Izutsu memberikan uraian yang cukup menarik mengenai hal ini, ketika ia mengutip Al-Qasyani : "Lebih jauh, jika secara analitis mempertimbangkan struktur ontologis kreatif, kita menemukan bahwa, bahkan sejak tahap pertama, "determinasi pertama", kaidah feminin, "keibuan", bekerja sama dengan prinsip maskulin, "keayahan". Ringkasnya, Esensi Ilahi adalah Ibu dari segala sesuatu dalam arti bahwa Dia mewakili unsur "pasif" yang inheren dalam semua bentuk wujud". [28]
Dalam literatur khasana intelaktual Islam. Banyak menyinggung soal bagaimana peran perempuan dalam memainkan perannya sebagai feminin yang dirindukan. Para arif sufi menuliskan dengan sangat sistematis, yang telah kita jelaskan di atas. Bagaiaman Ibnu Arbi dan Al-Qasyani menuturkan hal tersebut. Karena mereka memulainya dengan menuliskan melalui akar dari segala sesuatu Al-Haqq.Â
Sehingga sistem kosmos dalam mode penciptaan bersifat maskulin dan feminin yang saling melengkapi. Keduanya tanpa salah satunya kosmos akan tetap menjadi non-eksis. Sebab kosmos membutuhkan keseimbangan sebagai sistem cara ia bekerja. Terlabih lagi dengan sifat maskulin dan feminin pada pria dan wanita. Yang sering disimbolkan sebagai mikrokosmos, yang mewakili simbolisme makrokosmos.Â
Dalam syair Rumi yang ditulis oleh Schimmel: "langit itu maskulin dan bumi adalah wanita; apa yang dimasukkan ke dalamnya menghasilkan buah"[29].
Schimmel dalam menelaah karya klasik para arif sufi melihat betapa feminitas memiliki posisi istimewah dalam tradisi mistisisme. Terutama dalam makrifat, kaum wanita memiliki posisi yang digambarkan sebagai manifestasi Tuhan. Peran yang dimainkan jiwa spritualitas wanita telah membuka cara pandang mengenai wanita yang tidak memiliki peran apa-apa seperti yang dituduhkan oleh para pemikir Barat.Â
Peran istimewah pada wilayah mistisme dalam pemikiran para arif, mengenai keunggulan wanita pada jiwa yang spiritual. Sebab penyatuan ontologis dalam mengenal Ilhai membutuhkan karakter feminitas. Dan hanya perempuan sebagai simbol feminitas jiwa.Â
Rumi seperti yang dijelaskan oleh Schimmel bahwa jiwa feminitas melambangkan penyatuan jiwa dengan Tuhan, bahkan Rumi menjelaskannnya dalam kiasan hubungan intim suami dan istri dalam penyatuan seksualitas. Meski Rumi tetap dalam perhatiannya terpusat pada feminitas jiwa dalam hubungan tersebut. [30]Â
Lebih jauh, Ibnu Arabi menurut Schimmel lebih mengedepankan kaum wanita sebagai peran suatu objek cinta yang dicita-citakan. [31] mengapa wanita sebagai lambang cinta yang dicita-citakan Ibnu Arabi? Karena cinta membutuhkan jiwa feminitas, cinta sebagai tujuan kerinduan dan sekaligus objek kerinduan itu. Dan simbol cinta merupakan feminitas dan itu hanya dimiliki oleh kaum wanita, sebagai jalan untuk menyatukan jiwa dalam ontologis menuju sumber utamanya Al-Haqq.Â
Peran wanita sebagai simbol makrifat dalam literatur klasik mendapatkan dukungannya dalam kisah Aminah (Ibu Nabi Muhammad) ketika hendak melahirkan putra tercintanya Muhammad. sebagaimana yang diutarakan Schimmel:Â
"Sewaktu hendak melahirkan Aminah ditemani oleh Asiyah dan Maryam, megandung suatu isyarat bahwa Nabi Muhammad lebih tinggi derajatnya dari Nabi Musa dan Nabi Isa" [31].
Perlu ditegaskan bahwa cerita di atas memang menitiberatkan pada kelahirhan Nabi Besar Muhammad. Namun, peran wanita begitu akrab dikeliling Muhammad. yang menandakan betapa peran wanita dalam kenabian begitu istimewah. Asiyah dan Maryam sebagaimana kita tahu bahwa kehidupannya lebih dahulu dari Aminah dan bahkan begitu jauh dari zamannya.Â