Mohon tunggu...
Rahmatullah Usman
Rahmatullah Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar Di Jakfi Nusantara

Membacalah dan Menulis, engkau akan menemukan diriMu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gramsci dan Foucault: Membaca Gender dalam Pusaran Postkolonial

6 November 2023   07:48 Diperbarui: 6 November 2023   08:16 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh karena itu, modus rasoinalitas bukan untuk menyelamatkan, namun ia merupakan proses penyingkiran identitas dan budaya perempuan non-Barat agar mereka tetep dalam lingkup relasi kuasa dan menjalankan ideologi yang diterapkan oleh feminisme Barat. Penyingkiran itu bertujuan agar budaya perempuan Barat bisa diterapkan dalam perempuan non-Barat, sebab perempuan non-Barat yakni perempuan "Dunia Ketiga" tetap dalam kondisi "the other" agar mereka bergantung pada feminisme Barat dalam kelayakanya sebagai seorang perempuan.

Dalam pembacaan Mohanty terhadap fenisme Barat berpendapat bahwa [26]"Pandangan mengenai perempuan "Dunia Ketiga" tersebut, menjadi bagaian dari konstruksi identitas feminis Barat sendiri. lewat perempuan "Dunia Ketiga" sebagai the other yang bernasib malang dan tidak bisa menolong dirinya sendiri, perempuan Barat menciptkan imaji dirinya sebagai perempuan teremansipasi yang mandiri dan kuat".

Lewat tulisan-tulisan mereka, feminsie Barat menganggap bahwa perempuan non-Barat merupakan adik yang kurang beruntung, dan perlu dibantu agar mereka mengalami kemajuan dan emansipasi. Inilah yang menjadi analisis Said terhadap bentuk produksi wacana yang ia pinjam dari Foucault, untuk melihat kolonialisme dalam pembentukan wacana, yang menjadikan Timur sebagai objek. Dengan cara itu, produksi tersebut dijalankan dalam relasi kuasa terhadap ilmu pengetahuan.

Dengan demikian produksi pengetahuan itu sebagaimana yang dikatakan Foucault sebagai formasi objek. [27] yang ilmu pengetahuan dinaytakan secara logis yang mengandung kebenaran, objek itu diproduksi oleh ilmu pengetahuan itu sendir. Inilah yang disebut formasi objek. Dan objek itu sebagai perempuan non-Barat yang diproduksi identitasnya, budayanya, perilakunya sebagai irasional, inferior, kolot, keterbelakangan. Dari kondisi itu lah, Spivak mengatakan bahwa perempuan mengalami pendindasan ganda.

Penindasan ganda menurut Spivak [28] pertama, selain mengalami diskriminasi kerana praktik budaya patriarki, juga kedua, menjadi subjek yang dikuasai (colonial subject) karena praktik kolonalisasi. Lewat tulisan-tulisan para kolonialis dan feminisme Barat yang memproduksi wacana yang menyudutkan bangsa Timur sebagai bangsa yang mengalami kekolotan dan ketertinggalan budaya. Perilaku-perilaku bangsa Timur, digambarakan dalam tulisan dan cerita-cerita sensual, kebodahan, tanpa etika. [29]

Dari yang kita amati, ternyata feminisme Barat bersuara atas perempuan terutama perempuan Timur, bukanlah untuk menyuarakan suara mereka (perempuan Timur) melainkan ada modus ingin menguasai dan menyudutkan mereka. Terutama soal berbedan, feminisme Barat menganggap dirinya yang paling maju, dan emansipatoris serta sebagai contoh untuk perempuan di Dunia. Dalam hal tersebut, ia menggap dirinya sebagai ukuran satu-satunya kebenaran yang harus diikuti oleh perempuan non-Barat.

Bukan hanya itu, ternyata diskriminasi juga terjadi diantara mereka yang membedakan perempuan kulit putih dan kulit hitam. Terntaya, feminsme Barat yang berkulit hitam juga bernasip sama dengan perempuan non-Barat. Sebab dikalangan feminisme Barat, ternyaa pusat perempuan yang enjadi ukuran ialah yang berkulit putih. Dan itu digambarakan dengan jelas oleh Butler[30] "Feminisme berkulit hitam di Amerika Serikat telah lama menyuarakn kritik mereka pada feminisme mainstream yang ternyata cenderunga berangkat dari pengalaman perempuan berkulit putih sebagai standar".

Lebih jauh, para feminis kulit hitam menyuarakan bahwa betapa tidak terwakilinya mereka terhadap femnisme kulit putih. Butler melanjutkan, [31] salah satu penyebabnya adalah bahwa feminismekulit putih tidak menyadari dan tidak mempersoalkan interkonektifitas antara berbagai jenis penindasan, dalam hal ini gender dan ras. Dari situlah suara feminisme pascakolonial sangat vokal dalam melihat kejadidan itu.

Sebab terjadi juga bahwa bahwa perempuan-perempuan berkulit putih juga menjadi bagain dari penjaajah dalam konteks Hindia Belanda[32]. Kerap kali mereka memandang seblah mata dan merendahkan perempuan pribumi. Dan itu terus berlanjut ketika feminise Barat yang seolah-olah berniat baik kepada perempuan "Dunia Ketiga" dengan dasar membantu, kerap terjadi sikap rasis dan merendahakan perempuan.

Mohanty menggamrakannya demikian [33]" Tulisan Feminisme Barat tentang perempuan Dunia Ketiga kerapkali berangkat dari sebuah universalisme etnosentris yang menempatkan perempuan Baarat sebagai tolak ukur, dan mengandaikan bahwa perempuan diseluruh dunia ingin dan perlu mencapai hal yang sama seperti perempuan Barat". Jika perempuan non-Barat tetap mengalami pendidasan dan tidak membaca proses dan bagaimana mereka ditafsirkan sedemiakn rupa oleh feminisem Barat, maka yang terjadi, cepat atau lambat perempuan Timur akan mengalami kebekuan identitasnya.

Pasalnya, wacana kolonilisme ini terjadi dengan medium budaya melalui tulisan-tulisan mereka dan ditembah perkembangan informasi lewat media sosial. Dan secara tidak sadar, hegeomoni terjadi dalam relasi kuasa dengan tingkat yang begitu aktif dalam genggaman media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun