Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Candik Ayu di Pucuk Bumi

29 November 2022   15:20 Diperbarui: 29 November 2022   15:36 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Candik Ayu di Pucuk Bumi

Sore itu di hari pertama kemping, Wanto berteriak-teriak. "Kebakaran, kebakaran!"

Tentu saja hal itu membuat tiga temannya bergegas menghampirinya yang berada di bibir dataran. Pemandangan ke depan langsung berhadapan dengan cakrawala, sementara pemandangan ke bawah merupakan tanah curam penuh semak belukar dan menampilkan celah-celah gelap, lembah yang tertutup rimbunan pepohonan.

"Lihat! Ufuk barat kebakaran. Apinya sampai ke langit, banyak awan yang hitam terbakar." 

Kembali dia berteriak sambil memukul-mukul bahu Riko yang kesal dengan tingkah konyol temannya. Riko tahu maksud Wanto. Sunset yang ingin dia saksikan bersama.

"Woy! Ayo kumpul di sana, gua dapet angle bagus, nih!" teriak Wanto.

Kembali dia berkata dengan suara keras. Padahal tiga orang sudah berada dekat dirinya. Kali ini dia sibuk menancapkan tripod pada tanah yang tidak datar benar. 

"Itu temanmu, Ko?" tanya Sigit.

"Kagak, tau. Boleh nemu di Curug, tadi," seloroh Riko.

"Ayo! ... Satu!" teriak Wanto sambil berlari mengapit Sigit dan Woro, teman wanitanya.

"Dua!" 

Sigit mempercepat gerakannya membuka lipatan kain.

"Cepetan, Git," sergah Woro. Tangannya menyebrangi tubuh Wanto, meraih ujung kain.

"Tiga ... ."

Empat orang sudah mengangkat tangannya dengan mengacungkan dua jari. 

"Empat." 

Riko menoleh pada Wanto, seraya berkata, "Sampe berapa hitungannya, Cuy!"

Wanto tidak menjawab, dia ngeloyor menuju kamera DSLR-nya. Riko meradang dan menyusul Wanto dengan cepat, ingin melihat hasil jepretan.

Wanto terbahak-bahak sambil menunjukkan layar belakang kamera. Riko menyorongkan wajahnya.

"Sial dangkal! Ulang-ulang."

Bisa ditebak. Hanya Riko yang dalam keadaan menoleh dengan mulut monyong ke arah ketiga temannya.

**

Empat anak muda duduk berjajar menghadap cakrawala. Semburat jingga mendominasi atmosfir di hadapan mereka yang membelakangi gelap di sisi lainnya. Hamparan keemasan mewarnai pucuk-pucuk pohon yang tampak merayap lambat menyisakan warna kelabu. 

Sigit dan Riko sibuk ber-selfie ria dengan tongsisnya. Woro merapatkan duduknya pada Wanto yang menyambut dengan rentangan tangan. Mereka membalas lambaian sang surya pada penampakan terakhirnya di ujung hari. 

"Semoga saja tetap seperti ini," ucap Woro dalam sandarannya. 

"Ya, enggak mungkin. Gelap akan selalu ada," sanggah Wanto, pelan.

"Aku berharap, dataran kecil ini tidak menampakkan kerlip lampu-lampu. Biarkan tetap luas terpampang, alami." Woro menegaskan ucapannya. Tanpa make up, wajah lonjongnya tampak hitam manis dengan hidung bangir dan alis tebalnya.

"Owh, setuju. Lampu-lampu membuat cahaya hakiki berangsur lenyap. Mestinya gelap di permukaan bumi cukup berhias taburan bintang. Tapi ... cukuplah satu bintang buat aku," kata Wanto tersenyum sambil menekan dagunya pada ubun-ubun kekasihnya. 

Sigit memperlihatkan hasil mengintainya, "Coba perhatikan," ucapnya pada Woro.

"Ini sebelah mana?" tanya Woro penasaran.

"Itu! Sekarang mulai memudar," jawab Sigit menyesalkan garis pada langit sebelah kiri mereka yang tak lagi utuh.

"Spektrum cahaya emas. Bidadari sudah membereskan anak-anaknya dengan membawa mereka masuk ke ruang kaputren ... katanya, sih." Woro menanggapi dengan semringah.

"Kalo gue, dulu, pasti udah di suruh masuk rumah. Sekarang, mah, gak kepake lagi kayaknya. Akhirnya, songong meliputi para junior. Bocah korengan yang setan gak lagi perlu merasuki, udah auto jadi membership." Riko angkat bicara.

"Iya, gue setuju. Walaupun gue gak alim banget, tapi soal pandangan orang-orang tua kita banyak benarnya. Sayangnya orang dulu gak bisa menjabarkan lebih jauh tentang apa-apa yang mereka yakini. Kita Cuma dituntut untuk menurut saja tanpa berpikir kritis." Sigit melengkapi pendapat kawan-kawannya. Tak seberapa lama dia bangkit mendahului, menuju gelaran terpal biru.  

Riko menyusul, meninggalkan dua sejoli tanpa pamit. Sepertinya Wanto dan Woro paham benar dengan dua temannya. Mereka pun menyingkirkan diri ke sisi tenda. Tempat yang tadinya mereka duduki kini menjadi arah bagi Riko dan Sigit menghadap Tuhannya. 

Awal malam yang sempurna. Balutan kesunyian yang menentramkan.

SEKIAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun