Mohon tunggu...
Rahmatullah Usman
Rahmatullah Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar Di Jakfi Nusantara

Membacalah dan Menulis, engkau akan menemukan diriMu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gramsci dan Foucault: Membaca Gender dalam Pusaran Postkolonial

6 November 2023   07:48 Diperbarui: 6 November 2023   08:16 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pengertian yang lebih jauh, Yusuf Lubis menuturkan [6]: "Postkolonial dimengerti sebagai masa (periode) dan kondisi setelah masa penjajahan (kolonial). Adapun kondisi setelah masa penjajahan itu seprti sistem ataupun unsur budaya lama yang dibawa bangsa penjajah yang kemudian ditiru dan digunakan oleh bangsa bekas jajahan sebagai unsur budaya baru". Kondisi inilah yang dikaji oleh para kritikus postkolonial, sebagai respon mereka yang diakibatkan oleh kolonialisme.

Dari penjelasan di atas, penjajahan gaya baru oleh kolonial (Eropa/Barat) dalam menguasai bangsa jajahan (Timur). Mereka (kolonial) menerapkan budayanya kepada bangsa jajahan, artinya indentitas budaya yang dijajah akan perlahan-lahan meninggalkannya. Yang digantkna oleh identitas budaya baru yang ditawarkan oleh kolonialisme. Dengan iming-iming mereka atas dasar kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, kolonialisme membwa modus bantuan untuk menerapkan praktik-pratik mereka kepada Negara jajahan.

Singkatanya, kolonialisme merasa paling otoritatif dalam membantu kemajuan suatau bangsa dan masyarakatanya dan menawarkan, kesejahteraan dan kemakmuran dalam ekonomi-politik, sosial dan budaya. Dengan modus itulah, kolonialisme menguasai jajahannya dan tentu juga sumber daya alamnya, salah satu bentuknya, yang paling dominan ialah melalui ilmu pengetahuan dalam menerapkan idelogi mereka dan tafsiran mereka terhadap dunia Timur.

Lewat ilmu pengetahuan itulah para kritkus postkolonial merespon mereka seperti yang diungkanpkan oleh Barry [7]: "Para pemikir atau kritikus postkolonial melakukan penolakan atas klaim universal yang buat olh para ilmuan Barat (orientalis) atas ilmu pengetahuan. Selain melakukan penolakan atas klaim universal tersebut, para pemikir atau kritukus postkolonial juga menunjukan ketrbatasan pandangan tokoh orientalis dan ketidakmampuan para orientalis tersebut berempati pada etnis dan budaya lain, serta ketidakmampuan mereka mengatasi batas perbedaan budaya dan etnis".

Dari beragamnya cara yang digunakan kolonialisme dalam menerapkan paraktik-praktik budaya mereka dan ideologi mereka dalam menguasai bangsa jajahan. Dengan demikian kajian postkolonial tidaklah memutlakan satu metode dalam membaca kolonialisme. Itulah mengapa, studi postkolonial menggunakan pendekatan interdispliner dalam metode mereka guna melacak latar belakang kolonialisme baru dan akibat-akibat yang ditimbulkannya atas bangsa yang dijajah.

Oleh karena itu, pengaruh teori kritis yang cukup kuat dalam mengembangkan dan sekaligus sebagai motode analisis dalam postkolonial yakni, Michel Foucault (m. 1984) dan Antonio Gramsci (m. 19370), dua pemikiran tokoh inilah yang digunakan Edwar Said dalam studi analisnya mengenai kolonialisme dalam melakukan penafsiran-penafsiran budaya dan ilmu pengetahuan kepada dunia Timur.

"Kajian orientalisme yang dibedah Said secara umum berutang budi pada intelektual kenamaan, Michel Foucault dan Antonio Gramsci. Dengan menggunakan teori discourse Foucault, Said mengangkat pertanyaan-perntayaan tentang relasi kekuasaaan yang melatari representasi timur dari genealogi orientalisme", tutur Achmad Fawaid [7].

Artinya, ada modus kekuasaan yang dilancarakan orientalisme (kolonial) dalam agenda menguasai bangsa jajahan (Timur). Kekuasan itu melibatkan wacana global dan lokal dalam menerapkan ideologi untuk dijadikan bentuk-bentuk kekuasaan. Metode (discourse) yang digunakan Said, dalam membaca relasi kekuasan kolonial menghasilan beberapa poin yang dinyatakan oleh Fawaid dalam pengantar buku orientalisme.

"Kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imprealisme), kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain, kekuasaan kultural (kanonisas selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki kategori estetikal kolonial, yang secara mudah bisa ditemukan di India, Mesir, dan negara-negara bekas koloni lain), kekuasaan moral (apa yang baik dilakuakan dan tidak baik dilakukan oleh Timur)" [8].

Dari poin analisis Said di atas, menandakan bahwa relasi kukuasaan itulah bentuk kolonialisme gaya baru Eropa/Barat dalam menjajah dunia Timur. Dalam praktik relasi kuasa tersebut, Said melihatanya bahwa relasi kekuasaan kolonial dalam bentuk penyebaran ideologi, yang disebut oleh Gramsci hegemoni,. "Suatu pandangan bahwa gagasan tertentu lebih lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan-kebudayaan lain".[9]

Lewat hegemoni dan relasi kuasa, kolonialisme tampak menjadi superioritas dari negara yang non-Eropa/Barat. Mereka membentuk legitimasi atas kekuasaan dan memberi tafsiran-tafsiran kepada dunia Timur dengan modus membantu mereka agar keluar dari keterbelakangan. Singkatnya bangsas jajahan (Timur, non Eropa/Barat) dipandangan sebagai inferior. Oleh karena itu, dalam pandangan Said,[10] kolonial terus menerus memberikan "hegemoni kultural"sebagai praktik tak berkesudahan yang terus berlangsung dalam wacana orientalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun