam pandangan mereka.
Dalam penggambaran kolonialisme terhadap bangsa jajahan itulah, yang kemudian direspon oleh para kritikus postkolonial. Barry menuturkan[11]: "Adanya penolakan penggambaran dunia Timur (bangsa jajahan/the other) yang dilakukan oleh Barat (bangsa kolonialis) lantaran penggambanran tersebut kerap memuat ketimpangan dan stigma yang buruk seperti dunia Timur yang digambarakan dengan sifat irasional, tidak bermoral, punya peraaan inferior dan sebagaianya".
Lewat penggambaran dunia Timur oleh kolonialisme, serta relasi kuasa dan penyebaran hegemoni dalam penerapan idelogi mereka, yang berimplikasi terhadap penafsiarn mereka kepada perempuan Timur. Dan mereka berhak menyelamatkan perempaun Timur dengan melakuakn penyebaran idelogi mereka, agar perempuan Timur maju dan berkembang. Oleh karena itu, kolinialisme menawarkan gagasan, bentuk budaya, etika untuk diterapakan kepadanya.
Bagi kolodialisme, Timur tidak memiliki arti apa-apa. Mereka bangsa Timur tidak bisa menjelaskan identitas dirinya, Timur bukan realitas, hanya metafora yang mengalami keterbelakangan. Mereka tidak bisa membangun perdabannya sendiri, ia membutuhkan Eropa/Barat sebagai penolong mereka. Oleh karena itu kolonialisme, berkuasa atas dunia Timur. Said menuturkan [12]: "Menjadikan Timur layaknya papan tulis, yang jejak jejaknya bisa dihapus, agar kita bisa tinggal di sana dan memaksakan nilai-nilai kita untuk diikuti oleh mereka, orang-orang tinggal di dalamnya".
Agar Timur mendapatkan identitas baru. Yakni, identitis dan nilai-nilai dari kolonialisme Barat, karena bagi kolonialisme menganggap timur sebagaimana apa yang dinyatakan Said [13"Karena konstruksi identitas hampir selalu melinatkan konstruksi antitesis dan other yang terus menjadi objek interprestasi, maka sudah bisa ditebak, sebagai suatu konstruksi identitas yang menururnya hampir semi-mitos , Timur dianggap sebagai "yang lain" , "other' dan liayan" bagi Barat".
Pemikir postkolonial yang lain Spivak melihat bahwa efek penjajahan oleh kolonialisme berdampak pada kekerasan epistemik. Yang disebutnya "subaltren" [14] menurtutnya kekerasan epistemik ini bisa dipahami sebagai kondisi di mana konsep-konsep dan sistem-sistem pemikiran ditentukan atau distruktur oleh bentuk-bentuk pengetahuan atau kepentingan-kepentingan kaum kolinialis/dominan.
Melalui analisis Spivak kita bisa melihat bagaimana bangsa Timur (yang dijajah) dibentuk sedemikian rupa oleh kolonialis dalam berbagai bentuknya. Terutama dalam kebudayaan dan identitas. Kolonialis memiliki defenisi sendiri mengenai dunia Timur untuk melancarakan hegemoninya. Tokoh postkolnial Frantz Fanon [15] melihat bahwa, definisi kolonial terhadap Timur melalui ras dan entitas ini terjadi lewat praktik kolonialis, di mana bangsa penjajah melakukan konstruksi terhadap identitas kaum atau bangsa jajahan (pribumi).
B.II. Pembantukan Gender dalam Kolonialisme
Salah satu tokoh sentral postkolonial yakni, Bhabha yang meneliti bagaimana proses kolonialisasi terhadap dunia Timur oleh penjajah melalui psikoalis dan psikiatri yang ia kembangan dari pemiir terhadaulu Fanon dan Lacan [16]. Hasilnya dua istilah tersebut lahir untuk menjelaskan proses kolonialisasi itu yang disebutnya mimikri dan hibrida.
Bagi Bahbha, mimikri adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan proses peniruan yang dilakukan oleh bangsa atau masyarakat bekas jajahan terhadap bangsa kolonialis (penjajah). [17] dalam proses mimikri, peniruan terjadi bukan hanya berlangsung pada kebudayaan, namun keseluruah lingkup kehidupan bangsa yang dijajah. Dari proses tersebut, terjadilah indentitas dari masyarakat sipeniru (jajahan) yang disebut hibrida.
"Hibrida bisa dikatakan adalah bentuk lain dari mimikri. Atau dengan kata laian, mimikri menjadi dasar sebuah indentitas hibrida. Dengan adanya mimikri yang dilakukan oleh bangsa koloni atau masyarakat bekas jajahan, maka budaya asli masayarakat jejahan menjadi bercampur dengan budaya kolonialis (penjajah). Dengan kata lain hibrida adalah pencampuran budaya antara budaya bangsa kolonialis dengan budaya masyarakat jajahan", tandas, Yusuf Lubis [18]
Proses pembentukan hibrida melalui mimikri, tampak jelas bahwa proses relasi kuasa dan hegemoni yang dijelaskan diawal tulisan ini sebagai metode postkolonial dalam membaca kolonialisme menjadi terang benderang. Dan proses itu yang akan kita urai lebih dalam lagi mengenai gender. Mengenai istilah "subaltren" oleh Spivak yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada hal-hal ternetu yang menjdi fakta bahwa perempuan dunia ketiga (Timur/bangsa yang dijajah) betul-betul mengalami posisi sebagai objek yang mutlak, tak mampu bersuara, pasif, dan terbelaknag.
Hal itu yang diamati oleh Spivak [19] saat ia kuliah di Amerika Serikat. Dan itu mendakana bahwa massifnya gerakan kolonialis dalam melakukan tefsiran-tafsiran terhadap perempuan Timur, melalui penjelasana Spivak, pemikir postkolonial asal indonesi Katrin Bandel menuturkan[20]: "Dengan kata lain, perempuan "Dunia Ketiga" hadir sebagai objek perhatian dan penelitian, dan sebagai korban yang perlu dibantu. Suara mereka sendiri seakan-akan tidak bisa, atau mungkin tidak relevan, didengar dan diperhatikan".
Pernyataan Spivak dan Katrin di atas mendankan bahwa unsur hegemoni dan relasi kuasa terjadi dalam proses penjajahan melalui ilmu pengetahuan seperti yang telah dielaskan Said. Pasalnya, hal tersebut terjadi dalam beberapa tulisan feminisme Barat[21] dalam menjelaskan perempuan Timur (Dunia Ketiga). Dan lebih parah lagi, ternyata tulisan-tulisan perempuan Timur/ non Barat juga terdapat hal seperti itu, yang diungkapkan Katrin, ketika kelas menengah menulis tentang perempuan kelas bawa sebangsanya. Imbasnya, secara tidak langsung pengaruh kolonial sangat kuat dalam mempengaruhi pola intelaktual perempuan Timur dan indentitas budayanya (hibrida).
Sehingga perempuan (Dunia Ketiga) menjadi totalitas tak berdaya, dari tulisan-tulisan para feminisme Barat dan non Barat sendiri dalam menjelaskan perempuan Timur. Yang pada akhirnya ukuran menjadi perempuan atau feminisme yang memiliki integritas dan kemajuan dalam gender dan menentukan hal apa saja yang harus dilakukan perempuan dalam pembetukan identitasnya dan kemajuannya, harus berkiblat pada Barat (kolonialis).
Dalam pengamatan Mohanty, terhadap pembacaan akademiknya kepada Barat mengatakan bahwa, perempuan "Dunia Ketiga" dipersepsi sebagai semacam adik yang kurang beruntung, yang membutuhkan perhatian dan dukungan kakaknya, yaitu feminisme Barat [22]. Dan jelas bahwa itu terjadi pada perempuan dunia Timur khsusunya Indonesia yang menjadi tolak ukur gerakan feminisme dalam melihat relasi gender dan identitas perempuan indonesia ialah feminisme Barat.
Karena ketidakmampuan sebagian gerakan feminis indonesia melihat gejala tersebut. Hasilnya, kuarangnya minat terlibat dalam diskursus feminisme yang lebih berkembngan dalam studi intelektual. Sehingga mengalami kebekuan paradigmatik, tidak mampu keluar dari relasi kuasa dan hegemoni serta ideologi yang dibawa oleh Barat. Karena mereka menganggap, perempuan Barat dan feminisme lebih sempurna, berbudaya, cerdas, sereta otoritatif dalam menjelaskan perempuan "Dinia Ketiga".
Lebih tepatnya, analisis Mohanty yang dikutip oleh Katrin menegaskan hal itu [23] "Dipandang dari perspektif universalis eurosentris yang menggunakan perempuan Barat sebagai tolak ukur, perempuan-perempuan non-Barat diniali sebagai "kurang maju", dan dilihat terutama sebagai korban: korban patriartki, korban kemiskinan, korban kekolotan tardisi budaya mereka sendiri". dengan cara itu pula, perempuan non-Barat tidak memilik identitas diri, ia bukan lah sebagai subjek yang aktif, yang bisa secara otonom menjelaskan dirinya dan perennya sebagai seorang perempuan Timur.
Akibatanya, kepasifat tersebut yang dipandangan oleh perempuan Barat terhadap perempuan non-Barat menjadikan cara pandanga yang dimana mereka melihat perempuan Barat mampu mengantarkan mereka menjadi perempuan seutuhnya. Dengan mengikuti budayanya (perempuan Barat) sebagai contoh yang sempurna dalam melihat identitas seorang perempuan. Dan padagilirannya, perempuan non-Barat menjadi satu keseragaman identitas dan pikiran, yang kesemuanya itu, keseragaman dalam bentukan budaya perempuan Barat.
Seragaman identitas dan pikiran itu dalam analisis Herbert Marcuse, Salah satu anggota Frankfurt School mengatakan [24]:" Semua ini menunjukan bahwa kita secara tidak sadar sedang mengalami proses keseragaman. Dalam proses itu kita semua menjadi manusia satu dimensi". Sebab, yang dipandangan oleh perempuan non-Barat terhadap perempuan Barat yang dimana mereka melalui tulisan-tulisannya menjadi ukuran kebenaran, dan itulah sebagai penjelasan rasional terhadap kondisi yang dialamai oleh perempuan non-barat.
Perempuan Barat menganggap dirinya rasional yang punya otoritas dalam menjelaskan perempuan Non-Barat. Sementara itu mereka mendaku bahwa irasionalistas perempuan non-Barat, dengan adanya klaim tersebut, secara psikologis, mungkin serangan itu membuat perempuan non-Barat terpukau melihat penjelasan itu. Dengan alih-alih menjelaskna secara rasional, namun itu merupakan proses untuk menyeragamkan identitas dan pikiran perempuan non-Barat agar mereka menerima penjelasan itu, untuk dijadikan produk jajahan oleh perempuan Barat, dengan dalih mengikuti mereka adalah rasional.
Namun, mengenai rasionalitas sebagai pembelaan, Herbert Marcuse mengatakan [25] " Hanya saja yang kerap tidak disadari adalah bahwa rasional itu sendiri sebetulnya dibentuk dan parahnya lagi diseragamkan. Ini adalah salah satu bentuk dari upaya membuat manusia sebagai satu dimensi. Mereka yang tidak menggunakan cara berpikir rasional lalu dicap irasioanl. Ini menunjukan ada cara berpikir lain yang basisnya bukan rasionalitas tapi disingkirkan".
Oleh karena itu, modus rasoinalitas bukan untuk menyelamatkan, namun ia merupakan proses penyingkiran identitas dan budaya perempuan non-Barat agar mereka tetep dalam lingkup relasi kuasa dan menjalankan ideologi yang diterapkan oleh feminisme Barat. Penyingkiran itu bertujuan agar budaya perempuan Barat bisa diterapkan dalam perempuan non-Barat, sebab perempuan non-Barat yakni perempuan "Dunia Ketiga" tetap dalam kondisi "the other" agar mereka bergantung pada feminisme Barat dalam kelayakanya sebagai seorang perempuan.
Dalam pembacaan Mohanty terhadap fenisme Barat berpendapat bahwa [26]"Pandangan mengenai perempuan "Dunia Ketiga" tersebut, menjadi bagaian dari konstruksi identitas feminis Barat sendiri. lewat perempuan "Dunia Ketiga" sebagai the other yang bernasib malang dan tidak bisa menolong dirinya sendiri, perempuan Barat menciptkan imaji dirinya sebagai perempuan teremansipasi yang mandiri dan kuat".
Lewat tulisan-tulisan mereka, feminsie Barat menganggap bahwa perempuan non-Barat merupakan adik yang kurang beruntung, dan perlu dibantu agar mereka mengalami kemajuan dan emansipasi. Inilah yang menjadi analisis Said terhadap bentuk produksi wacana yang ia pinjam dari Foucault, untuk melihat kolonialisme dalam pembentukan wacana, yang menjadikan Timur sebagai objek. Dengan cara itu, produksi tersebut dijalankan dalam relasi kuasa terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan demikian produksi pengetahuan itu sebagaimana yang dikatakan Foucault sebagai formasi objek. [27] yang ilmu pengetahuan dinaytakan secara logis yang mengandung kebenaran, objek itu diproduksi oleh ilmu pengetahuan itu sendir. Inilah yang disebut formasi objek. Dan objek itu sebagai perempuan non-Barat yang diproduksi identitasnya, budayanya, perilakunya sebagai irasional, inferior, kolot, keterbelakangan. Dari kondisi itu lah, Spivak mengatakan bahwa perempuan mengalami pendindasan ganda.
Penindasan ganda menurut Spivak [28] pertama, selain mengalami diskriminasi kerana praktik budaya patriarki, juga kedua, menjadi subjek yang dikuasai (colonial subject) karena praktik kolonalisasi. Lewat tulisan-tulisan para kolonialis dan feminisme Barat yang memproduksi wacana yang menyudutkan bangsa Timur sebagai bangsa yang mengalami kekolotan dan ketertinggalan budaya. Perilaku-perilaku bangsa Timur, digambarakan dalam tulisan dan cerita-cerita sensual, kebodahan, tanpa etika. [29]
Dari yang kita amati, ternyata feminisme Barat bersuara atas perempuan terutama perempuan Timur, bukanlah untuk menyuarakan suara mereka (perempuan Timur) melainkan ada modus ingin menguasai dan menyudutkan mereka. Terutama soal berbedan, feminisme Barat menganggap dirinya yang paling maju, dan emansipatoris serta sebagai contoh untuk perempuan di Dunia. Dalam hal tersebut, ia menggap dirinya sebagai ukuran satu-satunya kebenaran yang harus diikuti oleh perempuan non-Barat.
Bukan hanya itu, ternyata diskriminasi juga terjadi diantara mereka yang membedakan perempuan kulit putih dan kulit hitam. Terntaya, feminsme Barat yang berkulit hitam juga bernasip sama dengan perempuan non-Barat. Sebab dikalangan feminisme Barat, ternyaa pusat perempuan yang enjadi ukuran ialah yang berkulit putih. Dan itu digambarakan dengan jelas oleh Butler[30] "Feminisme berkulit hitam di Amerika Serikat telah lama menyuarakn kritik mereka pada feminisme mainstream yang ternyata cenderunga berangkat dari pengalaman perempuan berkulit putih sebagai standar".
Lebih jauh, para feminis kulit hitam menyuarakan bahwa betapa tidak terwakilinya mereka terhadap femnisme kulit putih. Butler melanjutkan, [31] salah satu penyebabnya adalah bahwa feminismekulit putih tidak menyadari dan tidak mempersoalkan interkonektifitas antara berbagai jenis penindasan, dalam hal ini gender dan ras. Dari situlah suara feminisme pascakolonial sangat vokal dalam melihat kejadidan itu.
Sebab terjadi juga bahwa bahwa perempuan-perempuan berkulit putih juga menjadi bagain dari penjaajah dalam konteks Hindia Belanda[32]. Kerap kali mereka memandang seblah mata dan merendahkan perempuan pribumi. Dan itu terus berlanjut ketika feminise Barat yang seolah-olah berniat baik kepada perempuan "Dunia Ketiga" dengan dasar membantu, kerap terjadi sikap rasis dan merendahakan perempuan.
Mohanty menggamrakannya demikian [33]" Tulisan Feminisme Barat tentang perempuan Dunia Ketiga kerapkali berangkat dari sebuah universalisme etnosentris yang menempatkan perempuan Baarat sebagai tolak ukur, dan mengandaikan bahwa perempuan diseluruh dunia ingin dan perlu mencapai hal yang sama seperti perempuan Barat". Jika perempuan non-Barat tetap mengalami pendidasan dan tidak membaca proses dan bagaimana mereka ditafsirkan sedemiakn rupa oleh feminisem Barat, maka yang terjadi, cepat atau lambat perempuan Timur akan mengalami kebekuan identitasnya.
Pasalnya, wacana kolonilisme ini terjadi dengan medium budaya melalui tulisan-tulisan mereka dan ditembah perkembangan informasi lewat media sosial. Dan secara tidak sadar, hegeomoni terjadi dalam relasi kuasa dengan tingkat yang begitu aktif dalam genggaman media.
Catatan:
1.Gerakan feminismie gelombang pertama  dan kedua lihat, Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer, (Depok, Rajawali Pers, 2016), hlm. 97-98.
2. Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer, (Depok, Rajawali Pers, 2016), hlm. 100-125 Bandingkan Dengan Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Yogyakarta, Narasi, 2016).
3. Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer, (Depok, Rajawali Pers, 2016), hlm. 130. BDK dengan Katrin Bandel, Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, (Yogyakarta, Sanata Dharma University Press, 2016), hlm. 2.
4. Ibid., hlm. 128-129.
5. Ibid., hlm.126.
6. Ibid.
7. Edward W. Said, Orientalisme, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016), hlm. X.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer, (Depok, Rajawali Pers, 2016), hlm. 132.
12. Edward W. Said, Orientalisme, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016), hlm. Xii.
13. Istilah subaltren ini, dapat diartikan oleh kekerasan epistemik yang diperkenalakn oleh feminis dan sekaligus pemikir postkolonial yakni, Spivak. Isilah tersebut adalah dominasi hegemoni pengetahuan yang dilakukan oleh kolonialisme, lihat . Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer, (Depok, Rajawali Pers, 2016), hlm. 142.
14. Ibid., hlm. 141.
15. ibid., hlm. 144-145.
16. ibid., hlm. 147.
17. ibid.
18. ibid.
19. Katrin Bandel, Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, (Yogyakarta, Sanata Dharma University Press, 2016), hlm. 6.
20. Ibid.
21. ibid., hlm. 6-7.
22. ibid., hlm. 7.
23. Ibid.
24. Amin Tohari, Metode Penelitian kekuasaan Ala Michel Foucault, (Yogyakarta, Tanah Air Beta, 2023), hlm. 7.
25. Ibid., hlm. 9.
26. Katrin Bandel, Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, (Yogyakarta, Sanata Dharma University Press, 2016), hlm. 7.
27. Amin Tohari, Metode Penelitian kekuasaan Ala Michel Foucault, (Yogyakarta, Tanah Air Beta, 2023), hlm. 83.
28. Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kiritis Kontemporer, (Depok, Rajawali Pers, 2016), hlm. 143.
29. Cerita-ceri ini digambarkan jelas dalam tulisan Ania Loomba menganai bagaimana produksi gembaran terhadap dunia Timur yang digambarakan oleh kolonialisme, lihat Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Yogyakarta, Narasi, 2016), hlm. 224-225, BDK Edward W. Said, Orientalisme, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 169.
30. Katrin Bandel, Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, (Yogyakarta, Sanata Dharma University Press, 2016), hlm. 29.
31. Ibid.
32. Ibid.
33. ibid., hlm. 30.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI