Mohon tunggu...
Rahmatullah Usman
Rahmatullah Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar Di Jakfi Nusantara

Membacalah dan Menulis, engkau akan menemukan diriMu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Feminisme Fenomenologi Eksistensial (Bagian III)

7 Juli 2023   10:33 Diperbarui: 7 Juli 2023   11:04 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wanita menjadi objek kerinduan maskulin yang tertinggi dan mulia; dia menjadi personafikasi Ilahi, yang meliputi ciri-ciri aktif dan pasif, maskulin dan feminin di dalam diriNya sendiri. Sifat aktif dan sekaligus pasif yang mendadakan kerinduan maskulin pada feminin dimana ia berasal sebagai akar dan sumber segala sesuatu selain diriNya. (untuk lebih jauh, silahkan merujuk bagian kedua tulisan ini).

Dua sifat feminin yang telah disebutkan di atas sebagai karakter penciptaan Realitas yang Nyata dalam keseimbangan kosmis. Yang mendakan realitasNya yang tampak dan yang tersembunyi, Izutsu menguraikan dua modus tersebut ketika ia menjelaskan pemikiran Al-Qasyani: 

"Dan Realitas sebagai sesuatu yang ditentukan determinasi pertama adalah Esensi Tunggal yang menuntut keseimbangan dan kesetimbangan sempurna antara "aktivitas" dan "pasivitas", antara manifestasi-diri eksterior (zhuhur) dan penyembunyian-diri interior (buthun)".[26]

Dalam skala yang labih dalam, dari pernyataan Al-Qasyani di atas secara implisit bahwa Tuhan adalah yang lahir dan batin, yang tampak sekaligus tak tampak. Ia tampak dalam bentuk lahir yang dalam hal ini fenomena alam dan materi, namun ia batin dari fenomena lahir dan materi. Namun diriNya yang batin yang menampakan yang lahir, sebab yang batin lah yang menggerakan yang lahir. 

"Dan sejauh ia adalah "Batin" (bathin) bersemayam dalam setiap bentuk, ia adalah "aktif", namun sejauh ia "Lahir" (zhahir), ia adalah pasif", tutur Izutsu.[27]

Sifat Feminin dalam diri Tuhan dalam sistem tatatan penciptaan yang aktif dan pasif memberi gambaran jelas mengenai status perempuan dalam feminitasnya. Yang dalam bagian kedua tulisan ini, kita melihat sifat perempuan dalam feminitasnya memiliki sifat yang sama dengan Al-Haqq, Aktif dan pasif. Dan hanya feminitas yang memilki sifat tersebut, sehingga dalam diri maskulin merindukan dua sifat itu dengan perempuan sebagai objek kerinduan. 

Kita melihat karakter nyata dari dua sifat itu pada diri perempuan dalam kehamilannya. Telah dikatakan dalam bagian kedua tulisan ini, bahwa segala sesuatu berasal dari akar feminin Tuhan. Sehingga penciptaan bersifat feminin, hal tersebut mendandakan dalam bentuk kehamilan perempuan, bahwa manusia berasal dari feminitas sang ibu. 

Ketika perempuan dalam proses kehamilannya, ia menerima keaktivan dari maskulin dalam menyalurkan sperma dalam pembuahan. Karena sifat pasif perempuan, sperma tersebut ia terima dan menyimpannya dalam rahimnya. Dalam proses tersebut, maskulin berhenti dalam aktivitasnya, sebab rahim telah dibuahi dalam proses penyaluran sperma. Sementara perempuan memulai sifat aktifnya dalam menjaga hasil proses pembuahan itu. 

Artinya perempuan pasif dalam menerima proses penyaluran sperma pada maskulin yang aktif. Lebih jauh lagi, ketika proses pembuahan selesai, sifat aktif perempuan dalam menjaga dan melindungai hasil dari proses pembuahan itu, atau dengan kata lain hasil dari perkawinan dengan maskulin. 

Sebab dalam Rahim, Tuhan menuliskan sesuatu sebagai prosedur biologis penciptaan. Dan secara batin feminitas menerima apa yang Tuhan tulis dalam Rahim (jiwa) secara batin. Sehingga model sistem feminin memang memilki kekuatan, karena ia memilki kedua sifat aktif sekaligus pasif. Kekuatan batin dan lahir, kekuatan tersebutlah sehingga perempuan memiliki derajat tertinggi dalam spritualitas karena bentuk femininnya sama dengan Tuhan. 

Izutsu memberikan uraian yang cukup menarik mengenai hal ini, ketika ia mengutip Al-Qasyani : "Lebih jauh, jika secara analitis mempertimbangkan struktur ontologis kreatif, kita menemukan bahwa, bahkan sejak tahap pertama, "determinasi pertama", kaidah feminin, "keibuan", bekerja sama dengan prinsip maskulin, "keayahan". Ringkasnya, Esensi Ilahi adalah Ibu dari segala sesuatu dalam arti bahwa Dia mewakili unsur "pasif" yang inheren dalam semua bentuk wujud". [28]

Dalam literatur khasana intelaktual Islam. Banyak menyinggung soal bagaimana peran perempuan dalam memainkan perannya sebagai feminin yang dirindukan. Para arif sufi menuliskan dengan sangat sistematis, yang telah kita jelaskan di atas. Bagaiaman Ibnu Arbi dan Al-Qasyani menuturkan hal tersebut. Karena mereka memulainya dengan menuliskan melalui akar dari segala sesuatu Al-Haqq. 

Sehingga sistem kosmos dalam mode penciptaan bersifat maskulin dan feminin yang saling melengkapi. Keduanya tanpa salah satunya kosmos akan tetap menjadi non-eksis. Sebab kosmos membutuhkan keseimbangan sebagai sistem cara ia bekerja. Terlabih lagi dengan sifat maskulin dan feminin pada pria dan wanita. Yang sering disimbolkan sebagai mikrokosmos, yang mewakili simbolisme makrokosmos. 

Dalam syair Rumi yang ditulis oleh Schimmel: "langit itu maskulin dan bumi adalah wanita; apa yang dimasukkan ke dalamnya menghasilkan buah"[29].

Schimmel dalam menelaah karya klasik para arif sufi melihat betapa feminitas memiliki posisi istimewah dalam tradisi mistisisme. Terutama dalam makrifat, kaum wanita memiliki posisi yang digambarkan sebagai manifestasi Tuhan. Peran yang dimainkan jiwa spritualitas wanita telah membuka cara pandang mengenai wanita yang tidak memiliki peran apa-apa seperti yang dituduhkan oleh para pemikir Barat. 

Peran istimewah pada wilayah mistisme dalam pemikiran para arif, mengenai keunggulan wanita pada jiwa yang spiritual. Sebab penyatuan ontologis dalam mengenal Ilhai membutuhkan karakter feminitas. Dan hanya perempuan sebagai simbol feminitas jiwa. 

Rumi seperti yang dijelaskan oleh Schimmel bahwa jiwa feminitas melambangkan penyatuan jiwa dengan Tuhan, bahkan Rumi menjelaskannnya dalam kiasan hubungan intim suami dan istri dalam penyatuan seksualitas. Meski Rumi tetap dalam perhatiannya terpusat pada feminitas jiwa dalam hubungan tersebut. [30] 

Lebih jauh, Ibnu Arabi menurut Schimmel lebih mengedepankan kaum wanita sebagai peran suatu objek cinta yang dicita-citakan. [31] mengapa wanita sebagai lambang cinta yang dicita-citakan Ibnu Arabi? Karena cinta membutuhkan jiwa feminitas, cinta sebagai tujuan kerinduan dan sekaligus objek kerinduan itu. Dan simbol cinta merupakan feminitas dan itu hanya dimiliki oleh kaum wanita, sebagai jalan untuk menyatukan jiwa dalam ontologis menuju sumber utamanya Al-Haqq. 

Peran wanita sebagai simbol makrifat dalam literatur klasik mendapatkan dukungannya dalam kisah Aminah (Ibu Nabi Muhammad) ketika hendak melahirkan putra tercintanya Muhammad. sebagaimana yang diutarakan Schimmel: 

"Sewaktu hendak melahirkan Aminah ditemani oleh Asiyah dan Maryam, megandung suatu isyarat bahwa Nabi Muhammad lebih tinggi derajatnya dari Nabi Musa dan Nabi Isa" [31].

Perlu ditegaskan bahwa cerita di atas memang menitiberatkan pada kelahirhan Nabi Besar Muhammad. Namun, peran wanita begitu akrab dikeliling Muhammad. yang menandakan betapa peran wanita dalam kenabian begitu istimewah. Asiyah dan Maryam sebagaimana kita tahu bahwa kehidupannya lebih dahulu dari Aminah dan bahkan begitu jauh dari zamannya. 

Namun, bukan tidak mungkin dalam hal makrifat kejadian seperti yang di alami Amniah saat hendak melahirkan putranya yang ditemani oleh dua wanita mulia, Asiyah sang pegasuh Nabi Musa dan Maryam ibu perwan dari Nabi Isa. Hal tersebut menandakan posisi Aminah yang memiliki derajat istimewah sebagai ibu Nabi Muhammad. lebih khsus lagi, derajat spritualitas tiga wanita yang disimbolkan dalam cerita tersebut.

Kedudukan kaum wanita dalam derajat spritualitas tertinggi yang ditandai dengan sifat feminitasnya sebagai lokus manifestasi Tuhan memberi kasih sayangnya dan welas kasihnya. Terutama dalam kedudukan kaum wanita dalam Rahim, di mana tempat Tuhan melukiskan penciptaannya (manusia) dalam diri wanita. Sebab Rahim adalah lokus dan sekaligus akar di mana manusia berasal. 

Pengalaman Aminah melahirkan putranya sebagai contoh yang nyata. Di mana Muhammad lahir dari Rahim wanita. Pengalaman spritualitas Aminah dalam melahirkan putranya dilukiskan oleh Schimmel: 

"Ketika Muhammad lahir, Aminah melihat sebuah cahaya, yang menerangi istana-istana Bostra. Para malaikat mengerumuninya dan membentangkan sayap-sayap mereka. Barisan malaikat, yang memanjatkan pepujian, turun dan memenuhi bukit-bukit sarta lembah-lembah". [32]

Lebih jauh Schimmel melukiskan bagaimana putri Nabi Muhammad yakni "Fatimah" memiliki simbolis spritulitas tertinggi. juga Fatimah digelari ummu abiha (ibu dari ayahnya), kehidupn Fatimah yang jauh dari kemegahan dan mengalami derita-derita dalam kehidupannya. 

Schimmel melikuskan tentang kehidupan Fatimah yang jauh dari kemewahan dan tentang kemiskinnya yang dideritanya. Sebagai lambang dari kekuatan orang --orang saleh. Yang menurut Schimmel sesungguhnya kehidupan Fatimah merupakan Ratu Umat Manusia. [33]

Bahkan dalam literatur sastra yang melukiskan kehidupan Fatimah yang dikenal "Mahar Fatimah" sebagai jawaban atas kehidupan Fatimah yang dengan kekuatan spritual dan pengorbanan terhadap agama dan dakwah ayahnya. Sehingga ia (Fatimah) menjadi teladan bagi wanita Muslim. [34] 

Dan pengaruh Fatimah dalam kehidupan kaum muslim sangat erat kaitannya dengan simbolisme spritualitas dan pengorbanan Fatimah. Penghormatan kepada putri Nabi Muhammad (Fatimah) sebagai teladan bukan hanya diperuntukkan kaum wanita, tetapi juga Muslim pada umumnya. 

Penghormatan tersebut kata Schimmel, sampai-sampai seorang pemikir dan sekaligus filsuf besar dari Pakistan, Muhammad Iqbal (m. 1938) karena pengormatannya pada Fatimah, ia menulis karya tentangnya dengan judul (Misteri Sikap Tidak Mementingkan Diri). [35]

Dalam padangan Schimmel kaum wanita tidak hanya bisa dilihat satu arah dalam gejolak perkembangan arus modern. Seperti reaksi feminis Barat mengenai kaum wanita yang diposisikan hanya kebebasan dalam sikap yang liberal. Yang diukur hanya pada fisiknya saja, yang labih mengkhawatirkan lagi, sikap lahiriah tersebut dipandang untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita. 

Bagi Schimmel, kaum wanita dalam Islam memiliki posisi yang istimewah. Bukan saja wanita dipandangan dari segi ia sebagai istri atau yang melahirkan. Labih dari itu kaum wanita memiliki hak yang sama pada pria. Terlebih lagi jika dipandang dalam sisi spritualitas, kaum wanita memilki posisi yang istimewah dibandingan dangan pria.

Hal tersebut yang diuraikan Schimmel, ketika pernyataan Nabi Muhammad yang sangat terkenal dikalangan para arif sufi mengenai kaum wanita: "Allah telah menunjukan kasih sayang-Nya kepadaku dengan wangi-wangian duniamu dan wanita, dan hiburan spritualku ialah shalat", [36]

Pernyataan di atas mengenai kaum wanita dan hubunganya dengan shalat merupakan simbolisme derajat tertinggi kaum wanita dihadapan Nabi Muhammad. inilah yang mendasari para arif untuk menelaah lebih jauh dalam mistisme terkait dengan wanita. Dan yang lebih utama dalam menafsirkan perkataan Nabi Muhammad ialah Ibnu Arabi. 

Schimmel menuturkan, dari peryataan Nabi Muhammad lah yang mendasari Ibnu Arabi sebagai komentator terdepan dalam menafsirakan kaum wanita dan Nabi Muhammad. Sehingga melahirkan karyanya yang monumental "Fushush Al-Hikam". [37] Terlebih lagi, Nabi Muhammad dalam menjalankan dakwahnya ditemani istrinya tercinta Khadijah, mendakan posisi kaum wanita dalam penyebaran awal Islam dan perekambangannya memiliki andil yang penting. Dan bahkan Khadija digelari "ibu kaum mukmin". 

Peran Khadijah dalam mendapingi Nabi Muhammad memiliki andil yang besar terutama dalam spritualitas. Schimmel melukiskannya secara mendalam :"Peran yang dimainkan oleh istri pertama Rasul, Khadijah "ibu kaum mukmin" dalam perkembangan spritualnya, adalah hal yang nyata. Dengan kasih sayang dan pengertiannya, Khadijah memberi Rasul kekuatan dalam menghadapi pengalaman yang menegangkan dan menggungcang hatinya yang paling dalam saat menerima wahyu pertama yang diturunkan kepadanya, karena beliau percaya akan kerasulan suaminya". [38]

Khadijah sebagai perempuan pertama yang mengakui kerasulan Nabi Muhammad dan memainkan peran yang sangat penting bagi kelanjutan dakwa Islam. Dengan fakta sejarah itu, feminitas sebagai kebutuhan perkembanagan dakwa Rasul dan sekaligus kekuatan dalam menghadapi cobaan. Dan itu hal yang nyata, yang diberikan oleh istrinya Khadijah. 

Apa yang disuguhkan Schimmel dalam penjelasan terhadap kaum wanita dalam tradsi Islam dan terlebih lagi dalam pendekatan mistisisme merupakan hal yang telah lama hilang dikalangan para pengkaji muslim. Khususnya para feminis muslim yang dipengarauhi oleh gerakan feminisme Barat. 

Hal itulah yang mungkin di lihat oleh Schimmel, sebab ia hidup dan mengamati perkembangan feminisme di abad 20 khususnya di Jerman tempat kelahirannya. Terlebih lagi Schimmel berkeliling universitas diberbagai Negara, hal itulah yang mendasarinya untuk menulis dalam pendekatakan baru dalam memahami perempuan dalam mistisisme, seperti yang disebutnya. 

Dalam feminis eksistensial, Schimmel mendasarinya dengan pengalaman para arif sufi dan Nabi Muhammad dalam memahami kaum wanita. Jiwa yang feminis dalam eksistensialnya adalah jiwa yang merindukan sumbernya Al-Haqq, dalam eksitensinya, jiwa mengalami gerak menuju pada trasensdensi. 

Dan itu hanya bisa dilakukan ketika maskulin menemukan feminin. Dua sifat jiwa yang aktif sekaligus pasif dalam relasi pria dan wanita dalam mengenali Al-haqq. Kaum wanita tetap memiliki misteri trasensden, jika kaum pria tidak menyadari hal itu.

"Kerinduan para makrifat terhadap kaum wanita adalah kerinduan dari keseluruhan terhadap bagian darinya, seperti kesunyian tempat tinggal yang mendambakan para penghuni yang memberi mereka kehidupan. Lagi pula, Tuhan mengisi tempat dalam diri kaum pria dari mana wanita diambil dengan kecenderungan terhadapnya. Kerinduannya terhadap wanita itu adalah kerinduan dan kecenderungan dari yang besar terhadap yang kecil". [39]

Catatan: 

25. Ibid. 

27. Ibid. 

28. Ibid., hlm. 244. 

29. Annemarie Schimmel, My Soul Is A Wowen, (Bandung, Penerbit Mizan, PT Mizan Pustaka, 2017), hlm. 167. 

30. Ibid. 

31. Ibid. 

31. Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, ( Jakarta, Penerbit Noura Books, 2019), hlm. 215. 

32. Ibid., hlm. 212. 

33. Annemarie Schimmel, My Soul Is A Wowen, (Bandung, Penerbit Mizan, PT Mizan Pustaka, 2017), hlm. 66. 

34. Ibid. 

35. Ibid. hlm., 67. 

36. The Tao Of Islam, Sachiko Murata, (Bandung, Penerbit Mizan, 2004), hlm. 17. 

37. Ibid. 

38. Ibid. 

39. Ibid., hlm. 244.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun