Mohon tunggu...
Surahmat Hadi
Surahmat Hadi Mohon Tunggu... -

Telah menikah dan punya 3 orang anak. Bekerja sebagai petani dan diberi tugas tambahan sebagai pendeta di jemaat GKSBS Sumberhadi. Aktif dalam memperjuangkan pemajuan pertanian organik di Lampung Timur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BERTANI YANG SELARAS DENGAN ALAM DAN BERKELANJUTAN

4 Oktober 2012   14:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:16 2112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Cara pandang yang berkembang pada jaman modern ini menempatkan bertani sebagai sebuah jenis pekerjaan di antara berbagai jenis pekerjaan lainnya. Bertani menjadi cara seseorang mendapatkan penghasilan. Jika kemudian penghasilan itu diukur dengan uang, maka bertani adalah sebuah cara menghasilkan sejumlah uang. Te

tapi cobalah kita pikirkan baik-baik dengan pikiran yang jernih, apakah benar kalau tujuan kita bertani itu sekedar untuk menghasilkan uang?

Pakde Sastro Petani Singkong

Pakde Sastro sedang mengamat-amati tanaman singkongnya yang baru berumur 5 bulan. Ia tersenyum puas melihat perkembangan tanamannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah sepeda motor yang nyaring sekali suaranya. Ternyata seorang muda, yang telah dikenalnya, Kang Parmin.

Kang Parmin berhenti di dekat Pak de Sastro, :
“Sugeng sonten pak de!”, kata kang Parmin.
“Sugeng sonten.” Jawab Pakde Sastro. ”Dari mana saja sampeyan tadi?”
“Wah, ini lho Pak de, saya baru saja melihat tanaman singkongnya Lik Paijo di sebelah selatan sana.” Kata Kang Parmin.
“Sudah jadian harga berapa?”

“Mintanya sih, mahal pak de, tanaman baru berumur sekitar 5 bulanan, minta diborong 5 juta .” cerita Kang Parmin sambil mengambil rokok dan menawari rokok Pak de Sastro.
“Sudah, matur nuwun.” Kata Pakde Sastro. Ia pun merogoh saku bajunya dan mengambil rokok. Mereka berdua lantas mengambil tempat duduk di bawah pohon rindang pinggiran ladang singkong tersebut. Sambil menikmati rokok mereka masing-masing, Pakde Sastro dan Kang Parmin melanjutkan percakapannya mengenai harga singkong.
“Sekarang ini agak sulit lho memperkirakan harga borongan singkong itu. Kemarin itu, tempatnya Mas Hadi saya borong 4 juta saja, saya gak dapat ujung. Cuma pas-pasan untuk bayar kuli sama mobil yang muat ke pabrik.” Kata Kang Parmin.
“Kalau tanaman saya ini, sampeyan berani berapa?” kata Pakde Sastro.
“Apa Pakde mau borongkan sekarang?” Kata Kang Parmin.
“Ya..kalau harganya cocok, apa salahnya? “ kata Pakde Sastro.

***
Pertanian – Usaha Tani

Ketika keuntungan yang berupa uang ditempatkan sebagai tujuan dari bertani, maka para petani lantas mulai menghitung-hitung seberapa banyak mereka bisa meraup keuntungan dari tanaman yang ditanamnya. Sejak waktu itu, petani melakukan kegiatan pertanian tidak sebagai cara hidup, tetapi berubah menjadi cara mendapatkan uang. Bertani telah berubah menjadi usaha tani. Sebagai sebuah kegiatan usaha, maka bertani menuntut ketersediaan modal dan penguasaan tehnologi oleh para petani.

Beli Wayan Petani Cabe

“Wah, aku kagum sama beli Wayan. Ladangnya yang hanya seperempat hektar itu, telah menghantarkannya menjadi orang kaya baru di kampung kita ini.” Kata bu Sumi kepada mbok Sastro pada suatu sore di halaman rumahnya.
“ Wayan itu pas lagi mujur aja, dapat untung banyak. Wong harga cabe pas lagi mahal. Coba kalau pas panen harga cabe murah, dia pasti bangkrut.” Kata mbok Sastro.
“Itu terjadi bukan karena kebetulan lho mbok. Saya yakin pasti dia sudah berhitung-hitung dengan cermat; termasuk memperkirakan kapan harga cabe akan menjadi mahal.” Kata bu Sumi.
“Pakde- mu juga kemarin itu rasan-rasan mau ikut-ikutan nanam cabe. Tapi saya larang.” Sahut mbok Sastro, sambil melanjutkan pekerjaan menyapu halaman rumahnya. Dia melanjutkan,” Saya pikir-pikir menanam cabe itu nggak mudah. Rumit pengurusannya dan butuh banyak modal. Padahal, hasilnya kan belum jelas.”
Bu Sumi mendengarkan sambil manggut-manggut.
“Saya malah sebaliknya, mbok. Saya ajak Mas Pras , suami saya, untuk belajar sama beli Wayan. Biar kita ketularan jadi orang kaya juga.” Kata bu Sumi. “Kalau perlu, saya bahkan siap untuk menjual perhiasan saya untuk modal tanam cabe itu.”
“Ya dipikir-pikir dulu lah nduk. Jangan keburu-buru jual perhiasan. Biar suamimu itu paham betul caranya nanam cabe.” Kata mbok Sastro menasehati.
“Kalau Pakde-mu, saya suruh tetap aja nanam singkong. Singkong itu mudah cara ngurusnya, dan selain dijual bisa diolah sebagian untuk gaplek. Namanya juga wong tani, kalau persediaan makan ada kan kita bisa lebih tenang.”
“Ladang sempit gak bisa menghasilkan banyak duit, mbok. Tanam singkong saja tidak pernah cukup untuk makan. Cari-cari tambahan dengan bekerja di ladang orang lain, juga belum pasti dapat kerjaan. “ jawab bu Sumi.
“Kalau petani singkong itu mau makan singkong, pasti cukup untuk makan. Sayangnya, sekarang ini banyak orang tanam singkong tapi tidak bisa dimakan. Kalau semuanya sudah berupa uang, ya pasti dengan cepat menghilang.” Kata mbok Sastro.

***
Pertanian – Penataan Lingkungan

Kekuatan modal dan kekuatan tehnologi yang ditunjang oleh kekuatan politik telah menguasai budaya pertanian. Pertanian telah berubah menjadi industri raksasa di mana berjuta-juta hektar hutan dibabat dan dirubah menjadi industri pertanian dan perkebunan. Berjuta-juta petani telah beralih posisi dari bertani di lahan sendiri, menjadi buruh tani dan buruh pada perusahaan pertanian dan perkebunan. Kemandirian dan kemerdekaan petani telah dirampas. Kesejahteraan petani menjadi tergantung pada kebaikan penguasa dan pengusaha. Pada gilirannya, menjadi petani berarti menjadi tertinggal dan identik dengan menjadi miskin. Pengusaha pertanian atau pelaku agrobisnis memang bisa kaya, tetapi petani bahkan tidak menguasai lahan pertanian dan berubah menjadi buruh tani.

Di berbagai tempat di Indonesia ini telah terjadi pengrusakan lingkungan hutan secara besar-besaran. Dan selalu saja penguasa berpihak kepada para pengusaha. Jika pengusaha yang merusak hutan mereka dikawal dengan aparat keamanan, karena membawa surat ijin dari penguasa. Sementara itu berjuta-juta petani digusur dan dikejar-kejar oleh aparat penegak hukum karena dituduh melakukan perambahan hutan secara liar atau melakukan pembalakan liar.

Pak Hasan Si Tuan Tanah

Pak Hasan adalah penduduk asli Lampung, yang mewarisi tanah adat ratusan hektar. Konon ia termasuk kalangan bangsawan, yang memang memiliki kuasa atas tanah yang diyakininya sebagai tanah leluhur atau nenek moyangnya.

Tanah adat yang luasnya ratusan hektar itu, berupa hutan yang berisi beragam tanaman hutan dan perkebunan yang tidak teratur, karena memang dikuasai secara berangsur-angsur melalui proses berladang yang berpindah-pindah. Ada yang berupa rawa, ada yang berupa kebun lada dan kebun kelapa; dan ada yang berupa semak belukar dengan pohon durian, pohon duku, dan berbagai macam buah-buahan lainnya; ada pohon damar dan berbagai jenis kayu hutan lainnya. Ada rumpun bambu dan kayu jati atau kayu jenis lainnya yang difungsikan sebagai tanda batas tanah yang telah dikuasainya.

Di sebelah perkampungan Pak Hasan, tiba-tiba tanpa diketahuinya lebih dulu, datang serombongan orang dengan alat-alat berat melakukan pembukaan lahan hutan. Setelah bertanya ke sana-ke mari Pak Hasan dapat keterangan bahwa hutan luas di sebelah perkampungannya itu, oleh pemerintah dijadikan tempat pemukiman orang-orang dari pulau Jawa. Pak Hasan mendengar istilah baru yang asing bagi telinganya, Transmigrasi.

Sepuluh tahun kemudian, daerah itu sudah menjadi sangat ramai. Para pendatang dari Jawa itu terus bertambah-tambah. Dan apa yang terjadi dengan Pak Hasan, yang pasti ia sudah menjadi semakin tua. Tetapi lebih dari itu, tanah milik Pak Hasan sudah menjadi kebun-kebun dan ladang-ladang serta sawah yang produktif.

“Itu dulu tanah saya… itu dulu tanah saya…itu dulu juga tanah saya!” kata Pak Hasan sambil menunjukkan jari telunjuknya kearah ladang, kebun dan sawah. Pak Hasan berjalan dengan langkah gontai mendampingi seseorang yang akan membeli sebidang tanahnya.

****

Bertani selaras alam, bagaimanakah itu?

1. Martabat petani: memilih jadi petani atau terjerumus dalam alam pertanian?

Aku punya cita-cita jadi petani kecil
Tinggal di rumah desa dengan sawah ladang sekelilingku…
Ebiet seorang penyanyi, dia bernyanyi tentang cita-citanya menjadi petani kecil- alias petani gurem. Tapi sayang cita-cita Ebiet G.Ad itu tidak kesampaian. Karena dia terlalu sibuk dan asyik menjadi artis penyanyi.

Mungkin sedikit saja orang yang bercita-cita jadi petani. Ada banyak orang yang menjadi petani karena terkondisikan oleh situasi alam perdesaan, anak petani, punya lahan warisan, dan tak punya kesempatan kerja di bidang lain. Katakanlah bahwa sebagian orang menjadi petani karena terjerumus atau terjebak keadaan alam pertanian.

Cara bertani bahkan tidak diwariskan kepada anak-anak para petani. Anak-anak petani tidak sejak dini diajak untuk belajar dan berlatih bertani, karena petani dipandang sebagai nasib buruk, kelas sosial yang rendah dan kurang bermartabat. Karena itu, bertani yang dipikirkan secara luhur dan bermartabat sudah terdesak oleh kesadaran kota, yang memandang kehidupan ideal adalah kehidupan kota dan bukan kehidupan pedesaan.

Ada banyak petani yang rela menjual sawah dan ladangnya demi biaya pendidikan anak-anaknya. Ada banyak para pemuda yang mengadu nasib di kota. Ada sebagian besar orang-orang yang pintar cenderung memilih untuk tinggal di perkotaan. Semua itu semakin mempertegas bahwa menjadi petani itu bodoh, kurang pendidikan dan bukan pilihan hidup yang bernilai mulia. Menjadi petani sama dengan bernasib buruk dan malang. Sialan.

Kaum tani perlu menyadari keberhargaan dirinya sebagai petani. Kalau bukan petani yang mulai mengangkat harkat dan martabatnya sebagai petani, mau menunggu siapa lagi? Kita adalah para petani yang bermartabat; menjadi petani adalah pilihan hidup kita. Sekalipun ada peluang jadi pejabat, kita tetap pada identitas yang melekat erat, Petani.

Menjadi petani itu merupakan pilihan hidup yang mulia. Kemuliaan dan keluhuran petani adalah dalam posisi menyediakan bahan pangan dan bahan baku industri, seraya mengelola keselarasan kehidupan manusia dengan alam lingkungannya. Menjadi petani berarti menjadi pelayan yang memberi kehidupan semua orang.

2. Perputaran musim dan pergiliran tanaman.

Kalau dilihat dari segi iklim negeri kita ini dikenal dengan daerah yang beriklim tropis atau panas. Pada iklim tropis ini, ada 2 musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Di antara musim hujan dan musim kemarau ada musim peralihan.

Ada jenis-jenis tanaman yang bisa ditanam sepanjang musim, ada jenis-jenis tanaman yang hanya pada musim-musim tertentu saja.

Cara bertani yang selaras dengan alam adalah melaksanakan pertanian dengan mempertimbangkan sifat-sifat tanaman dengan perubahan musim. Maka jenis tanaman musim hujan, ditanam pada musim hujan, jenis tanaman musim kemarau ditanam pada musim kemarau, dan jenis tanaman musim peralihan di tanam pada musim peralihan. Menanam jenis tanaman tertentu pada musim yang sesuai merupakan pilihan bijak dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam.

Melaksanakan pergiliran tanaman yang sesuai dengan musimnya juga merupakan cara para petani leluhur kita (Petani tradisional) untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Hama tanaman mempunyai musuh alaminya masing-masing. Sehingga walaupun tetap ada hama, hama itu terkendali secara alamiah dan tidak merugikan para petani.

3. Bersahabat dengan Gulma, hama dan penyakit tanaman.

Berbagai jenis gulma, hama dan penyakit tanaman adalah juga makhluk ciptaan Tuhan yang berhak untuk melangsungkan kehidupan. Manusia tidak berhak melakukan pembantaian yang mengakibatkan kepunahan jenis-jenis rerumputan, hama maupun penyakit tanaman.

Para petani harus meyakini bahwa sesama makhluk Tuhan harus bisa bersahabat dan menjalin sistem kehidupan sebagaimana tatanan alam semesta yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Manusia tidak bisa hidup tanpa makhluk hidup lainnya.

Sebelum ada insektisida (racun serangga) kaum tani telah memiliki kearifan dalam mengendalikan jumlah serangga yang mengganggu tanamannya. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan melaksanakan penangkapan langsung, pelaksanaan tumpang-gilir tanaman, dan menanam tanaman secara serentak. Serangga tetap ada , tetapi terkendali sehingga tidak merugikan.

Sebelum ada fungisida (racun jamur) yang digunakan untuk mengatasi penyakit tanaman, kaum tani telah memiliki cara mengendalikan penyakit tanaman, yaitu dengan melakukan pengolahan tanah, pembajakan dan pengeringan tanah.

Sebelum ada herbisida (racun rumput) kaum tani telah biasa mengendalikan gulma dengan mencabut, membabat , mengkored dan mencangkul untuk mengurangi rumput-rumput yang mengganggu tanaman. Juga menggunakan sisa-sisa tanaman (jerami) untuk mulsa atau penutup tanah.

Cara bertani yang selaras alam merupakan cara bertani alamiah yang bersahabat dengan gulma, hama dan penyakit tanaman. Barang kali memang tidak bisa panen secara maksimal, tetapi alam terjaga keseimbangannya. Kita semua tahu bahwa penggunaan pestisida (Insektisida, fungisida dan herbisida) telah terbukti berakibat pada rusaknya keseimbangan alam, yang juga berakibat pada semakin sulitnya pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman. Sudah saatnya kita bersikap bijak dengan kembali menggunakan kearifan kaum tani leluhur kita. Jaga keseimbangan dan keharmonisan alam lingkungan kita.

4. Biarlah tanah yang mengatur jenis hewan dan tanaman.

Lokasi tanah yang dikelola menjadi lahan pertanian dan perkebunan ada bermacam-macam: ada rawa-rawa, sawah , dataran kering, tanah perbukitan, tanah pasir, tanah liat maupun tanah berdebu. Kita semua tahu bahwa sebelum dibuka sebagai lahan pertanian maupun perkebunan, tanah-tanah itu mempunyai jenis tumbuhan maupun jenis hewan dan serangga yang berbeda-beda. Tuhan telah mengatur sedemikian rupa sehingga setiap daerah atau lokasi memiliki keunikan jenis tumbuhan maupun binatangnya. Kondisi tanah dengan tumbuhan dan binatangnya itu merupakan satu sistem yang disebut ekosistem.

Cara bertani yang selaras alam merupakan cara bertani yang mempertimbangkan pengelolaan ekosistem secara harmonis dengan memilih jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tanah. Para petani perlu secara sengaja dan terencana melaksanakan tata guna lokasi tanah dengan menerapkan pembagian antara lahan pertanian dan perkebunan, lahan terbuka maupun lahan yang terlindung secara proporsional (berimbang) dan relatif dekat dengan bentuk asli daerah tersebut. Demikian juga dalam hal menentukan jenis binatang piaraan, ternak dan ikan yang dibudidayakan.

Kesuburan tanah perlu dijaga untuk menjamin keberhasilan tanaman yang kita tanam. Tetapi berbagai jasad renik yang hidup dalam tanah juga perlu dijaga dan dijamin kelangsungan hidupnya. Oleh sebab itu pemupukan dengan menggunakan limbah pertanian (kompos) maupun limbah ternak (pupuk kandang) sangat dianjurkan. Hal itu semacam untuk memberi makan makhluk-makhluk Tuhan (jasad renik) yang bermukim dalam tanah dan bertugas menjaga kesuburan tanah.

5. Pohon keramat dan keasrian lingkungan pemukiman.

Adanya pohon-pohon besar yang tidak boleh ditebang atau dikeramatkan merupakan ciri khas perdesaan tradisional. Pada Pohon keramat itu diyakini ada sejenis makhluk halus yang tidak kelihatan yang bermukim di situ dan tidak boleh diganggu. Kalau pohon keramat itu ditebang, maka akan berdampak buruk bagi warga desa sekitar pohon tersebut. Ternyata adanya pohon-pohon besar yang dikeramatkan itu ada hubungannya dengan pengelolaan sumber air dan peresapan air tanah serta untuk penyangga stabilitas musim. Pohon-pohon keramat itu dipakai oleh para petani leluhur kita untuk memastikan hujan dan kemarau tidak salah musim. Sehingga rencana kegiatan pertanian tanaman semusim, padi dan palawija bisa dilaksanakan secara teratur dan menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Sekarang pohon-pohon besar itu sudah ditebang, musim menjadi tidak terkendali, hantu-hantu bergentayangan tidak jelas pemukimannya lagi. Kegiatan bercocok-tanam menjadi kacau, ketahanan pangan menjadi rentan dan badai gampang menyerang rumah-rumah dan tanaman.

Bertani yang selaras alam memerlukan penanaman pohon-pohon keramat di tiap-tiap desa. Adanya hutan desa di tiap-tiap sudut pemukiman yang direncanakan untuk penyangga iklim dan tata air tanah sangat mutlak diperlukan. Perkampungan yang asri bahkan berkesan keramat, justru menjadi ciri khas dari masyarakat petani yang bermartabat yang dihargai dan disegani oleh banyak pihak.

6. Gaya hidup yang mengikuti irama alam semesta.

Kaum tani tradisional membangun budaya masyarakat-tani yang dihubungkan dengan irama alam semesta. Mereka mencoba menghubungkan perubahan posisi bulan dan bintang-bintang dengan nasib sial maupun keberuntungan. Mereka menciptakan ritus-ritus keagamaan yang dihubungkan dengan daya-daya kekuatan alam serta perubahan musim. Mereka membuat berbagai jenis aksi bersama yang diyakini bisa menjaga keseimbangan tatanan alam semesta.

Para sesepuh kaum tani tradisional itu melihat ada hubungan sebab akibat yang secara ajaib terjadi antara alam pikiran manusia dan tatanan alam semesta. Segala hal yang dilakukan manusia yang terlalu melampaui kelaziman, perbuatan yang keterlaluan, yang tidak wajar atau berlebihan dianggap membahayakan tatanan kehidupan.

Gaya hidup yang bersahaja, jujur apa adanya menjadi sangat dianjurkan dan menjadi ciri khas masyarakat-tani. Sikap rendah hati , sopan dan menghargai sesama dipandang sebagai budi pekerti yang luhur. Sementara itu kesombongan dan suka pamer dan bertindak gegabah/sembrono dipandang sebagai prilaku yang buruk. Motto yang digunakan dalam menata ekonomi adalah hemat, cermat dan bersahaja. Dengan demikian kehidupan masyarakat berlangsung rukun – damai dan berkecukupan, ada semangat berbagi yang terus berlangsung. Usaha menumpuk kekayaan bagi diri sendiri dipandang buruk dan dibenci semua orang.

Ringan sama-sama dijinjing dan berat sama-sama dipikul. Pahit sama-sama mencicip dan manis sama-sama menikmati. Gotong royong dalam menanggung beban dan berbagi dalam menikmati hidup merupakan gaya hidup bermasyarakat kaum tani leluhur kita. Seperti itulah gaya hidup masyarakat-tani yang selaras alam dan bisa berkelanjutan.

7. Bertani adalah ibadah kepada Tuhan semesta alam.

Cara bertani yang selaras alam dan berkelanjutan itu merupakan cara kita mengabdi atau beribadah kepada Tuhan semesta alam. Jika pertanian tidak kita lihat sebagai bisnis tetapi sebagai ibadah, maka sikap-sikap kita terhadap alam, hewan ternak dan tumbuh-tumbuhan akan berubah. Demikian juga sikap kita terhadap sesama. Karena keseluruhan sikap itu kita maknai sebagai ekspresi sembah dan hormat kita kepada Sang Khalik, Pencipta alam semesta.

Cara bertani selaras alam sesungguhnya adalah persembahan yang harum bagi Tuhan. Ungkapan sembah dalam kata sudah mudah dilakukan oleh semua. Ungkapan sembah dengan karya adalah ibadah yang sesungguhnya yang sangat patut kita perjuangkan bersama. Semoga .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun