Proses pembentukan hibrida melalui mimikri, tampak jelas bahwa proses relasi kuasa dan hegemoni yang dijelaskan diawal tulisan ini sebagai metode postkolonial dalam membaca kolonialisme menjadi terang benderang. Dan proses itu yang akan kita urai lebih dalam lagi mengenai gender. Mengenai istilah "subaltren" oleh Spivak yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada hal-hal ternetu yang menjdi fakta bahwa perempuan dunia ketiga (Timur/bangsa yang dijajah) betul-betul mengalami posisi sebagai objek yang mutlak, tak mampu bersuara, pasif, dan terbelaknag.
Hal itu yang diamati oleh Spivak [19] saat ia kuliah di Amerika Serikat. Dan itu mendakana bahwa massifnya gerakan kolonialis dalam melakukan tefsiran-tafsiran terhadap perempuan Timur, melalui penjelasana Spivak, pemikir postkolonial asal indonesi Katrin Bandel menuturkan[20]: "Dengan kata lain, perempuan "Dunia Ketiga" hadir sebagai objek perhatian dan penelitian, dan sebagai korban yang perlu dibantu. Suara mereka sendiri seakan-akan tidak bisa, atau mungkin tidak relevan, didengar dan diperhatikan".
Pernyataan Spivak dan Katrin di atas mendankan bahwa unsur hegemoni dan relasi kuasa terjadi dalam proses penjajahan melalui ilmu pengetahuan seperti yang telah dielaskan Said. Pasalnya, hal tersebut terjadi dalam beberapa tulisan feminisme Barat[21] dalam menjelaskan perempuan Timur (Dunia Ketiga). Dan lebih parah lagi, ternyata tulisan-tulisan perempuan Timur/ non Barat juga terdapat hal seperti itu, yang diungkapkan Katrin, ketika kelas menengah menulis tentang perempuan kelas bawa sebangsanya. Imbasnya, secara tidak langsung pengaruh kolonial sangat kuat dalam mempengaruhi pola intelaktual perempuan Timur dan indentitas budayanya (hibrida).
Sehingga perempuan (Dunia Ketiga) menjadi totalitas tak berdaya, dari tulisan-tulisan para feminisme Barat dan non Barat sendiri dalam menjelaskan perempuan Timur. Yang pada akhirnya ukuran menjadi perempuan atau feminisme yang memiliki integritas dan kemajuan dalam gender dan menentukan hal apa saja yang harus dilakukan perempuan dalam pembetukan identitasnya dan kemajuannya, harus berkiblat pada Barat (kolonialis).
Dalam pengamatan Mohanty, terhadap pembacaan akademiknya kepada Barat mengatakan bahwa, perempuan "Dunia Ketiga" dipersepsi sebagai semacam adik yang kurang beruntung, yang membutuhkan perhatian dan dukungan kakaknya, yaitu feminisme Barat [22]. Dan jelas bahwa itu terjadi pada perempuan dunia Timur khsusunya Indonesia yang menjadi tolak ukur gerakan feminisme dalam melihat relasi gender dan identitas perempuan indonesia ialah feminisme Barat.
Karena ketidakmampuan sebagian gerakan feminis indonesia melihat gejala tersebut. Hasilnya, kuarangnya minat terlibat dalam diskursus feminisme yang lebih berkembngan dalam studi intelektual. Sehingga mengalami kebekuan paradigmatik, tidak mampu keluar dari relasi kuasa dan hegemoni serta ideologi yang dibawa oleh Barat. Karena mereka menganggap, perempuan Barat dan feminisme lebih sempurna, berbudaya, cerdas, sereta otoritatif dalam menjelaskan perempuan "Dinia Ketiga".
Lebih tepatnya, analisis Mohanty yang dikutip oleh Katrin menegaskan hal itu [23] "Dipandang dari perspektif universalis eurosentris yang menggunakan perempuan Barat sebagai tolak ukur, perempuan-perempuan non-Barat diniali sebagai "kurang maju", dan dilihat terutama sebagai korban: korban patriartki, korban kemiskinan, korban kekolotan tardisi budaya mereka sendiri". dengan cara itu pula, perempuan non-Barat tidak memilik identitas diri, ia bukan lah sebagai subjek yang aktif, yang bisa secara otonom menjelaskan dirinya dan perennya sebagai seorang perempuan Timur.
Akibatanya, kepasifat tersebut yang dipandangan oleh perempuan Barat terhadap perempuan non-Barat menjadikan cara pandanga yang dimana mereka melihat perempuan Barat mampu mengantarkan mereka menjadi perempuan seutuhnya. Dengan mengikuti budayanya (perempuan Barat) sebagai contoh yang sempurna dalam melihat identitas seorang perempuan. Dan padagilirannya, perempuan non-Barat menjadi satu keseragaman identitas dan pikiran, yang kesemuanya itu, keseragaman dalam bentukan budaya perempuan Barat.
Seragaman identitas dan pikiran itu dalam analisis Herbert Marcuse, Salah satu anggota Frankfurt School mengatakan [24]:" Semua ini menunjukan bahwa kita secara tidak sadar sedang mengalami proses keseragaman. Dalam proses itu kita semua menjadi manusia satu dimensi". Sebab, yang dipandangan oleh perempuan non-Barat terhadap perempuan Barat yang dimana mereka melalui tulisan-tulisannya menjadi ukuran kebenaran, dan itulah sebagai penjelasan rasional terhadap kondisi yang dialamai oleh perempuan non-barat.
Perempuan Barat menganggap dirinya rasional yang punya otoritas dalam menjelaskan perempuan Non-Barat. Sementara itu mereka mendaku bahwa irasionalistas perempuan non-Barat, dengan adanya klaim tersebut, secara psikologis, mungkin serangan itu membuat perempuan non-Barat terpukau melihat penjelasan itu. Dengan alih-alih menjelaskna secara rasional, namun itu merupakan proses untuk menyeragamkan identitas dan pikiran perempuan non-Barat agar mereka menerima penjelasan itu, untuk dijadikan produk jajahan oleh perempuan Barat, dengan dalih mengikuti mereka adalah rasional.
Namun, mengenai rasionalitas sebagai pembelaan, Herbert Marcuse mengatakan [25] " Hanya saja yang kerap tidak disadari adalah bahwa rasional itu sendiri sebetulnya dibentuk dan parahnya lagi diseragamkan. Ini adalah salah satu bentuk dari upaya membuat manusia sebagai satu dimensi. Mereka yang tidak menggunakan cara berpikir rasional lalu dicap irasioanl. Ini menunjukan ada cara berpikir lain yang basisnya bukan rasionalitas tapi disingkirkan".